Pada pertengahan Februari lalu, Brigjen TNI Bachtiar (Akmil 1984) dilantik sebagai Gubernur Akademi Militer (Akmil) di Magelang. Ada dua hal yang perlu dicatat dari peristiwa tersebut. Pertama, dengan dilantiknya Brigjen Bachtiar sebagai Gubernur Akmil, berarti Brigjen Bachtiar adalah alumnus pertama dari Akmil 1984 yang menembus pos bintang dua (mayjend). Baru-baru ini pangkatnya juga sudah dinaikkan sebagai mayjen. Kedua, tidak seperti biasanya, yang melantik Brigjen Bachtiar sebagai Gubernur Akmil adalah Pangkostrad Letjen TNI Pramono Edhi Wibowo, padahal antara Pangkostrad dan Gubernur Akmil, tidak ada garis komando.
Informasi yang beredar saat itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisutta sedang berhalangan (baca: sakit), sehingga tidak dapat melantik Gubernur Akmil. Pertanyaannya kemudian, bila KSAD berhalangan, mengapa bukan WAKSAD Letjen TNI J. Suryo Prabowo yang melantik (atas nama KSAD), sebagaimana yang sudah-sudah.
Pertanyaan inilah yang belum terjawab sampai sekarang. Yang jelas terjadi, Pangkostrad yang akhirnya hadir untuk melantik Gubernur Akmil. Mungkinkah ini semacam sinyal, bahwa Pangkostrad Letjen Pramono merupakan KSAD berikutnya, sehingga salah satu persiapannya adalah "magang" sebagai KSAD, dengan cara melantik Gubernur Akmil. Bila benar Letjen Pramono sebagai KSAD berikutnya, maka akan terjadi lompatan generasi, dari Angkatan 1976 (George Toisutta) ke Angkatan 1980 (Letjen Pramono), sehingga Angkatan 1977 dan Angkatan 1978 seolah terlewati begitu saja.
Agar kesenjangan generasi itu tidak terlampau lebar, maka WAKSAD akan segera diisi oleh Angkatan 1978, yaitu Letjen Budiman (lulusan terbaik 1978, kini masih menjabat sebagai Komandan Kodiklat TNI AD), menggantikan WAKSAD sekarang (Letjen Suryo Prabowo) yang kebetulan juga dari Angkatan 1976. Pada Juni 2011 Jenderal George akan pensiun, berarti pada Mei ini, akan terjadi pergantian KSAD, dan KSAD baru tersebut kemungkinan besar adalah figur yang sedang kita bahas ini.
Statusnya sebagai anak Sarwo Edhi memang sangat menguntungkan. Sejak menjadi perwira muda, dia sudah memperoleh perhatian khusus. Patung setengah badan Sarwo Edhi terpasang di depan Markas Komando Kopassus di Cijantung, karena Sarwo Edhi sudah seperti legenda bagi Kopassus, dan kekuatan figur ayahnya, adalah modal politik dan sosial yang sangat penting bagi Pramono EW.
Satu hal yang pasti dengan diangkatnya Pramono Edhi sebagai Pangkostrad, semakin menunjukkan semakin politisnya jabatan ini. Artinya, bagi Pramono EW jabatan sebagai Pangkostrad, hanyalah "batu loncatan" menuju posisi KSAD. Mengapa demikian? Karena dalam rekam jejak Pramono EW, tidak pernah sekalipun pernah berdinas di Kostrad. Bisa kita bayangkan, seorang perwira yang sejak letnan dua hingga sepanjang karirnya terus berdinas di Kostrad, belum tentu bisa menjabat sebagai Pangkostrad, bahkan untuk jabatan perwira tinggi yang lebih rendah dari Pangkostrad, seperti Panglima Divisi atau Kepala Staf Divisi. Sementara Pramono EW, tanpa pernah sekalipun dinas di Kostrad, seolah begitu mudahnya mencapai jabatan Pangkostrad
(Kanalinformasi)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar