Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Oktober 2012

Moralitas Pejabat Telah Hilang

Promosi jabatan terhadap pegawai negeri sipil yang pernah dipidana dalam kasus korupsi merupakan kebijakan yang sangat tidak patut, bertentangan dengan etika, dan kehilangan moralitas. Hal itu juga bertentangan dengan tekad bangsa dalam pemberantasan korupsi.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (11/10), mengatakan, PNS yang pernah dipidana terkait kasus korupsi boleh menjadi pejabat karena sampai sekarang belum ada aturan yang melarang hal itu.

Menurut Gamawan, ukurannya kepatutan dan kepantasan saja. Kepala daerah dipersilakan menilai kesalahan PNS itu sebelum menempatkannya kembali sebagai pejabat. "Silakan dinilai gubernur," ujar Mendagri.

Azirwan, mantan terpidana korupsi dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan, diaktifkan kembali sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu. Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan itu bebas dari tahanan sekitar tahun 2010. Azirwan dan Al Amin Nasution (waktu itu anggota Komisi IV DPR) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 8 April 2008.

Azirwan divonis 2 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 100 juta atau subsider tiga bulan penjara. Azirwan terbukti menyuap Al Amin terkait pembahasan alih fungsi hutan lindung di Bintan pada 2008.

Namun, kebijakan pengaktifan kembali pejabat yang tersangkut kasus korupsi itu, menurut pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tidak sesuai etika dan kepatutan. Meski tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, pengangkatan itu harus ditinjau kembali karena dapat berdampak besar pada efektivitas pemerintahan.

"Bahwa Azirwan masih berhak secara hukum, ya. Tapi, kalau dari segi kepatutan, itu tidak patut. Belum lagi bisa berakibat menurunkan moril para pegawai dan aparat pemerintahan lain. Semua akan terkena getah sosialnya," ujar Andrinof.

Fakta tersebut memperlihatkan moralitas sering kali dipandang terlepas dari hukum. Padahal, ujar pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Mudji Soetrisno, dari segi moral, integritas terpidana kasus korupsi yang sudah menjalani hukum dapat dipertanyakan.

"Orang sering memandang moralitas berada di luar pelaksanaan hukum. Orang yang sudah bebas secara hukum dianggap beres. Padahal, integritas moral orang tersebut bisa dipertanyakan," kata Mudji.

Ia menjelaskan, terpidana kasus korupsi yang sudah menjalani hukuman dapat dipromosi menjadi pejabat publik karena adanya kepentingan. "Jadi, yang terjadi sekarang, itu perang antara kepentingan dan nilai-nilai, seperti nilai-nilai moral," kata Mudji.

Ironisnya, lanjut Mudji, yang selalu menang adalah kepentingan, baik kepentingan jabatan, kekuasaan, kekayaan, maupun kepentingan untuk mencari makan. "Yang terjadi sekarang kan praktik politik tanpa moral," katanya. Praktik seperti itu tidak hanya dapat terjadi di lembaga legislatif, tetapi juga di lembaga birokrasi dan pemerintahan.

Oleh karena itu, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat menegaskan, koruptor yang telah divonis bersalah dan menjalani hukuman hendaknya tidak dipromosikan lagi untuk menduduki jabatan publik. Selain menjadi bentuk hukuman, langkah itu juga perlu demi menjaga kepercayaan publik dan membangun pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.

"Pengangkatan pejabat semacam itu harus dibatalkan karena tidak sah secara moral. Kenapa sosok itu dipaksakan, sementara masih banyak PNS yang lebih baik? Ini akan memicu kekecewaan di lingkungan pegawai dan membunuh idealisme mereka, sekaligus menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah," katanya.

Jika tetap dibiarkan, situasi ini bisa kian menumpuk kemarahan dan kekecewaan sosial. Bayangkan saja, saat ini marak diwacanakan hukuman mati bagi koruptor. Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama di Cirebon, Jawa Barat, pertengahan September lalu, meninjau kewajiban bayar pajak jika hasil pajak dikorupsi.

"Di tengah semangat memerangi korupsi, sekarang malah ada narapidana koruptor yang dipromosikan menduduki jabatan publik. Ini cermin dari hilangnya moralitas dan ketidaktegasan pemimpin nasional," kata Komaruddin.

Menurut Andrinof, pejabat yang mengangkat Azirwan patut dipersalahkan. Pengangkatan pejabat seharusnya memperhatikan semua aspek, termasuk aspek sosiologis. Moral pegawai bisa runtuh. Pegawai harus menghadapi gunjingan-gunjingan yang bernada menuduh, seperti jika atasannya saja begitu, apalagi bawahannya. Tentunya, lanjut Andrinof, hal itu akan berdampak pada efektivitas pemerintahan. Instansi yang dipimpin Azirwan bisa tidak dipercaya publik.

Pengangkatan tersebut, lanjutnya, sangat patut untuk dipermasalahkan. Senada dengan Komaruddin, Andrinof setuju agar promosi Azirwan dibatalkan. "Itu memang hak dia untuk mendapatkan promosi jabatan. Tapi, promosi itu kan kompensasi terhadap prestasi di tingkat sebelumnya. Berarti, semua orang di sana buruk, tidak ada yang bagus. Dan ini (Azirwan) adalah yang terbaik dari yang buruk," ujarnya.

Namun, Mendagri beralasan, masalah tersebut bisa juga dibandingkan dengan aturan soal jabatan kepala daerah. Kepala daerah yang pernah menjadi terpidana korupsi boleh mencalonkan diri lagi apabila hukumannya telah selesai. "Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan soal itu. Dianalogikan dengan itu saja," ujarnya.

Dengan analogi itu, PNS yang pernah dipidana karena korupsi boleh menjadi pejabat lagi. Apalagi, kata Gamawan, orang tidak boleh dihukum terus. "Manusia kalau berdosa bisa minta ampun. Bisa saja khilaf," ujarnya.

Akan tetapi, kata Gamawan, pihaknya akan mengkaji lebih lanjut. Sebab, saat ini diperlukan regulasi yang sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. "Akan dievaluasi dan diatur secara rinci. Akan ada pertimbangan-pertimbangan, seperti HAM," ujarnya.

Namun, dampak adanya mantan terpidana kasus korupsi yang menjadi pejabat publik, menurut Mudji, masyarakat akan bersikap tak peduli. "Kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik seperti itu akan habis," katanya. Krisis kepercayaan seperti itu terlihat dari fenomena pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta.

Mudji menambahkan, dengan adanya kepentingan mempromosikan mantan terpidana kasus korupsi sebagai pejabat publik, kaderisasi kepemimpinan menjadi terabaikan. Padahal, potensi kaderisasi pemimpin yang baik dan berintegritas di daerah masih dapat diharapkan. (Kompas, 12 Oktober 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger