Penulis : Eddy Lahengko/Deytri Aritonang/Diamanty Meiliana
JAKARTA - Dewan Pembina Partai Demokrat meminta Anas Urbaningrum mengundurkan diri atau nonaktif dari jabatannya sebagai ketua umum Partai Demokrat. Keputusan itu diambil setelah mendengar pandangan dari seluruh anggota Dewan Pembina.
Hal itu diungkap sumber SH di Jakarta, Rabu (25/1). "Ada empat poin. Itu (mundur atau nonaktif) merupakan poin kedua dari empat poin yang dihasilkan dalam rapat Dewan Pembina," jelas sumber itu.
Rapat yang digelar di kediaman Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yuhdoyono (SBY), Selasa (24/1) malam itu dipimpin Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng. Rapat juga dihadiri SBY dan hampir semua anggota Dewan Pembina. Namun Anas tidak menghadiri pertemuan itu karena bukan anggota Dewan Pembina.
Rapat Dewan Pembina digelar sebagai kelanjutan dari rapat pada Selasa lalu atas permintaan SBY untuk mendengarkan masukan dari anggota Dewan Pembina. "Tidak biasanya ada rapat seperti itu. Hanya ada beberapa yang tidak hadir karena alasan tertentu," jelas sumber SH lagi.
Mengenai mekanisme pergantian, semua akan dikembalikan sesuai mekanisme AD/ART Partai Demokrat. Untuk sementara bisa ditunjuk caretaker sebelum adanya pemilihan ketua umum. "Semua ada mekanismenya," ujar sumber itu lagi.
Menurutnya, sikap anggota Dewan Pembina ini tidak lepas dari survei yang sangat menohok Partai Demokrat karena hanya 14 persen, sedangkan di posisi teratas dipegang PDI Perjuangan dan Partai Golkar. "Semua ingin ada perbaikan, karena tidak mau terus terperosok," kata sumber yang juga dari internal Partai Demokrat ini.
Di kalangan anggota Dewan Pembina hanya ada satu orang yang ingin mempertahankan Anas dan satu lagi abu-abu. Selebihnya meminta Anas mengundurkan diri.
Sumber itu mengatakan, dalam waktu tidak lama akan ada tindakan nyata untuk ketua umum Demokrat. "Memang benar Pak SBY mengatakan Anas itu seperti 'saudara saya', namun bukan dalam konteks pembelaan tetapi lebih kepada ungkapan kekecewaan," katanya.
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarak yang dihubungi SH, Kamis (26/1) siang ini menegaskan, pihaknya tidak berani memberi menyatakan sikap menyusul wacana permintaan agar Anas mundur.
Dia mengatakan, jika ada aspirasi Dewan Pembina yang menuntut demikian adalah hal wajar. Meski demikian, keputusan akhir tetap ada pada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. "Namanya juga aspirasi. Dinamika internal boleh saja. Yang jelas Dewan Pembina kompak menyerahkan keputusan pada SBY," ujarnya.
Mubarok menyatakan, sejak rapat koordinasi nasional (rakornas) Partai Demokrat beberapa waktu lalu, memang ada permintaan dari kader dari Jawa Tengah agar Anas mundur dari keketuaannya.
Namun, aspirasi tersebut tidak langsung menjadi sikap partai. "Tidak ada yang berani menyatakan bagaimana aspirasi di rapat Dewan Pembina pada Selasa. Tidak ada keputusan tanpa SBY," jelasnya.
Dana Kongres
Sidang lanjutan terhadap terdakwa M Nazaruddin dalam kasus suap Sesmenpora terkait pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), Rabu (25/1), kian menguak sejumlah fakta penting. Yulianis, mantan anak buah Nazaruddin di Permai Grup, yang memberikan keterangan sebagai saksi membeberkan fakta penting itu.
Dalam waktu hampir delapan jam, Yulianis membeberkan kinerja perusahaan yang ternyata tidak berbadan hukum tersebut. Sebagai wakil direktur keuangan Permai Grup, Yulianis membuka catatan keluar masuk uang di perusahaan tersebut. Dia juga membawa buku khusus yang diduga sebagai catatan keluar masuk uang.
Yulianis mengakui ada uang Rp 6 miliar yang dikeluarkan untuk membeli proyek wisma atlet. Dia juga mengatakan Nazaruddin meminta uang US$ 1,1 juta untuk dibawa ke DPR terkait proyek wisma atlet.
Sejumlah uang juga mengalir kepada Anas dan Andi waktu Kongres Demokrat pada 2010. Dia menyebut perusahaan mengeluarkan uang Rp 150 miliar untuk Andi dan Rp 100 miliar untuk Anas. "Saya yang bawa uang ke Bandung, waktu itu untuk acara Kongres Partai Demokrat. Jadi Bu Rosa berperan sebagai pengusaha yang mau menyumbang Pak Andi dan Pak Anas Urbaningrum," ungkapnya.
Yulianis menyebutkan Permai Grup juga membeli saham PT Garuda Indonesia. Uang Rp 300,8 miliar yang didapat dari keuntungan proyek perusahaan dijadikan alat pembelinya.
Terdapat lima anak perusahaannya yang membeli saham-saham tersebut. Mereka adalah Permai Raya Wisata yang membeli 30 juta lembar saham seharga Rp 22,7 miliar, Cakra Wajah Abadi membeli 50 juta lembar senilai Rp 37,5 miliar, lalu Eksatek membeli 165 juta lembar saham dengan nilai Rp 124,1 miliar, Pasifik membeli 100 juta lembar saham seharga Rp 75 miliar, dan Dharmakusuma membeli 55 juta lembar saham seharga Rp 41 miliar.
Yulianis juga menceritakan soal rencana penghilangan alat bukti di kantornya tepat ketika Rosa tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 April 2010. Dengan perintah Nazaruddin, Yulianis diminta membereskan isi semua brankas perusahaan dan ruangan Rosa.
"Disuruh bersih-bersih, beres-beres, karena di sana banyak catatan-catatan. Menemukan identitas palsu Rosa dan KK palsunya dengan nama Amelia. Saya masukkan dalam kotak, saya berikan ke OB, dan saya nggak tahu lagi diberikan di mana," jelasnya.
Uang sejumlah Rp 7 miliar dan US$ 3000 dimasukkan ke kotak tersebut. Sertifikat tanah di Bekasi, STNK semua mobil kantor, dan berbagai deposito ikut dimasukkan ke kotak tersebut.
Hingga pukul 02.00 dini hari, dia bersama dua rekannya bersembunyi dalam satu ruangan gelap di kantor Permai Grup tersebut. Itu karena penyidik KPK sedang menggeledah isi kantor tersebut.
Menjelang pagi, dia dan rekannya bisa keluar. Yulianis melihat hanya satu koper yang berisikan cek-cek perusahaan yang dibawa pergi penyidik KPK. "Tidak tahu kenapa barang lain itu tidak tersita oleh penyidik," katanya.
Proses penyelamatan aset perusahaan itu, katanya, sudah direncanakan beberapa hari sebelumnya. Nazaruddin memerintahkannya secara langsung dalam pertemuan di rumahnya pada 17 April 2011. Bahkan ketika KPK menggeledah Permai Grup, Nazaruddin masih menghubunginya.
Menjelang sore, persidangan seperti sudah memasuki tahap keletihan. Saat itu sudah menjelang waktu salat magrib dan majelis hakim akan memberlakukan skors yang kedua.
Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertanya, Nazaruddin kembali ingin memastikan Anas terlibat dalam kasus-kasus yang menyeret namanya itu. Dia pun bertanya apakah Anas pernah datang ke kantor kepada Yulianis. Yulianis mengaku tidak pernah melihat Anas datang ke kantor setiap hari.
"Tapi tanpa ingin mendeskreditkan, kalau Pak Anas tidak datang ke kantor, Pak Nazar tidak salat Jumat," katanya yang disambut tawa riuh pengunjung sidang.
KPK Tidak Tunggu Istana
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan lembaganya independen dan tidak ada urusan dengan Istana. Hal ini dinyatakannya berkaitan dengan penilaian kinerja KPK yang lamban dalam menangani kasus wisma atlet.
Dalam sidang yang sedang berlangsung, nama Anas dan Angelina Sondakh berkali-kali disebut menerima sejumlah uang dari Nazaruddin. Bahkan Anas juga disebut menerima uang Rp 50 miliar yang dibagi-bagikan dalam pemenangannya sebagai ketua umum Demokrat.
"Kita tidak ada urusan dari Istana, kita independen. Di negeri ini tidak ada orang yang kebal hukum. Kita memerlukan dua alat bukti yang cukup, bukan menunggu wangsit dari Istana," katanya, Kamis (26/1).
Dalam jumpa pers yang diadakan pagi ini, Abraham tidak menyinggung soal tersangka baru di kasus wisma atlet maupun Hambalang. Menurutnya, belum ada telaah penyidik yang bisa menguatkan kasus ini naik ke tingkat penyidikan.
"Kita masih pengembangan. Tidak ada kasus yang kita petieskan. Tapi kita mohon agar bersabar sedikit karena upaya penegakan hukum tidak bisa dilakukan secara instan," katanya.
__._,_.___
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar