Kegaduhan di negeri ini terus silih berganti. Yang paling mutakhir adalah gaduh di seputar penghapusan hukuman mati.
Menyusul keputusan Hakim Agung Im- ran yang menjatuhkan hukuman mati atas pemilik pabrik narkoba (Henky Gunawan), Presiden SBY melalui grasinya mela- kukan hal yang sama atas penjahat kakap narkoba yang berbeda (Deni Setia dan Meirika Franolia). Imran mengganti hukuman mati hanya dengan 12 tahun penjara, presiden menggantinya dengan hukuman seumur hidup.
Keduanya pun mendapat kecaman publik yang keras dan luas. Imran digugat: bagaimana mungkin hukuman mati atas kejahatan gembong narkoba diganti hanya dengan 12 tahun penjara, belum lagi dipotong remisinya? Dibayar berapa dia? Soal presiden: bukankah beliau sendiri yang menobatkan kejahatan narkoba (dan korupsi) sebagai kejahatan luar biasa. Namun, mengapa hukumannya diubah layaknya kejahatan biasa.
Seperti dimaklumi, penjahat narkoba bukan saja membunuh begitu banyak manusia, melainkan membunuh mereka pelan-pelan dengan penderitaan lahir batin yang panjang. Di atas segalanya semua itu dilakukan demi keuntungan materi semata.
Soal hukuman mati
Hukuman mati adalah hukuman yang sangat kuno. Boleh jadi sejak ada orang yang merasa berhak menegakkan hukum (penguasa), hukuman mati sudah menjadi pilihan menghukum kejahatan besar. Jika tidak menghukum mati secara fisik, sekurang-kurangnya secara sosial dengan dibuang atau diasingkan, yang akhirnya juga akan mati karena dimakan binatang.
Zaman dulu penjara berupa bangunan kokoh dengan segala fasilitasnya belum tersedia dan mungkin dianggap tak praktis, bertele-tele, makan biaya, dan tentu saja rawan korupsi. Hukuman mati, potong tangan, cambuk, denda, dan sebagainya menjadi pilihan yang praktis, murah, dan menjerakan.
Namun, menghukum mati memang perkara besar. Sekali dikenakan dan salah, tidak mungkin diperbaiki. Apalagi dulu, hukuman mati lazim dikenakan dengan teknik yang begitu mengerikan, seperti pernah dipraktikkan selama berabad-abad oleh para penguasa di berbagai belahan bumi. Penguasa China kuno, misalnya, tercatat sebagai rezim penghukum mati yang teramat sadis. Membaca dokumennya, perut langsung mual dan bulu kuduk berdiri.
Mengadopsi "kearifan" yang berkembang di masyarakat, kitab suci agama-agama pun ikut menerapkan. Perjanjian Lama mengenakan hukuman mati untuk beberapa kejahatan (Keluaran 21:22; 21:16; 22:19). Melalui Santo Agustinus dan Thomas Aquinas, merujuk Surat Paulus kepada Jemaat Roma 13:4, selama berabad-abad gereja menilai hukuman mati jalan efektif mencegah kejahatan dan melindungi pihak tak bersalah. Kemudian, mewarisi tradisi Taurat (Perjanjian Lama) dan tradisi gereja abad Pertengahan, Al Quran mengadopsi hukuman mati atas kejahatan tertentu dengan catatan.
Namun, ada yang berbeda: jika di masyarakat umum hukuman mati cenderung menganut logika dendam (pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan), kitab-kitab suci mengambil hukuman mati atas nalar penjeraan dan kesetimpalan (keadilan). Membalas itu masuk akal, tetapi tak boleh melampaui tindakan. "Kami (Tuhan) tetapkan dalam Taurat (Perjanjian Lama), bahwa nyawa dibalas nyawa (hukuman mati), mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, telinga dibalas telinga, gigi dibalas gigi dan setiap luka dibalas luka." (Al Quran [5]: 45).
Ketetapan Taurat (Perjanjian Lama) ini bukan saja dianut umat Yahudi dan berpengaruh di kalangan Kristiani, melainkan secara eksplisit diadopsi juga oleh Al Quran umat Islam. Inilah yang disebut qisas, hukuman setimpal sebagai hukuman maksimal, yang memesankan: jika kamu tak ingin disakiti, janganlah menyakiti; jika tak mau dipukul, janganlah memukul; jika tak ingin dibunuh, janganlah membunuh. Walhasil, jika tak ingin dirampas hak asasi, janganlah merampas hak asasi orang lain. Inilah kaidah keadilan universal.
Melampaui keadilan
Memang di atas keadilan, ada norma lain yang lebih unggul dan mulia di mata Allah ataupun manusia, yakni kasih yang diterjemahkan dalam bentuk pengampunan terhadap yang salah, baik sebagian maupun keseluruhan. Maka normanya, tidak selalu nyawa mesti dibalas nyawa, mata dibalas mata. Ada pilihan lain yang lebih terpuji dan lebih disukai Allah: ganti rugi (diyat) atau bahkan pengampunan sama sekali, sebagaimana ditegaskan oleh kelanjutan ayat Al Quran surat al-Maidah: "Barang siapa dari keluarga korban yang mau bersedekah (dengan tidak menuntut mati atas si pembunuh, melainkan cukup ganti rugi atau bahkan pengampunan sama sekali), maka hal itu merupakan penebusan bagi si pelaku" (Al Quran [5]: 33). Ganti rugi sangat relevan, terutama atas nyawa korban yang notabene tulang punggung ekonomi keluarga.
Yang perlu dicatat, menurut Kitab Suci, apa yang akan dikenakan terhadap si pembunuh, hukuman setimpal (kisas), ganti rugi, atau pengampunan penuh, yang memutuskan bukanlah negara, melainkan keluarga korban. Negara hanya mengukuhkan keputusan keluarga dan memastikan eksekusinya. Alasannya sederhana dan jelas: bukan negara, melainkan keluarga korban yang secara emosional dan sosial pemikul beban perkara. Jadi jelas dalam ajaran Alkitab maupun Al Quran, peluang menjatuhkan atau menghindari hukuman mati memang terbuka. Terutama untuk pembunuhan perseorangan demi pembelaan diri dari penyerangan, perampokan, atau penganiayaan beruntun, seperti dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Persoalannya bisa jadi lain ketika kor- ban pembunuhan langsung atau tak langsung bukan cuma perseorangan, melainkan massal. Al Quran menyebut kejahatan ini hirabah dan ifsad fil ardl penghancuran masyarakat atau dalam bahasa HAM, kejahatan kemanusiaan. Tidak ada balasan lain untuk mereka kecuali dihukum mati, disalib, atau dipotong tangan dan kakinya.
Sementara itu, yang dilakukan bandar narkoba dan lebih-lebih pemilik pabriknya bukanlah pembunuhan orang seorang, melainkan pembunuhan massal secara generasional alias kejahatan kemanusiaan. Termasuk jenis kejahatan ini: korupsi.
Penghormatan kepada hak asasi hanya masuk akal untuk manusia yang punya setitik hati untuk menghormati hak asasi orang lain. Adalah absurd orang yang tidak peduli dengan hak asasi orang, tetapi menuntut orang lain dan masyarakat untuk menghormati hak asasinya. Yang wajib dicatat, penjahat kemanusiaan dengan korban yang begitu masif, seperti penjahat narkoba dan koruptor, tujuannya tidak lain: "sebesar-besar keuntungan pribadi secara materi dengan sebesar dan seluas- luasnya korban di pihak lain".
Al Quran masih memberikan kesempatan. Jika sebelum negara berhasil menghukum kedua penjahat kemanusiaan itu ternyata yang bersangkutan diketemukan benar-benar telah bertobat dengan meninggalkan seluruh bisnis haramnya dan dengan sukarela mengembalikan semua uang haram hasil kejahatan narkoba atau korupsinya, mereka pun berhak tak dihukum mati atau diampuni. Bila tidak, hukuman mati adalah yang terbaik bagi yang bersangkutan ataupun masyarakat dan negara!
Masdar Farid Mas'udi Rois PBNU; Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia
(Kompas cetak, 24 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar