Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Oktober 2012

Independensi demi Obyektivitas

A SONNY KERAF

Konflik antara KPK dan Polri sesungguhnya bukan semata-mata menyangkut perebutan kekuasaan dan wewenang. Karena itu, penyelesaiannya pun tidak boleh hanya dibatasi pada penyelesaian politik kekuasaan dalam bentuk turun tangan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan RI.

Penyelesaiannya juga tidak boleh hanya dilarikan sekadar berdasarkan kewenangan prosedural formal sebagaimana diamanatkan oleh UU. UU memang mengamanatkan semua perkara pidana khusus korupsi harus ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan Polri lebih berwenang menangani perkara pidana umum lainnya.

Lebih dalam dari itu, persoalan ini menyangkut prinsip moral independensi demi obyektivitas, dalam hal ini obyektivitas hukum dan moral. Persisnya, obyektivitas kebenaran hukum dan keadilan. Karena itu, kalau seumpamanya UU atau ada aturan mengamanatkan agar ketika Polri sudah lebih dulu menangani kasus dugaan korupsi di Korlantas, harus dibiarkan untuk ditangani Polri, amanat UU atau aturan semacam itu harus batal demi alasan etis menjamin obyektivitas kebenaran hukum dan keadilan.

Konflik kepentingan

Salah satu aspek penting dari prinsip etis independensi demi obyektivitas adalah bahwa pejabat atau siapa pun yang menangani sebuah perkara, termasuk perkara hukum, harus menghindarkan diri dari kemungkinan benturan atau konflik kepentingan yang dapat mengaburkan dan merongrong obyektivitas penanganan perkara tersebut. Hal itu berarti, secara etis, pejabat KPK, Polri, atau pejabat publik mana pun harus senantiasa tidak boleh masuk ke dalam situasi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan yang merongrong obyektivitas keputusan atau kebijakan apa pun yang diambilnya.

Prinsip etis ini berlaku umum dalam kasus apa pun bagi pejabat publik mana pun. Dan, hukum positif di negara mana pun harus mewadahi prinsip etis ini demi menegakkan obyektivitas kebenaran hukum dan keadilan. Bahkan, prinsip etis ini berlaku bagi profesi mana pun.

Itu berarti, secara etis sudah dengan sendirinya berlaku begitu saja tanpa perlu diperdebatkan bahwa ketika ada dugaan korupsi yang melibatkan instansi mana pun, dalam hal ini Polri, kasus tersebut tak boleh ditangani instansi bersangkutan. Ini demi menghindari konflik kepentingan dan tegaknya independensi demi obyektivitas hukum dan keadilan. Kalau Polri tetap menangani kasus yang melibatkan anggota korpsnya, publik tidak akan mudah percaya, apa pun hasilnya itu, termasuk kalaupun hasilnya sangat obyektif sekalipun. Ketidakpercayaan ini sah saja secara moral, terlepas dari apakah citra Polri sedang sangat baik atau sebaliknya sedang sangat buruk.

Prinsip ini penting dan sedemikian mendasarnya mengingat kenyataan yang tidak dapat dielakkan bahwa setiap manusia pada dasarnya lemah dalam arti mudah terbawa konflik kepentingan. Karena mudah terjebak dalam konflik kepentingan, sejak awal—siapa pun dia—harus dibebaskan dan menghindarkan diri dari kemungkinan terlibat dalam konflik kepentingan. Itu juga esensi dari larangan bagi pejabat publik, termasuk KPK dan Polri, untuk tidak boleh menerima hadiah atau fasilitas apa pun dari pihak lain—khususnya pihak yang beperkara—karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik kepentingan yang merongrong independensi demi obyektivitas.

Itu sebabnya kita butuh sebuah lembaga khusus yang independen untuk pemberantasan korupsi (KPK), termasuk ada pengadilan khusus untuk tindak pidana korupsi. Lembaga-lembaga ini diharapkan benar-benar independen terhindar dari konflik kepentingan apa pun demi obyektivitas hukum dan keadilan.

Atas dasar itu pula, seharusnya ada aturan hukum yang melarang penyidik KPK menangani dugaan korupsi yang melibatkan instansi induknya. Maka, penyidik KPK yang berasal dari Polri tidak boleh menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan Polri. Demikian pula penyidik KPK yang berasal dari kejaksaan, tidak boleh menyidik kasus dugaan korupsi yang melibatkan kejaksaan. Kecuali kalau semua penyidik KPK adalah benar-benar murni penyidik KPK lepas dari instansi induknya masing-masing.

Sistem yang terwadahi hukum

Hal sama berlaku juga bagi KPK. Seandainya suatu saat sampai terjadi bahwa ada pimpinan atau pejabat KPK diduga melakukan tindak pidana korupsi, sudah dengan sendirinya harus diterima secara etis bahwa kasus dugaan korupsi yang melibatkan pimpinan atau pejabat KPK tersebut tidak boleh ditangani oleh KPK. Kendati hukum mengamanatkan bahwa semua kasus korupsi ditangani oleh KPK.

Dalam hal ini, kita tidak boleh secara naïf mengandalkan begitu saja integritas pejabat publik yang sedang menjabat. Kita harus menyadari bahwa siapa pun pejabat publik itu, dia tetaplah manusia biasa yang lemah. Karena itu, selalu saja ada kemungkinan bahwa entah kapan, karena satu dan lain hal, kita mendapatkan pejabat KPK yang tidak punya integritas dan karena itu menyalahgunakan wewenangnya sampai terlibat tindak pidana korupsi. Untuk itulah, prinsip dasar independensi demi obyektivitas itu harus sudah diwadahi sejak sekarang dalam bentuk aturan hukum bahwa tidak boleh instansi terkait, termasuk KPK, menangani dugaan korupsi yang melibatkan anggota atau pejabat instansi yang bersangkutan.

Melalui cara inilah kita membangun sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi dan bukan sekadar mengandalkan integritas individu pejabat terkait, kendati tidak bisa dibantah bahwa integritas moral individu pejabat juga sangat penting. Dengan membangun sistem semacam ini, kelak tak akan ada lagi konflik, ketersinggungan, dan kecurigaan dalam penanganan korupsi yang melibatkan pejabat mana pun dan dari instansi mana pun.

Dengan sistem semacam ini pula, tidak perlu setiap kali kita harus merengek- rengek meminta Presiden turun tangan menyelesaikan kasus serupa secara politis kekuasaan, kendati dalam situasi tertentu perlu. Demikian pula, dengan sistem semacam itu, kita tidak perlu memperdebatkan isi pidato Presiden yang masih memberikan ruang bagi Polri untuk menangani dugaan korupsi yang melibatkan korps Polri. Karena sudah jelas, berdasarkan prinsip independensi demi obyektivitas kebenaran hukum dan keadilan, semua kasus dugaan korupsi yang melibatkan Polri—entah sudah atau yang akan datang—harus diserahkan kepada KPK sebagai lembaga yang tidak terseret pada pusaran konflik kepentingan.

A SONNY KERAF Pengajar Magister Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta
(Kompas, 12 Oktober 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger