Tak bisa dipandang sebelah mata kemampuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam meloloskan diri dari berbagai kemelut politik. Berbagai skandal dan tengkar alat-alat kekuasaan secara cerdik diarahkan menuju "keseimbangan" politik dengan bonus pengukuhannya sebagai "pahlawan".
Presiden SBY sepertinya memahami benar batas-batas otentisitas dan stamina perjuangan lawan-lawan politiknya. Dalam suatu masyarakat politik yang dikuasai para pemimpin partai dan politisi bermasalah, yang tidak lagi menjangkarkan kepentingannya pada nilai luhur, Presiden SBY mahir memainkan sticks and carrots, kapan harus menggertak dan kapan harus menawarkan gula-gula.
Dalam suatu masyarakat birokrasi yang terdiri atas berbagai sarang penyamun, Presiden SBY bisa memainkan cacat-cacat aparatur negara untuk memaksakan loyalitas. Pada saat yang sama, ia pun dapat memainkan konflik kepentingan antarlembaga negara untuk tujuan pengalihan isu atau melarikan diri dari tanggung jawab.
Dalam suatu masyarakat sipil dengan tingkat independensi yang lemah, Presiden SBY bisa dengan mudah memainkan distribusi logistik. Penetrasi logistik pada pemilihan ketua-ketua ormas dapat merobohkan dimensi kesukarelaan sebagai watak masyarakat sipil, yang dapat berujung pada pudarnya kewibawaan pemimpin masyarakat. Penetrasi logistik juga bisa memecah jaringan solidaritas masyarakat sipil yang melemahkan kekuatan oposisi terhadap pemerintah.
Dalam suatu masyarakat media yang didikte oleh rezim rating, Presiden SBY juga dengan cekatan merekayasa pseudo-events, yang dapat mengalihkan perhatian media secara cepat dari satu isu ke isu lain. Karena realitas politik adalah realitas opini publik, pergeseran cepat fokus liputan media membuat opini publik mudah bergeser. Skandal politik bisa berhenti sekadar simulacra di layar media, untuk cepat dilupakan sebagai kenyataan empiris.
Masalahnya, dengan segala kecerdikannya mempertahankan kekuasaan, nilai apakah gerakan yang ingin ia perjuangkan dengan kekuasaannya itu? Seorang pemimpin sejati tidak sekadar dilahirkan sejarah, tetapi melahirkan sejarah. Kemajuan suatu masyarakat bisa tercapai manakala terdapat pemimpin yang dengan segala keberanian, integritas, dan keterampilannya mampu memanfaatkan peluang untuk dapat menerjemahkan visi menjadi kenyataan.
Dalam kaitan ini, John Kenneth Galbraith punya kesimpulan. "Semua pemimpin besar memiliki karakteristik yang sama, yakni keberaniannya menghadapi kecemasan utama yang dirasakan rakyat pada masanya. Inilah yang menjadi esensi utama kepemimpinan".
Apakah Presiden SBY ingin dicatat sejarah sebagai pemimpin besar atau sekadar pemimpin tiban? Melihat rekam jejak obsesinya, tampaknya ia ingin meraih yang pertama. Ia pun sudah mengerti apa yang menjadi keresahan utama rakyat pada masanya, seperti ia tekankan dalam kampanye kepartaian (Partai Demokrat) dan kepresidenannya: "Korupsi".
Adakah ia memiliki keberanian untuk menghadapinya? Di sinilah pertaruhan nilai kepemimpinannya. Kepemimpinan adalah persoalan mengambil tanggung jawab, bukan membuat alasan. Sejarah akan mencatat dalam tinta emas sekiranya ia berani mengambil langkah-langkah fundamental dalam kerangka pemberantasan korupsi, bahkan jika dengan langkah-langkah itu bisa berujung pada kejatuhan kekuasaannya. Kebaikan hidup sering kali memerlukan pengorbanan sang martir. Tradisi harakiri pemimpin Jepang menjadi sumber kehormatan dan kebajikan politik.
Namun, sekiranya hal itu terlalu berlebihan, setidaknya masih bisa menjadi pemimpin yang tidak dicatat sejarah sebagai "Bapak Kekacauan". Publik merasa heran, mengapa berulang terjadi konflik antarlembaga negara dibiarkan dengan dalih tidak mau intervensi. Mengapa Presiden membiarkan suatu lembaga negara— di bawah kewenangannya—melakukan penyerangan dan kriminalisasi terhadap lembaga negara lain? Mengapa Presiden membiarkan para pembantunya berbeda pandangan dan pemihakan di ruang publik? Mengapa Presiden membiarkan para pembantunya mengambil suatu kebijakan politik strategis yang bertendensi pembobolan keuangan negara? Mengapa Presiden membentuk berbagai jabatan dan satuan tugas dalam beban rutin anggaran yang mencekik serta kesenggangan sosial yang menganga? Mengapa Presiden membiarkan elemen-elemen kekerasan yang mengancam kebebasan dasar insani dan membiarkan buruh-buruh migran bangsa ini mengalami penganiayaan dan pemerasan di luar dan dalam negeri?
Masih ada waktu untuk membuktikan ketidaktepatan nada sumbang persepsi publik tentang sikap sang presiden. Seusai memberikan pidato pada Senin (8/10) malam, yang menjelaskan posisinya menyangkut hubungan kepolisian dan KPK, publik cenderung memberikan apresiasi atas keberanian Presiden mengambil keputusan yang tegas dan tepat.
Tinggal masalahnya, efektivitas kepemimpinan tidaklah berhenti sebagai pidato atau asal disenangi, tetapi ditentukan oleh tindakan dan hasil. Publik menanti realisasi kehebatan ucapan Presiden itu dalam kehebatan aksi-aksi nyata penertiban aparatur negara dengan zero tolerance terhadap korupsi.
Inkonsistensi akan membawa "ketidakpercayaan permanen". Sebagai purnawirawan, tentu Presiden SBY mengenal ucapan Colin Powell. "Kepemimpinan adalah penyelesaian masalah. Saat serdadu berhenti membawa masalah kepada Anda, saat itulah Anda berhenti memimpin mereka. Mereka tidak lagi memiliki kepercayaan kepada Anda atau berkesimpulan bahwa Anda tak memiliki kepedulian lagi. Kedua kasus itu menunjukkan kegagalan Anda sebagai pemimpin."
Sebelum rakyat berhenti berharap, saatnya Presiden membebaskan diri dari penjara narsisme. Kepemimpinan adalah kesempatan untuk melayani dengan hati, bukan dengan meniupkan terompet pesona pemuasan diri sendiri.
Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan
(Kompas, 9 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar