Mau seberingas apa pun sebuah organisasi masyarakat melakukan kekerasan, istilah pembubaran tidak akan berlaku. Sebab, belum ada landasan hukum untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan di Indonesia.
Selain itu, konteks organisasi kemasyarakatan di Indonesia bukan berbadan hukum. Ini bisa dilihat dari Undang-undang nomor 8 tahun 1985. Hingga saat ini ketentuan dan izin pendirian masih dalam pengawasan Kementerian Dalam Negeri.
Meski beleid tentang organisasi kemasyarakatan dianggap usang oleh beberapa kalangan, tetap saja peraturan itu menjadi rujukan. “Apa pun terkait ormas saat ini harus tunduk pada UU nomor 8 tahun 1985 karena masih berlaku dan belum dicabut,” ujar Fajrul Falakh, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat dihubungi merdeka.com, Jumat sore pekan lalu.
Dia menilai undang-undang itu diperkuat oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Peraturan ini diundangkan pada 23 April 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM.
Peraturan itu makin menegaskan semua organisasi kemasyarakatan wajib mendaftarkan diri dan memperoleh surat keterangan terdaftar (SKT) yang dapat diperpanjang, dibekukan, atau dicabut.
Fajrul Falakh mengungkapkan dia diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintai masukan buat merevisi undang-undang nomor 8 tahun 1985. Dia meminta undang-undang itu dibuat lebih sederhana. Dia juga berharap pemerintah lebih jelas dalam memposisikan organiasasi kemasyarakatan, apakah tetap di bawah binaan pemerintah atau tidak.
Perihal pembubaran organisasi kemasyarakatan yang melakukan kekerasan, Fajrul Falakh tidak setuju. “Kenapa Ormas seperti FPI harus dibubarkan, tindakan itu bisa dijerat dengan KUHP,” ujarnya.
Fajrul Falakh berharap rancangan akta organisasi masyarakat yang masih dalam pembahasan tidak keberatan mempertahankan asas perkumpulan masih menggunakan Pancasila. Dia beralasan negara masih menggunakan Pancasila sebagai ideologi.
Keharusan menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi masyarakat telah banyak menuai protes. Sebut saja Pelajar Islam Indonesia pada 1987 yang menolak menggunakan Pancasila sebagai asas organisasi. Pelajar Islam Indonesia berkukuh menggunakan Islam sebagai asas. Hingga akhirnya, pemerintah saat itu melarang kegiatan mereka.
Menilai hal itu, Fajrul Falakh berharap semua pihak menerima Pancasila sebagai asas tunggal buat organisasi masyarakat. “Saya tidak keberatan Pancasila sebagai asas. Islam itu agama, bukan ideologi,” katanya.
Selain itu, konteks organisasi kemasyarakatan di Indonesia bukan berbadan hukum. Ini bisa dilihat dari Undang-undang nomor 8 tahun 1985. Hingga saat ini ketentuan dan izin pendirian masih dalam pengawasan Kementerian Dalam Negeri.
Meski beleid tentang organisasi kemasyarakatan dianggap usang oleh beberapa kalangan, tetap saja peraturan itu menjadi rujukan. “Apa pun terkait ormas saat ini harus tunduk pada UU nomor 8 tahun 1985 karena masih berlaku dan belum dicabut,” ujar Fajrul Falakh, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat dihubungi merdeka.com, Jumat sore pekan lalu.
Dia menilai undang-undang itu diperkuat oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Peraturan ini diundangkan pada 23 April 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM.
Peraturan itu makin menegaskan semua organisasi kemasyarakatan wajib mendaftarkan diri dan memperoleh surat keterangan terdaftar (SKT) yang dapat diperpanjang, dibekukan, atau dicabut.
Fajrul Falakh mengungkapkan dia diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintai masukan buat merevisi undang-undang nomor 8 tahun 1985. Dia meminta undang-undang itu dibuat lebih sederhana. Dia juga berharap pemerintah lebih jelas dalam memposisikan organiasasi kemasyarakatan, apakah tetap di bawah binaan pemerintah atau tidak.
Perihal pembubaran organisasi kemasyarakatan yang melakukan kekerasan, Fajrul Falakh tidak setuju. “Kenapa Ormas seperti FPI harus dibubarkan, tindakan itu bisa dijerat dengan KUHP,” ujarnya.
Fajrul Falakh berharap rancangan akta organisasi masyarakat yang masih dalam pembahasan tidak keberatan mempertahankan asas perkumpulan masih menggunakan Pancasila. Dia beralasan negara masih menggunakan Pancasila sebagai ideologi.
Keharusan menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi masyarakat telah banyak menuai protes. Sebut saja Pelajar Islam Indonesia pada 1987 yang menolak menggunakan Pancasila sebagai asas organisasi. Pelajar Islam Indonesia berkukuh menggunakan Islam sebagai asas. Hingga akhirnya, pemerintah saat itu melarang kegiatan mereka.
Menilai hal itu, Fajrul Falakh berharap semua pihak menerima Pancasila sebagai asas tunggal buat organisasi masyarakat. “Saya tidak keberatan Pancasila sebagai asas. Islam itu agama, bukan ideologi,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar