Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Desember 2025

Masyarakat Anti Sains dan Bencana Kemanusiaan (Sulistyowati Irianto)

Tugas utama universitas, selain memproduksi ilmu pengetahuan, juga membangun budaya akademik, ikut bertanggungjawab membentuk masyarakat rasional dan berpikir logis.

Namun, kini tampaknya kita semakin jauh dari rasionalitas penyelenggaraan hidup ketatanegaraan atau bermasyarakat. Universitas seolah teralienasi dari ruang keseharian masyarakat dan berbagai persoalannya. Ironisnya ”universitas berdampak” sedang menjadi slogan saat ini. 

Ke mana universitas ketika hasil riset, data berbasis bukti, dan berbagai rekomendasi ilmiah diabaikan sehingga berbagai macam bencana kemanusiaan terjadi? Bencana ekonomi, politik, hukum, sosial-budaya datang bersamaan dengan kehancuran lingkungan yang menyengsarakan. Bencana yang tidak menyisakan apapun kecuali para elite yang tetap hidup dalam zona nyaman, menimbun uang sebesarnya secara ekstraktif untuk dana pemilu berikutnya agar menang lagi.

Caranya adalah dengan terus membuat kebijakan tanpa dasar ilmiah, tidak memedulikan dampak luas kehancuran lingkungan yang membahayakan nyawa rakyat. Bencana yang dilegalisasi oleh titah dan tandatangan para elite penguasa, yang implementasinya didukung aparat keamanan, bahkan putusan hakim yang sebagiannya menghianati independensi pengadilan, yang dipersyaratkan negara hukum. Kritik dan dampak kebijakan yang buruk dari para elite direspons sendiri dengan pernyataan atau tindakan populis yang menganggap rakyat bodoh. 

Hanya anak-anak muda, para mahasiswa, aktivis, seniman, dan sebagian warga sipil yang berani bersuara. Ke mana universitas ketika seribuan anak muda ditangkap, ditahan karena menyuarakan penderitaan rakyat dalam Aksi Agustus yang lalu? Bukankah esensi demokrasi ada pada rakyat? Para ilmuwan diam ketika prinsip negara hukum diingkari. Seharusnya hukum ditaati oleh penyelenggara negara, bukan diubah, diakali, dan berbagai kebijakan dibuat mengatasnamakan rakyat. Universitas bersama warga masyarakat sipil banyak diam, karena takut dikriminalisasi, diancam, dan terputus mata pencahariannya.

Universitas hidup dalam gelembung, sibuk dengan bebannya sendiri, yang sebagiannya justru persoalan non-akademik. Politik pendidikan menempatkan universitas hanya sebagai ”teaching university”, sementara di negara maju ”research university” adalah mesin kemajuan bangsa. Memintarkan manusia adalah andalan bagi masa depan mereka, dan didukung negara sepenuhnya.

Mengevaluasi universitas di Indonesia dengan parameter peringkat universitas riset dunia adalah kemustahilan belaka. Universitas dibiarkan ”megap-megap” agar mencapai ranking dunia, padahal dukungan terhadap universitas sangat minim, dan produksi pengetahuannya diabaikan. Universitas dijadikan bagian jawatan pemerintah, prinsip otonomi universitas dari para pendiri bangsa diingkari. Padahal tujuannnya agar universitas bisa mengembalikan jaman keemasan Sriwijaya, pusat ilmu pengetahuan mancanegara. 

Pemerintahan pun hidup dalam gelembungnya sendiri. Banyaknya bencana ekonomi dan sosial yang kita hadapi umumnya bersumber pada terlemparnya warga masyarakat rentan dan miskin dari akses keadilan, utamanya proses perumusan hukum agar mengakomodasi kebutuhan rakyat. Ketiadaan check and balances di parlemen, karena 90 persen partai politik berkoalisi dengan pemerintah, melancarkan setiap usulan pemerintah. Bahkan sejarah bangsa direkayasa untuk diubah, demi penghilangan sejarah reformasi 1998, dan peristiwa sejarah kelam lain. 

Para ahli yang menyampaikan pendapat akademiknya, aktivis dengan hasil kajiannya, dan masa aksi yang bersuara dan konstitusional, semuanya dikriminalisasi. Mereka dilabeli sebagai perusuh, makar, sebutan yang menyesatkan publik. Budaya takut pada hukum tidak ada, dimulai oleh para elite yang mengakali hukum. 

Padahal di negara maju, budaya ”takut hukum”, takut korupsi, melayani publik, mendahulukan kepentingan orang lain, menjadi etika publik, pilar keberlangsungan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Di sini perlahan tetapi pasti, Negara Hukum diruntuhkan, Trias Politica dilumpuhkan. 

Industri yang seharusnya menjadi sahabat masyarakat karena berperan menyediakan segala kebutuhan, juga berjalan sendiri. Di negara maju industri digerakkan oleh para ilmuwan universitas. Semua proses dilakukan secara akurat dan akuntabel demi masa depan masyarakat yang lebih baik. Industri yang ditopang para ilmuwan menjadi kekuatan ekonomi negara. Itu sebabnya landasan pada bukti ilmiah menjadi keutamaan. 

Di sini industri bertata kelola bersih ditindas pelayan birokrasi yang korup, dikutip macam-macam pungutan, belum lagi para preman yang ”memalak”. Itu sebabnya saat ini banyak industri tutup, pindah ke negara Asia lain. Akibatnya, angka pengangguran dan pemutusan hubungan kerja semakin tinggi, dan kemiskinan semakin meluas. 

Industri sehat tidak bisa tumbuh, kecuali yang pemiliknya berkoneksi dengan elite politik, atau dimiliki para elite sendiri, dijalankan tanpa etika publik. Mereka sendiri yang membuat kebijakan, menjadi hakim bagi sah tidaknya suatu tindakan menguasai tanah rakyat, hutan, pantai, gunung, sungai, danau; beserta kepunahan keragaman hayati, sumber pengetahuan yang tidak terbaharui. 

Menambang nikel sambil mendeforestasi Raja Ampat, sedikit ”surga” yang tertinggal di bumi, adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Bahkan, ada kebijakan seorang menteri yang bisa membuat warga negara kehilangan tanah miliknya secara sepihak. Ini adalah plutokrasi, negara bisa mengontrol tanah rakyatnya secara sah. 

Bencana kemanusiaan

Pengabaian terhadap rasionalitas ilmiah yang paling nyata adalah prioritas pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan ekstraktif, menguras sumberdaya alam sebesar-besarnya dengan sah; bukan pembangunan sumberdaya manusia, memintarkan rakyat. 

Padahal skenario pertumbuhan ekonomi tinggi secara statistik tidak mencerminkan kemakmuran dan keadilan yang sesungguhnya. Banyak negara maju yang pertumbuhan ekonominya kecil dalam persentase, tetapi kekayaan suatu industri otomotif atau farmasi di negara itu saja bisa menyamai besarnya APBN kita.

Bencana banjir dan tanah longsor yang memilukan di Sumatera dan wilayah lain yang mengalami deforestasi akibat konversi hutan menjadi kebun monokultur atau tambang adalah tragedi kemanusiaan. Kerusakan planet, hancurnya ekosistem, dan tragedi kemanusiaan dengan korban nyawa dan luka yang mencapai ribuan, mungkin sudah dapat digolongkan sebagai ekosida. Artinya, tindakan melanggar hukum atau kecerobohan, padahal diketahui bahwa terdapat kemungkinan besar kerusakan lingkungan yang parah, baik karena dampaknya yang luas atau durasi kerusakan jangka panjang. 

Dalam beberapa tahun ini banyak organisasi internasional mengajukan ekosida (ecoside) sebagai kejahatan internasional kepada ICC (Mahkamah Kriminal Internasional), dan menambahkan empat kejahatan internasional lain, yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan penyerangan. Mengapa? Karena krisis iklim dan kerusakan planet terjadi dan berdampak melampaui batas-batas negara. Diharapkan selanjutnya penetapan internasional itu akan diadopsi oleh negara-negara.


Epilog

Pengabaian terhadap universitas, riset dan data berbasis bukti telah terbukti dampaknya, berupa kemunduran masyarakat dalam banyak segi. Matinya rasionalitas akan berakibat bencana kemanusiaan secara total. 

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kumpulan dari komunitas, masyarakat yang tersebar di wilayah Nusantara. Namun saat ini mereka di daerah mengalami kehilangan ruang hidup, yang berarti kehilangan sumber makanan, air bersih, dan pengetahuan yang selama ini dirawat oleh akar-akar tanaman hutan dan kebudayaannya. Nilai dan tradisi adat yang bertumpu pada upacara menghormati Sang Khalik, sesama manusia, dan lingkungan, juga akan punah.

Kapankah kita menyadari bahwa planet bumi tempat kita berdiam, bukanlah milik kita sesaat, tetapi utang kita kepada generasi yang akan datang?

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Sumber: Kompas.id, 9 Desember 2025

Butuh Aksi Nyata dan Kebijakan Berpihak di Tengah Krisis Ekologis

Cahaya Lilin Kecil
Bencana ekologis yang terus melanda Indonesia dan berbagai wilayah Asia—banjir besar, longsor, kekeringan ekstrem, dan kebakaran hutan—bukan lagi peristiwa yang bisa dilihat sebagai musibah alam semata. Ia adalah simptom krisis yang lebih dalam dan sistemik.

Di balik rusaknya bentang alam, yang sesungguhnya sedang terancam adalah kemanusiaan: martabat manusia, solidaritas sosial, dan kemampuan kita hidup bersama secara adil.

Air yang meluap, tanah yang longsor, dan udara yang kian beracun tidak mengenal sekat agama, budaya, atau kelas sosial. Namun dampaknya justru paling keras dirasakan oleh mereka yang paling rentan: kaum miskin, komunitas adat, kelompok pinggiran, serta mereka yang hidup di wilayah dengan tata kelola lingkungan yang rapuh. Krisis ini, dengan demikian, bukan hanya krisis ekologis, melainkan juga krisis keadilan sosial.

Ironisnya, dalam situasi darurat kemanusiaan, masih kerap muncul kecenderungan yang memprihatinkan: penderitaan manusia dijadikan komoditas pencitraan, bantuan dijadikan panggung kepentingan, dan solidaritas direduksi menjadi ritual simbolik. Ada orang tertentu tiba-tiba membantu korban sesaat demi citra di media.

Memulihkan Kehidupan

Padahal, ketika krisis melanda, yang dibutuhkan bukanlah klaim moral atau lomba kepedulian, melainkan aksi nyata yang memulihkan kehidupan. Semua dipanggil untuk menyelamatkan kemanusiaan sesuai profesi dan peran masing-masing.

Dari perspektif sosiologi, krisis iklim menyingkap apa yang oleh Ulrich Beck disebut sebagai risk society: masyarakat modern yang hidup dalam risiko buatan manusia sendiri. Modernisasi yang bertumpu pada eksploitasi alam, pertumbuhan tanpa batas, dan efisiensi ekonomi telah melahirkan ancaman yang tidak bisa lagi dikendalikan secara individual. Risiko ekologis melintasi batas negara, kelas, dan generasi—namun tanggung jawabnya justru sering dihindari.

Sementara itu, Zygmunt Bauman mengingatkan bahwa masyarakat modern cair cenderung melemahkan rasa tanggung jawab bersama. Ketika segalanya serba cair—relasi, institusi, bahkan komitmen moral—manusia mudah terjebak pada sikap “asal selamat sendiri”.

Dalam konteks krisis iklim, mentalitas ini tampak dalam ketidakpedulian struktural: kerusakan lingkungan dianggap sebagai harga kemajuan, dan penderitaan korban dipandang sebagai nasib belaka dan angka statistik.

Di sinilah urgensi menyelamatkan kemanusiaan menemukan maknanya. Menyelamatkan kemanusiaan berarti melampaui respons karitatif sesaat dan membangun solidaritas yang berakar pada keadilan. Ia menuntut pergeseran cara pandang: dari melihat korban sebagai penerima bantuan pasif menuju pengakuan bahwa mereka adalah subjek bermartabat, pemilik pengalaman, dan mitra dalam pemulihan.

Krisis Spiritual

Dari sudut pandang teologis, krisis ekologis adalah juga krisis spiritual. Dalam ensiklik Laudato Si', Paus Fransiskus menegaskan bahwa kerusakan bumi tidak dapat dilepaskan dari dosa struktural manusia: keserakahan, konsumerisme, dan ilusi bahwa manusia adalah penguasa absolut atas ciptaan. “Jeritan bumi dan jeritan kaum miskin adalah satu jeritan yang sama,” tulisnya. Maka, tanggapan atas krisis iklim bukan hanya teknokratis, melainkan juga moral dan rohani.

Konsep pertobatan ekologis menjadi kunci. Pertobatan ekologis bukan sekadar perubahan perilaku individual—seperti menghemat energi atau mengurangi sampah—melainkan transformasi cara hidup. Ia menuntut perubahan relasi: relasi manusia dengan alam, dengan sesama, dan dengan generasi mendatang. Dalam tradisi iman, pertobatan selalu mengandaikan perubahan arah hidup (metanoia), bukan kosmetik moral.

Pertobatan ekologis juga bersifat kolektif. Ia mengajak komunitas lintas iman dan budaya untuk menemukan titik temu dalam nilai-nilai universal: menjaga kehidupan, melindungi yang lemah, dan merawat rumah bersama. Ketika iman diwujudkan dalam aksi konkret—dari dapur umum bagi korban bencana hingga advokasi kebijakan lingkungan—agama tampil bukan sebagai simbol identitas, melainkan sebagai daya pembebas.

Kebijakan Publik yang Berpihak

Namun, tanggung jawab tidak boleh dibebankan hanya kepada masyarakat sipil. Negara memegang peran strategis. Menyelamatkan kemanusiaan di tengah krisis iklim membutuhkan kebijakan publik yang berpihak pada keselamatan warga, bukan pada kepentingan jangka pendek. Mitigasi dan adaptasi iklim harus berbasis keadilan sosial, melibatkan komunitas terdampak, serta memastikan perlindungan bagi mereka yang paling rentan.

Pada akhirnya, krisis iklim adalah ujian etis zaman ini. Ia menanyakan kepada kita: apakah kita memilih menjadi masyarakat yang saling menjaga, atau masyarakat yang saling mengabaikan? Menyelamatkan kemanusiaan menuntut keberanian untuk bertindak—bukan demi citra, bukan demi keuntungan, melainkan demi kehidupan itu sendiri.

Dalam dunia yang kian rapuh akibat krisis ekologis, hanya dengan aksi nyata dan tulus yang berakar pada solidaritas, keadilan, dan pertobatan ekologis, manusia dapat bertahan bukan dengan mengorbankan sesama, melainkan dengan saling menopang sebagai satu keluarga besar insani di bumi. (*)

Kamis, 04 Desember 2025

Resensi Buku: Mendidik dengan Iman dan Cinta secara Katolik

 

Resensi Buku - "Mendidik dengan Iman dan Cinta"

Oleh Pormadi Simbolon

Bagaimana menghadirkan pendidikan yang benar-benar memanusiakan?

Pertanyaan besar inilah yang dijawab Pormadi Simbolon melalui buku terbarunya, Mendidik dengan Iman dan Cintasebuah refleksi mendalam mengenai panggilan pendidikan dalam tradisi Katolik dan praktik pendidikan Indonesia masa kini.

Ditulis dengan bahasa yang hangat sekaligus visioner, buku ini mengajak para pendidik, orang tua, dan semua pemerhati pendidikan untuk kembali pada dua energi moral paling mendasar dalam hidup manusia: iman dan cinta.

Mengapa Buku Ini Penting?

Dalam dunia yang serba cepat, kompetitif, dan sering kali mengabaikan nilai kemanusiaan, Mendidik dengan Iman dan Cinta hadir sebagai panduan praktis sekaligus spiritual untuk membangun pendidikan yang:

  • mengedepankan martabat setiap pribadi,
  • memadukan pengetahuan dengan kebajikan,
  • melihat peserta didik sebagai subjek yang dikasihi Tuhan,
  • serta menciptakan ruang belajar yang aman, hangat, dan membebaskan.

Pormadi Simbolon, dengan pengalaman panjang dalam pembinaan masyarakat dan pengamatan tentang pendidikan Katolik, menampilkan gagasan bahwa pendidikan sejati tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga hati yang peka, iman yang kokoh, dan karakter yang teguh.

Isi Buku yang Menyentuh dan Mencerahkan

Pembaca akan menemukan pembahasan yang runtut dan inspiratif mengenai:

  1. Iman sebagai fondasi mendidik manusia seutuhnya;
  2. Cinta sebagai metode pendidikan yang memerdekakan;
  3. Tantangan pendidikan di era digital dan modernitas cair;
  4. Peran pendidik sebagai saksi kasih, bukan hanya pengajar;
  5. Strategi praktis membangun budaya sekolah yang humanis dan berkarakter

Gaya penulisan yang reflektif dan penuh empati membuat buku ini mudah dipahami, tetapi tetap memperkaya pemikiran.

Sasaran Pembaca

Buku ini sangat sesuai untuk:

  • guru dan tenaga kependidikan,
  • pastor, katekis, dan pembina umat,
  • mahasiswa pendidikan atau teologi,
  • pimpinan sekolah Katolik,
  • orang tua yang ingin mendidik anak dengan cinta dan nilai,
  • siapa pun yang rindu menghadirkan pendidikan yang bermakna.

Keunggulan Buku

  1. Menggabungkan refleksi teologis, psikologis, dan pedagogis
  2. Relevan dengan konteks pendidikan Indonesia
  3. Bahasa komunikatif dan inspiratif
  4. Cocok dipakai sebagai bahan retret, lokakarya guru, maupun pengembangan pendidikan Katolik

Mengapa Pembaca Akan Menyukai Buku Ini

Mendidik dengan Iman dan Cinta menawarkan jawaban atas kerinduan banyak orang terhadap pendidikan yang lebih manusiawi. Buku ini memberikan penguatan rohani, inspirasi praktis, dan visi baru bagi siapa pun yang menghayati pendidikan sebagai panggilan pelayanan.

Bagi lembaga pendidikan, komunitas Gereja, dan para pendidik, buku ini akan menjadi bacaan wajib untuk membangun budaya sekolah yang penuh kasih dan berorientasi pada pembentukan karakter.

Mari menjadi bagian dari gerakan menghadirkan pendidikan yang berakar pada iman dan diwujudkan dalam cinta. Buku ini bukan sekadar bacaantetapi pendamping perjalanan, bagi pendidik yang ingin memberi bukan hanya pelajaran, tetapi kehidupan itu sendiri. (*)

Informasi buku:

Judul : Mendidik dengan Iman dan Cinta

Penulis : Pormadi Simbolon

Bidang : Pendidikan – Spiritualitas – Humaniora

Penerbit : PT Pohon Cahaya, Yogyakarta

Tahun : 2025

Tebal : xviii + 94 hlm; 14,8x21 cm

ISBN : 978-602-491-635-0

E-ISBN : 978-602-491-637-4 (PDF)




#MendidikDenganImanDanCinta

#PendidikanBerbasisNilai

#PendidikanKatolik

#PendidikanHumanis

#ImanDanCinta


Selasa, 02 Desember 2025

Dua Buku, Satu Kegelisahan : Membaca Zaman - Merawat Manusia

 


Dua Buku, Satu Kegelisahan - Membaca Zaman, Merawat Manusia

Di tengah dunia yang bergerak cepat, rapuh, dan sering kehilangan arah, membaca dan menulis bukan sekadar aktivitas intelektual. Ia adalah tindakan merawat kesadaran, menjaga agar manusia tidak tercerabut dari makna, nilai, dan cinta. Dari kegelisahan itulah dua buku karya Pormadi Simbolon ini lahir: Pemikiran Zygmunt Bauman dan Mendidik dengan Iman dan Cinta.

Keduanya berbicara dari ranah yang berbeda, namun bertemu pada tujuan yang sama: menolong manusia memahami dunia dan tetap manusiawi di dalamnya.

Pemikiran Zygmunt Bauman - Membaca Dunia yang Cair dan Penuh Ketidakpastian

Zaman ini—meminjam istilah Zygmunt Bauman—adalah zaman *modernitas cair*: serba berubah, tak pasti, dan sulit digenggam. Relasi menjadi rapuh, identitas mudah goyah, dan institusi sering kalah cepat dari arus pasar dan teknologi.

Buku Pemikiran Zygmunt Bauman mengajak pembaca masuk ke jantung kegelisahan zaman itu. Dengan bahasa yang reflektif dan kontekstual, buku ini membedah gagasan-gagasan penting Bauman tentang:

* modernitas cair dan kehidupan yang tidak stabil

* krisis identitas dan rapuhnya relasi sosial

* konsumerisme, ketimpangan sosial, dan tanggung jawab moral

* posisi negara, pendidikan, dan warga di tengah dunia global


Buku ini tidak berhenti pada analisis kritis. Ia juga mengajak pembaca bertanya: bagaimana seharusnya kita hidup di dunia yang serba cair? Di sanalah refleksi etis dan kemanusiaan menjadi penopang utama.


Buku ini cocok bagi mahasiswa, dosen, pendidik, pemerhati kebijakan publik, rohaniawan, dan siapa pun yang resah membaca tanda-tanda zaman.

Mendidik dengan Iman dan Cinta

Pendidikan sebagai Tindakan Kemanusiaan

Jika buku pertama menyoroti kegelisahan zaman, maka Mendidik dengan Iman dan Cinta menawarkan jalan merawat manusia, khususnya melalui pendidikan berbasis nilai.

Di tengah pendidikan yang sering direduksi menjadi angka, peringkat, dan kompetisi, buku ini mengajak kita kembali pada pertanyaan dasar: untuk apa mendidik? Pendidikan, dalam perspektif buku ini, bukan sekadar soal kurikulum dan standar, melainkan soal **membentuk manusia seutuhnya —akal, moral, iman, dan kasih.

Buku ini menegaskan bahwa:

* iman bukan penghalang nalar, melainkan sumber makna

* cinta adalah dasar relasi pendidik dan peserta didik

* pendidikan Katolik dipanggil menjadi terang, bukan menara gading

* sekolah dan keluarga adalah ruang pembudayaan nilai kemanusiaan

Ditulis dari pengalaman reflektif dan praksis pendidikan, buku ini relevan bagi guru, pendamping iman, orang tua, pengelola sekolah, serta siapa pun yang percaya bahwa mendidik adalah panggilan moral dan spiritual.

Dua Buku, Satu Benang Merah

Pemikiran Zygmunt Bauman membantu kita memahami dunia, sementara Mendidik dengan Iman dan Cinta mengajak kita bertindak di dalam dunia itu. Yang satu membaca realitas, yang lain merawat harapan. Keduanya berpijak pada keyakinan yang sama: tanpa nilai, manusia akan mudah kehilangan arah.

Di tengah dunia yang semakin cair, pendidikan, iman, dan cinta bukan pilihan tambahan. Ia adalah fondasi bertahan hidup sebagai manusia.

Jika Anda mencari bacaan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menggetarkan nurani, dua buku ini adalah undangan untuk berhenti sejenak—merenung, dan bertumbuh. (*)

PEMESANAN kunjungi via Link ini: https://s.id/2bukubaumandanmendidik 


#MembacaZaman #ZygmuntBauman #PendidikanNilai #ImanDanCinta #LiterasiKritis

Powered By Blogger