Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 November 2012

Mengingkari Perintah Presiden

Saldi Isra

Gugatan perdata Korps Lalu Lintas Polri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi bukti empirik betapa kepolisian tidak begitu ikhlas dengan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, pidato yang sebagian substansinya merupakan perintah kepada polisi itu menjadi titik penting untuk mengakhiri ketegangan hubungan di antara kedua lembaga ini.

Andaipun benar adanya bahwa gugatan telah diajukan sejak bulan lalu, harusnya, segera setelah Presiden SBY berpidato, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mencabut gugatan itu. Memilih menggugat atau meneruskan gugatan yang ada dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran terhadap perintah Presiden dalam menyelesaikan perseteruan antara KPK dan kepolisian. Selain itu, gugatan Korlantas justru kian merusak citra institusi kepolisian di tengah desain besar pemberantasan korupsi. Apalagi, sejumlah fakta membuktikan, sikap polisi tak begitu ramah kepada KPK. Paling tidak, dalam kasus korupsi driving simulator, polisi benar-benar mempertontonkan resistensi lembaga ini ke KPK. Karena itu, meminjam bahasa Teten Masduki, pidato SBY jadi pelipur emosi masyarakat yang terkoyak oleh kepongahan polisi (Kompas, 10/10).

Pengingkaran berulang

Dalam batas penalaran yang wajar, sebagai sebuah institusi yang langsung berada di bawah presiden, perintah presiden menjadi semacam kewajiban untuk dilaksanakan. Apalagi, dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI ditegaskan, dalam pelaksanaan tugasnya, kepolisian bertanggung jawab kepada presiden. Kenyataannya, polisi acapkali menafikan perintah presiden. Bilapun ada upaya, sejumlah bentangan fakta menunjukkan bahwa polisi tidak sepenuh hati melaksanakannya.

Salah satu contoh nyata pengingkaran polisi terhadap perintah Presiden dapat ditelusuri dalam penuntasan rekening tidak wajar (rekening gendut) sejumlah perwira polisi. Dalam soal ini, Presiden memerintahkan membuka hasil pemeriksaan rekening tak wajar sejumlah perwira polisi kepada masyarakat. Jangankan memenuhi perintah itu, polisi justru berkeras menyatakan rekening tak wajar yang dituduhkan jauh dari benar alias masih berada pada batas jumlah yang wajar.

Ketika perintah Presiden SBY tidak direspons sebagaimana mestinya, tentunya desakan dari berbagai kalangan yang prihatin terhadap pembersihan di internal polisi menjadi kehilangan kekuatan untuk terus mendorong pengungkapan rekening tidak wajar tersebut. Karena resistensi yang membatu, putusan Komisi Informasi Pusat pun agar informasi rekening tidak wajar dibuka ke masyarakat juga dianggap seperti angin lalu saja oleh kepolisian. Pengingkaran serupa terjadi pula pada pengungkapan kasus penganiayaan terhadap pegiat antikorupsi dari ICW, Tama Satrya Langkun.

Karena itu, dalam batas penalaran yang wajar pula apabila muncul pertanyaan mendasar, mengapa Presiden SBY membiarkan pengingkaran demi pengingkaran itu berterusan? Jika hendak pertanyaan itu dilanjutkan, apakah kepolisian menjadi salah satu institusi yang selalu dikeluhkan karena lamban menindaklanjuti instruksi yang diberikan SBY?

Dalam posisi institusi kepolisian yang langsung di bawah presiden, pertanyaan tersebut dan rangkaian pertanyaan lain yang sejenis menjadi tidak sederhana untuk dijawab. Apalagi, Presiden pernah menyampaikan secara terbuka bahwa kurang dari 50 persen instruksinya yang hanya dijalankan para pembantunya.

Menggunakan cara berpikir a contrario, lebih dari 50 persen perintah SBY tidak dilaksanakan. Bukankah pengingkaran yang ada menjadi bentangan fakta robohnya wibawa Presiden di mata para pembantunya. Begitu pula dalam gugatan Korlantas ini, wibawa SBY tidak kokoh berdiri di hadapan kepolisian.

Wibawa presiden

Membaca penjelasan kepolisian, alasan Korlantas mengajukan gugatan ke pengadilan karena KPK tidak mau mengembalikan sejumlah dokumen yang tidak terkait dengan kasus driving simulator. Dari tumpukan dokumen yang dibawa KPK ketika melakukan penyitaan di Korlantas, sangat mungkin di antaranya tidak terkait dengan kasus yang sedang disidik.

Namun melihat ketegangan yang terjadi sejak tindakan penyitaan di Korlantas, boleh jadi KPK masih membutuhkan waktu untuk memverifikasi semua dokumen yang disita. Sebagaimana diketahui, sejak pidato SBY yang memerintahkan kasus driving simulator ditangani KPK, polisi menyerahkan seutuhnya penyidikan kasus ini kepada KPK baru dilaksanakan minggu lalu (Kompas, 30/10). Dari hitungan waktu, apakah mungkin semua dokumen selesai diverifikasi oleh KPK? Sekiranya dikaitkan dengan hitungan waktu itu, sangat masuk akal kecurigaan yang berkembang di sejumlah pihak bahwa gugatan kepolisian lebih pada ketakutan jika dokumen keluar dari Korlantas. Boleh jadi, sekiranya diketahui pihak lain di luar kepolisian, dokumen yang disita KPK akan menguak banyak hal yang sejauh ini disimpan dengan status sangat-sangat rahasia.

Karena kemungkinan posisi "penting" dokumen yang disita KPK itu, Korlantas menggugat dengan menggunakan diksi propelayanan: dokumen yang disita berkaitan dengan kegiatan rutin yang apabila tidak dikembalikan akan mengganggu pelayanan kepada masyarakat. Namun, pilihan diksi propelayanan itu dinegasikan sendiri oleh Korlantas dengan adanya ganti kerugian imateriil Rp 6 miliar dan kerugian materiil dengan angka yang fantastis, Rp 425 miliar. Setelah berlalu lebih dari tiga minggu pidato SBY, tindakan Korlantas untuk meneruskan gugatan perdata ini dapat dibaca sebagai bentuk pembangkangan salah satu unit di kepolisian atas langkah penyelesaian yang dilakukan Kepala Polri. Tidak hanya itu, gugatan ini juga sedang mempertontonkan robohnya wibawa Presiden SBY di depan institusi kepolisian. Dalam konteks itu, gugatan Korlantas tak hanya menista Kapolri, tetapi sekaligus menjadi pembenaran empirik bahwa lebih dari 50 persen perintah SBY tidak dilaksanakan.

Untuk mengembalikan dan memulihkan sebagai pimpinan tertinggi kepolisian, tidak cukup bagi Kapolri memerintahkan menarik gugatan ini. Karena telah menista, Kapolri harus mau dan berani "menjewer" mereka yang berada di belakang gugatan ini. Dengan langkah itu, Kapolri tak hanya sebatas menyelamatkan wibawa pimpinan tertinggi kepolisian, tetapi sekaligus memulihkan wibawa Presiden. Sekiranya hal itu tak dilakukan, agar pengingkaran tak diulangi lagi, pilihan terakhir Presiden harus "menjewer" Kapolri.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang (Kompas cetak, 1 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger