Didie SW
Bertubi-tubi digugat melakukan praktik monopoli, bertubi-tubi harus bayar denda. Itulah cerita tentang Google di Eropa belakangan ini.
Tahun 2017, Google didenda 2,4 miliar euro karena mendiskriminasikan situs belanja daring kompetitor. Setahun kemudian, didenda 4,3 miliar euro karena menggunakan sistem operasi seluler untuk memblokir pesaing Android. Tahun 2019, kembali didenda 1,5 miliar euro karena memblokir iklan pencarian platform mesin pencari yang lain.
Terakhir Juni 2021, Pemerintah Perancis menjatuhkan denda 220 juta euro pada Google yang terbukti mendominasi pasar periklanan programatik dan memanfaatkannya untuk mengistimewakan anak- anak perusahaan sendiri dan mendiskriminasi pihak lain.
Buat Google, denda demi denda ini mungkin hanya uang receh saja yang tak menggoyahkannya sebagai raksasa platform digital global. Namun, dampak politisnya perlu diperhitungkan. Keberhasilan Eropa memaksa platform digital mematuhi regulasi anti-monopoli jadi model bagi negara lain.
Meski belum terlihat hasilnya, upaya untuk mengoreksi persaingan usaha tak sehat di jagat digital telah jadi tren di seluruh dunia. Bagaimanakah monopoli itu terjadi?
Kuasai pasar periklanan digital
Dominasi perusahaan platform digital dalam pasar iklan digital dibangun melalui penguasaan atas seluruh lini rantai pasokan dan permintaan iklan digital dan ekosistem yang mendukungnya. Google, misalnya, menguasai hampir seluruh segi periklanan digital dengan: menjadi yang terkaya dalam menyediakan inventori iklan, menjadi yang terunggul dalam menawarkan teknologi penunjang periklanan, menjadi yang terkuat dalam menguasai data perilaku pengguna internet (user behavior data).
Dalam struktur periklanan digital global, iklan pencarian merupakan bagian terbesar dengan porsi pasar 50 persen tahun 2020. Porsi iklan display media sosial 21 persen, iklan display terbuka 16 persen, dan iklan terklasifikasi 13 persen. Pada pasar iklan pencarian, Google adalah pemain utama yang menguasai 77 persen dari total belanja iklan pencarian 2020. Pasar iklan display media-sosial dikuasai Facebook (70 persen) dan YouTube (20 persen).
Sebagai bagian utama struktur periklanan digital global, pasar iklan pencarian dan iklan display media sosial dikuasai Google dan Facebook.
Sebagai bagian utama struktur periklanan digital global, pasar iklan pencarian dan iklan display media sosial dikuasai Google dan Facebook. Dengan penguasaan ini, duopoli itu juga menguasai 46 persen dari keseluruhan belanja iklan global tahun 2020.
Hanya dua perusahaan menguasai 46 persen belanja iklan global, sementara 54 persen sisanya diperebutkan ratusan ribu media cetak, online, televisi, radio, e-commerce di seluruh dunia. Sebuah konsentrasi ekonomi yang belum pernah terjadi dalam industri media, juga sulit ditemukan presedennya pada industri lain.
Bagi penerbit media, praktis hanya tersisa area iklan display terbuka yang bisa digunakan untuk berjibaku berebut rezeki. Area yang hanya 16 persen dari keseluruhan pasar periklanan digital. Masalahnya, pada area yang sempit ini pun, platform digital juga menebar jaring untuk ambil rezeki tambahan.
Mereka berperan sebagai vendor teknologi penunjang periklanan digital yang dalam praktiknya menggerogoti sekitar 40 persen dari keseluruhan belanja iklan display terbuka. Jaring ditebar melalui perusahaan-perusahaan perantara teknologi periklanan programatik.
Vendor teknologi gerogoti pendapatan penerbit
Sebelum era digital, pasar media memiliki tiga aktor utama: media massa, pembaca dan pengiklan. Media massa menjadi episentrum. Pembaca berkontribusi terhadap terwujudnya jurnalisme berkualitas dengan membeli terbitan atau berlangganan sehingga penerbit mendapatkan dana memadai untuk memproduksi berita.
Pengiklan berkontribusi dengan membeli ruang iklan. Semakin besar jumlah pembaca, semakin menarik media di mata pengiklan, semakin banyak uang yang dapat dikumpulkan penerbit untuk menggerakkan praktik jurnalisme bermutu.
Revolusi digital membawa perubahan dramatis. Bagaimana khalayak mencari informasi, pengiklan mempromosikan produk, juga awak media bekerja, telah berubah drastis.
Pengiklan dapat membeli iklan tanpa berhubungan langsung dengan penerbit. Proses lelang, negosiasi, kesepakatan dan pembayaran iklan dilakukan secara otomatis, cepat dan tak langsung. Sistem periklanan yang serba otomatis dan cepat ini dikenal dengan periklanan programatik (programmatic advertising).
Berkat sentuhan teknologi digital, otomatisasi pembayaran dan penjualan iklan programatik terjadi dalam skala sangat besar. Terjadi miliaran proses bidding iklan programatik setiap hari dan semuanya hanya butuh rata-rata 150 mili detik per bidding. Jangkauan iklan programatik sangat luas, efektivitasnya menggiurkan, ditopang analisis terus-menerus atas data perilaku pengguna internet berskala mondial.
Namun, iklan programatik memiliki kerumitan yang tak dapat dikendalikan penerbit. Banyak perusahaan perantara yang terlibat di dalamnya. Mereka secara teknologis berkontribusi menghubungkan penjual dan pembeli, memfasilitasi transaksi, memastikan iklan dalam kemasan yang diharapkan pengiklan dan menyasar khalayak yang relevan. Kontribusi itu tentu tidak gratis, alih-alih mengurangi pendapatan para penerbit dan agen periklanan.
Menurut riset Plum Consulting (2019), penerbit Inggris hanya menerima rata-rata 0,62 poundsterling untuk setiap poundsterling transaksi iklan programatik. Sisanya, 0,38 poundsterling, diambil para perusahaan perantara teknologi periklanan. Menurut The Daily Mail Group, transaksi iklan non programatik memberikan pemasukan 0,83 poundsterling per 1 poundsterling transaksi iklan pada penerbit di Inggris.
Sebaliknya, transaksi iklan programatik dapat memberikan pemasukan yang rendahnya hingga 0,30 poundsterling per 1 poundsterling kepada penerbit. Studi The World Federation of Advertisers tahun 2016 juga memperkirakan penerbit media di seluruh dunia pada umumnya menerima pemasukan lebih rendah dari iklan programatik.
Google menguasai pasar teknologi perantara periklanan secara lengkap (end-to- end advertising technology).
Siapakah perusahaan perantara teknologi periklanan programatik? Google menguasai pasar teknologi perantara periklanan secara lengkap (end-to- end advertising technology). Hal ini mencakup teknologi yang digunakan pengiklan untuk melakukan penawaran atau pembelian slot iklan (demand side technologies). Selain itu, teknologi yang digunakan penerbit untuk menjual slot iklan kepada pengiklan (supply side technologies), dan teknologi penunjang lain seperti ad exchange, ad server, data analytic.
Google juga mengembangkan berbagai teknologi untuk pasar layanan yang berimpitan seperti web browsing (Google Chrome), sistem pengoperasian seluler (Google Android), cloud (Google Cloud), dan kecerdasan buatan (Google Deep Mind).
Semua lini ini secara integratif menguntungkan Google untuk mengambil surplus ekonomi semaksimal mungkin baik sebagai perusahaan penyedia slot iklan maupun sebagai induk perusahaan-perusahaan perantara yang menyediakan layanan teknologi penunjang periklanan untuk pihak lain.
Perusahaan perantaralah sang penentu pasar iklan programatik. Mereka menciptakan nilai tambah untuk diri sendiri dengan menghubungkan pengiklan dan media, memfasilitasi transaksi iklan serta melakukan pemutakhiran data untuk menghasilkan penargetan khayalak yang lebih efektif.
Mereka menguasai teknologi, data dan SDM berkualitas yang tidak dimiliki pihak lain. Yang paling kuat dari mereka sekali lagi adalah anak-anak perusahaan Google.
Ilustrasi: Laman pencarian Spotlight di ponsel yang menjalankan sistem operasi Apple iOS 14, di depan sebuah layar komputer yang menunjukkan logo Google.
Google mendominasi dua sisi pasar perantara periklanan digital sekaligus: sisi pasokan dan sisi permintaan. Pada sisi pasokan, Google secara global diperkirakan menguasai 30-50 persen pangsa pasar layanan supply side platform (SSP).
Sementara pada sisi permintaan, Google menguasai 25-35 persen pangsa pasar layanan demand side platform (DSP). Google juga mendominasi layanan ad server yang dibutuhkan pengiklan dan penerbit dengan pangsa 80-90 persen.
Google juga menyediakan teknologi untuk membantu merancang inventori iklan digital penerbit, mendukung atau memfasilitasi penerbit melakukan proses lelang iklan programatik, memfasilitasi proses tawar-menawar penerbit dengan pengiklan.
Praktik monopoli
Dengan menguasai seluruh lini dan level periklanan digital, Google menduduki posisi yang ambigu. Google adalah kompetitor sekaligus vendor untuk penerbit. Google adalah broker penerbit sekaligus broker pengiklan. Google menjadi yang terkuat pada sisi pasokan sekaligus permintaan periklanan programatik. Google berposisi sebagai pemain sekaligus "wasit".
Dalam posisinya yang serba ini dan itu tersebut, seperti disimpulkan Plum Consulting, Google terjebak dalam konflik kepentingan. Google dapat menerapkan harga yang rendah pada sisi penawaran pembelian iklan dengan memanfaatkan perusahaan DSP-nya, tetapi menerapkan premi hingga dua kali lipat dari yang diterapkan pesaing pada sisi penjualan, dengan mengoptimalkan perusahaan SSP Google. Layanan DSP milik Google, seperti DV360 dan Google Ad Manager memberikan preferensi ke pengiklan agar membeli slot iklan dari Google AdX alih-alih slot iklan milik SSP pihak lain.
Munculnya berbagai kritik dan regulasi baru yang mempersoalkan praktik monopoli Google telah mendorong Google mereformulasikan posisi Google AdX, Google DV360 dan Google AdManager agar terlihat menjadi platform yang terpisah dan tak melakukan pertukaran data. Namun dalam kenyataan, integrasi antar anak perusahaan perantara Google yang menyediakan teknologi penunjang periklanan itu terus terjadi.
Integrasi yang juga mencakup anak perusahaan yang mengembangkan teknologi lain dengan jenis layanan yang berimpitan seperti Google Chrome, Google Android, Google Cloud, dan Google Deep Mind.
Plum Consulting mempublikasikan risetnya tahun 2019. Riset ini memprediksi dengan tepat apa yang terjadi hari ini: Google melakukan praktik monopoli. Google memanfaatkan posisi dominannya untuk mendukung anak-anak usaha sendiri, menyingkirkan pesaing dengan cara tak sehat, serta mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.
Persoalannya, hidup di luar ekosistem Google juga bukan pilihan realistis untuk penerbit saat ini. Hanya segelintir media yang mencoba melakukannya, dan tidak sepenuhnya berhasil. Iklan programatik juga menjadi kenyataan yang sulit dihindari.
Opsi yang tersedia bagi para penerbit adalah terus-menerus mempersoalkan praktik monopoli yang terjadi melalui gugatan pengadilan atau mendorong regulasi seperti News Media Bargaining Code di Australia. Denda yang ditetapkan pengadilan tak menggoyahkan bisnis platform digital.
Namun publisitas dan respons politik atas denda itu memberi dampak yang lebih memukul. Publik menjadi paham bagaimana praktik bisnis platform digital. Pemerintah juga semakin kuat mengendus kecurangan platform digital dalam urusan pajak dan monopoli usaha. Setidaknya, gugatan-gugatan itu membuat platform lebih membuka diri untuk bersedia bernegosiasi dengan penerbit media dan pemerintah.
Agus Sudibyo Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Anggota Dewan Pers
Sumber: Kompas.id - 8 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar