Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 22 Oktober 2012

Skenario Dinosaurus

Oleh Ikrar Nusa Bhakti

Kalangan purnawirawan jenderal sering sekali meminta penulis menjelaskan kepada masyarakat, khususnya aktivis LSM, agar para purnawirawan jangan lagi dipandang sebagai anggota militer, melainkan orang sipil yang juga punya hak-hak politik yang sama untuk dicalonkan sebagai presiden.

Namun, kita juga mengamati, belum ada perubahan signifikan cara pandang dan tindak-tanduk para purnawirawan jenderal terhadap elite politik sipil, sistem politik yang demokratis, dan kepemimpinan nasional. Kebiasaan militer menggunakan sistem komando ketimbang kepemimpinan yang lebih didasari kepercayaan dan dialog masih tetap terpatri di hati sanubari sebagian purnawirawan jenderal, khususnya purnawirawan TNI AD. Tak sedikit purnawirawan jenderal yang tak percaya kepada pemimpin politik sipil, dan lebih merasa nyaman apabila kepemimpinan nasional tetap di tangan kelompoknya sendiri, yakni mantan jenderal.

Kesan ini muncul dari pertemuan para jenderal purnawirawan ABRI (TNI dan Polri) Angkatan 1970-1974 di Jakarta, 2 Oktober 2012. Saat itu Letjen TNI (Purn) Luhut Panjaitan, mantan menteri perdagangan era Gus Dur, meminta Presiden SBY membantu menemukan kandidat paling pas untuk menggantikannya pada 2014 demi kesinambungan.

Pada pertemuan itu pula SBY mengingatkan para mantan jenderal yang akan bertarung pada Pemilu Presiden 2014 agar berpegang pada nilai-nilai demokrasi. Indonesia sedang mengalami transformasi, para mantan militer harus beradaptasi dengan situasi politik yang baru ini. Dalam bahasa SBY, "kita tidak ingin hidup dalam suatu skenario dinosaurus, di mana segalanya di seputar kita telah berubah, tetapi kita tetap saja sama (tidak berubah)" (The Jakarta Post, 4/10/2012).

Pertemuan para purnawirawan jenderal itu ada tujuan politik tertentu. Satu hal yang amat jelas tampak, para purnawirawan jenderal sedang resah karena Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad era Soeharto, kini menempati peringkat tertinggi dalam berbagai survei mengenai calon presiden RI pada 2012. Tak heran mereka mengingatkan masyarakat agar memperhatikan rekam jejak para calon presiden, termasuk tetapi tak terbatas pada apakah calon pernah melakukan pelanggaran HAM atau tidak. Tak mengherankan pula jika SBY mengingatkan para jenderal agar tetap berpegang pada nilai-nilai demokrasi dalam upaya menuju puncak kekuasaan di Indonesia.

Sayangnya, Prabowo tak diundang pada acara itu dengan alasan kursi undangan amat terbatas! Ini sama tidak fair-nya "pengadilan terhadap Prabowo" pada awal Reformasi 1998, di mana ia diberhentikan dari dinas kemiliteran hanya melalui proses di dalam Dewan Kehormatan Perwira (DKP) dan bukan lewat pengadilan militer. Kita tahu, di DKP seorang perwira TNI yang diinterogasi tak didampingi penasihat hukum dan karena itu prosesnya tidak fair. Kita tahu Prabowo dan anak buahnya yang tergabung dalam Tim Mawar menculik beberapa aktivis prodemokrasi, 1997-1998. Tapi kita juga tahu Prabowo pernah mengatakan tak semua aktivis itu diculik oleh timnya. Sayangnya, persoalan ini tetap gelap karena tak ada pengadilan militer atas apa yang diperintahkan Prabowo kepada anak buahnya. Mereka yang diadili hanya para perwira pertama dan menengah yang tergabung dalam Tim Mawar. Sebagian dari mereka karier militernya tetap lancar.

Menepuk air di dulang

Upaya para jenderal purnawirawan menjegal langkah politik Prabowo sebenarnya ibarat menepuk air di dulang, muka sendiri kena perciknya. Ini justru mengingatkan kesadaran kita bahwa gaya kepemimpinan militer penuh dengan komando, kerahasiaan, otoriter, dan tak jarang melanggar HAM. Kita juga patut bertanya apakah hanya orang dari kalangan militer yang dapat mempertahankan integrasi nasional kita jika cara-cara militeristik di masa lalu justru membuat Aceh tetap bergolak, terjadi trauma politik mendalam di Papua, dan Timor Timur akhirnya lepas karena masyarakatnya tak dimanusiakan, tetapi selalu ditekan.

Kita juga patut bertanya apa yang dihasilkan para kolonel yang dulu duduk sebagai direktur utama perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi Bung Karno, 1956-1957? Memang ada dari perusahaan itu yang maju, tetapi Pertamina yang kini dipegang sipil jelas jauh lebih maju ketimbang saat dipegang militer. Pertamina di bawah Ibnu Sutowo pernah hampir bangkrut pada 1974 dan harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, yang mengungkapnya, langsung dibredel selamanya. Bandingkan dengan Pertamina kini di bawah seorang perempuan sipil yang membawa Pertamina jadi perusahaan minyak kelas dunia. Pertamina bukan saja berusaha mendapatkan konsesi eksplorasi di sejumlah negara Asia dan Afrika, melainkan juga mulai mengekspor oli produksi Pertamina ke Jepang!

Kita lihat juga hasil Orde Baru selama 32 tahun. Selama ini yang dibanggakan adalah stabilitas keamanan terpanjang dalam sejarah Republik, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan. Dalam sebuah panel dengan penulis di Radio Universitas Trisakti pada awal Reformasi, Mayjen TNI (Purn) Syamsuddin, mantan anggota Komnas HAM, menyatakan semua itu semu belaka. Stabilitas terjadi karena didukung ABRI, pertumbuhan ekonomi didukung eksploitasi sumber daya alam yang amat masif, booming minyak dan utang luar negeri yang amat besar, sedangkan ketimpangan kaya-miskin begitu lebar!

Di era Soeharto kita hidup—meminjam istilah almarhum aktivis mahasiswa UI Ibrahim Gidrach Zakir (Bram Zakir)—di bawah sepatu lars tentara. Tak ada kebebasan berbicara dan berkumpul. Di kampus-kampus sejak 1979 diterapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Surat kabar kampus UI, Salemba, tempat penulis mengaktifkan diri pada kehidupan kampus, berkali-kali dibredel hingga tak boleh terbit lagi sejak 1980 melalui larangan yang dibuat Pangkopkamtib Laksamana Soedomo.

Namun, kita juga tak menutup mata bahwa rezim otoriter Soeharto yang mulai retak sejak 1990 ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia didirikan oleh Soeharto melalui BJ Habibie, bukan saja menimbulkan gerakan mahasiswa dan pembangkangan sipil yang begitu besar, melainkan juga memunculkan kelompok militer dari TNI AD yang melapangkan jalan bagi reformasi politik pada 1998.

Pemimpin sipil

Jajak pendapat Kompas yang dirilis 8 Oktober 2012 memberi angin segar bagi kepemimpinan sipil. Ternyata, berbeda dengan survei yang meletakkan Prabowo di posisi puncak capres, hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan harapan masyarakat berada di pundak pemimpin sipil murni ketimbang sipil yang mantan militer. Karakter pemimpin militer hanya mendapatkan angka 74,7 persen dalam hal gaya kepemimpinan militer yang tegas dan otoriter, berbanding terbalik dengan gaya kepemimpinan sipil yang lebih egaliter dan mementingkan dialog 74,1 persen.

Siapa yang lebih mampu menyelesaikan berbagai persoalan seperti kemiskinan, karut-marut pelayanan publik, perusakan lingkungan, konflik tanah, kekerasan di dunia pendidikan (tawuran dan bullying), kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pelanggaran HAM masa lalu, dan korupsi, ternyata jawabannya adalah pemimpin sipil! Ketika ditanya untuk presiden mendatang, lebih memilih presiden dari kalangan sipil atau militer, 50,4 persen responden lebih memilih sipil dan hanya 34,0 persen memilih dari militer, dan 15,6 persen tidak tahu/tidak menjawab.

Militer, aktif atau purnawirawan, akan tetap punya jiwa korsa (esprit de corps) yang tinggi. Meskipun sudah pensiun, mereka tetap ingin eksis sesuai pepatah Old Soldiers never die, they just faded away! Sebaiknya mereka beradaptasi dengan sistem demokrasi dan berupaya membantu menjadikan TNI alat pertahanan negara yang kita banggakan dan disegani negara- negara tetangga. Tapi jika mereka tak juga mau beradaptasi dengan situasi politik masa kini, skenario dinosaurus bisa jadi kenyataan, terasing di lingkungannya dan kemudian punah dimakan zaman!

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI, Jakarta
(Kompas, 22 Oktober 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger