Almarhum Harry J Benda, profesor ilmu politik di Yale University, ketika saya menjadi mahasiswa-peserta dalam kuliahnya tentang "Sejarah Perpolitikan di Indonesia" di universitas tersebut pada pengujung 1950-an, secara datar mengatakan bahwa di Indonesia pada dasarnya tidak ada dan tidak dikenal yang namanya demokrasi seperti yang dikenal di dunia Barat.
Di Indonesia, sejak semula sampai era kolonial dan era pra-kemerdekaan, malah tak ada dan tak dikenal yang namanya hak asasi manusia dengan segala ranting dan ranggas parafernalianya dalam sistem dan struktur pemerintahan, kemasyarakatan, dan kebudayaan mereka. Yang ada ialah fe- odalisme yang bersifat absolut, etatik, sen- tripetal, nepotik, bahkan despotik: kekaya- an negara yang kaya raya ini hanya diku- asai dan dinikmati kelompok kecil triumvirat, yaitu kerja sama himpunan penguasa politik sipil dan militer yang pribumi, yang berkolaborasi dengan penguasa ekonomi, industri, dan perdagangan yang konglomerat nonpri dan kapitalis imperialis multinasional.
Di Jawa, yang sejak dulu telah juga jadi pusat jala dari jaringan politik dan budaya yang menguasai Nusantara ini, yang namanya ratu atau raja itu, sifat-sifat feodal- isme dengan segala embel-embelnya itu bahkan dicantumkan dalam julukan gelar kebesaran dari rajanya yang tidak hanya mencerminkan kekuasaan yang absolut dalam urusan mundane-keduniaan "hamengku buwono", tetapi juga sakral-keagamaan "sayyidin panoto gomo", yang karenanya juga menguasai seluruh kekayaan bumi dan alam serta sekalian rakyatnya yang statusnya adalah sebagai "abdi" atau hamba sahaya raja.
Hubungan antara abdi dan raja adalah hubungan hierarkis-vertikal dan top-down, sementara kepuasan tertinggi dari seorang abdi adalah kalau dia dapat mencium kaki ratu, kiasan ataupun nyata bagi sebuah pengabdian.
Pola M dan J
Di luar Jawa yang budayanya berpola M (Melayu)—sementara Jawa berpola J (Jawa)—relatif mengenal demokrasi tetapi ti- dak secara individual egosentrik seperti di Barat, tetapi komunal-kolektif-sentrifugal. Karena itu, hak asasi manusia tidak juga dikenal secara individual egosentrik, tetapi komunal-kolektif sentrifugal. Arti harfiah "rakyat" itu sendiri tidak individual-egosentrik, tetapi komunal-kolektif-sentrifugal itu.
Sifat ideal raja, meski berkuasa, adalah "Raja adil raja disembah, raja lalim raja di- sanggah". Jadinya, populis, tidak absolut. Yang diutamakan adalah right 'nan benar', bukan might 'nan kuat, kekuasaan' karena right is might. Dalam demokrasi di Barat dan dalam demokrasi di dunia perpolitik- an di Indonesia yang mencontoh ke Barat sekarang ini might is right. Ujung-ujungnya, semua ditentukan kekuasaan yang da- pat dibeli dengan uang. Budaya material pada gilirannya juga menganakkan watak yang permisif dan koruptif sehingga nyaris tak ada yang tak mungkin.
Varian budaya M kebetulan memadu secara sintetis antara budaya adat yang si- fatnya lokal dan regional, di samping komunal-kolektif-sentrifugal, dengan unsur syariah dari teologi Islam dengan adagium: ABS-SBK 'Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah'. Varian budaya M menempatkan adat di bawah supremasi syarak juga dengan patokan adagium: "Yang baik dari mana pun datangnya dipakai, yang buruk dari mana pun pula datangnya dibuang".
Budaya M yang sintetik-universal ini juga dipakai di seluruh dunia Melayu yang mencakup Malaysia di Semenanjung; Patani di Siam; Serawak, Brunei, dan Sabah di Borneo; dan Moro di Filipina. Di Indo- nesia sendiri varian budaya M terimpit oleh varian budaya J karena kalah dalam persaingan hegemoni dan kalah kuat.
Varian budaya J di Jawa, kendati secara etnografis adalah juga etnik Melayu, orien- tasi budayanya adalah sinkretik, bukan sintetik seperti di kawasan budaya M di luar Jawa itu. Dalam varian budaya J, ada- gium yang berlaku adalah "Sadaya agami sami kemawon", semua agama sama baik dan sama benarnya. Demikian juga unsur budaya lainnya yang diperlakukan sebagai sama dan setara. Karena itu, silakan pilih dan tak masalah kalau kawin-mawin antaragama dalam satu trah atau keluarga yang sama.
Secara bernegara, karena semua agama diakui sebagai setara, maka aspirasi kelompok Islam, kendati mayoritas, dan Islam sendiri mengharuskan umatnya melaksanakan syariat Islam secara bermasya- rakat dan bernegara. Demi kesatuan dan persatuan bangsa, tidak boleh mendirikan negara Islam atau menjadikan syariat untuk juga berlaku secara bernegara walau hanya khusus untuk umat Islam (ingat nasib Jakarta Charter). Yang muncul dan mendapat tempat di lingkungan penguasa adalah kelompok liberal multikultural yang menolak konsep negara Islam dan menyatakan Pancasila adalah final.
Citra sinkretisme
Citra sinkretisme budaya J inilah yang jadi tipe ideal sekaligus idealisme kenega- raan yang terpantul dalam filosofi NKRI: Pancasila, yang memang berada di bawah atmosfer naungan budaya J atau Kejawen. Kendati sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tak hanya Islam sebagai agama yang murni berketuhanan Yang Maha Esa yang diakui negara, tetapi semua agama.
Pada zaman Orde Lama, yang menolak adanya Tuhan pun, seperti komunisme yang ateis, dibolehkan dan diberi hak dan peluang sama untuk eksis dan berkegiatan seperti yang lain. Sederhana alasannya: presiden pada waktu itu tak mau menung- gang kuda berkaki tiga. Yang keempatnya adalah PKI dengan komunismenya itu.
Walau pada masa persiapan dan awal kemerdekaan aspirasi budaya M yang relatif demokratis cukup santer dan menjiwai demokrasi yang diperjuangkan di awal kemerdekaan, begitu sistem politik di NKRI ini berpindah tangan pada era Orde Lama ke tangan proklamator—pendiri Republik itu sendiri, untuk menjadi presiden seumur hidup dengan kekuasaan absolut tak terbatas, jadi Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Bangsa, dan seterusnya— maka demokrasi seperti yang dicita-citakan itu pun sirna, hablur, dan meleleh.
Yang terjadi, penjungkirbalikan demokrasi yang masih berupa bibit muda yang dicangkokkan dari luar itu. Pada zaman Orde Lama dibabat dan sistem kekuasaan dikembalikan ke cara semula yang diwarisi dari nenek moyang yang feodal-etatik-sentripetal-sinkretik dan nepotik itu.
Kendati istilah teknis-yuridis-formal yang dipakai tetap sama seperti yang dipa- kai di negara demokrasi maju dan modern, baik di bidang eksekutif, legislatif, yudika- tif, dan alat kelengkapan formal kenegara- an lainnya, hanya botolnya yang baru. Anggur tua tadi dimasukkan ke dalam bo- tol baru sehingga yang tua yang sudah ke- daluwarsa dan tidak lagi terpakai di mana- mana, itu yang terpakai dan berlanjut kembali di NKRI ini.
Ada yang sudah berubah?
Kecuali istilah dan jargon yang dipakai baru itu, adakah secara fundamental yang sudah berubah di NKRI, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari perja- lanan sejarah bangsa dan Tanah Air yang sudah panjang ke belakang itu?
Jawabnya, secara teknis tentu saja ada. Kita termasuk suku bangsa di dunia ini yang ikut menikmati kecanggihan sains dan teknologi sehingga kita ikut menik- mati manfaat kemajuan sains dan tekno- logi yang luar biasa itu. Namun, kitakah atau mereka yang membikinnya? Kita ternyata hanyalah suku bangsa yang lebih suka membeli barang jadi daripada membikin sendiri. Kita lebih suka menerima daripada memberi. Dan kita adalah pangsa pasar yang besar dengan 240-an juta penduduk, tetapi kita pula yang lebih suka membeli barang jadi daripada membikin sendiri.
Mungkin karena faktor geografis, kare- na iklim atau zona khatulistiwa yang tongkat ditanam pun bisa tumbuh, unsur budaya malas dan segan berjerih payah ada di sana. Dengan tanahnya yang subur, uda- ranya yang berawan, dan langitnya yang suka menurunkan hujan, dengan iklim tropis, Indonesia telah menjadi incaran dunia kapitalis dari Barat dan Timur untuk menguasainya sejak dari sekian abad yang lalu sampai hari ini.
Dengan menguasai ekonomi sekaligus sumber daya alamnya, dari hulu sampai ke muara, di darat, laut dan udara, penguasa- an politik, sosial, dan budaya menjadi me- nurun. Itu persis yang para kapitalis-im- perialis mancanegara itu lakukan. Dari du- lu sejak zaman para penjajah dari Barat —Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda—dan secara tak langsung juga Amerika, Jepang, Korea, China sekarang lakukan. Malah, Indonesia sekarang ini telah masuk ke dalam kawasan emporium ekonomi China, yang dari sono semua dikendalikan.
Pertanyaannya, sekali lagi, apa yang te- lah berubah? Yang jelas kita tetap jadi ob- yek, bukan subyek. Kita dikendalikan, bukan mengendalikan. Kita diatur, bukan mengatur diri sendiri. Kemerdekaan kita karenanya adalah kemerdekaan semu. Kelihatannya merdeka, tetapi tidak atau belum merdeka walau sudah 67 tahun merdeka. Boleh dikatakan di semua bidang kehidupan! Demokrasi yang kita bangga-banggakan itu adalah juga demokrasi semu: pseudo democracy. Kelihatannya seperti kita yang mengelola sendiri, sementara kita dikelolakan ataupun dikendali- kan. Makanya, pemilu yang juga kita lakukan setiap kali sebagai syarat berdemo- krasi kita hanya membuang duit yang hasil bersihnya kembali ke tangan kelompok triumvirat tadi.
Yang rakyat? Hanya datang sebentar ke kotak suara, membawa jari bertinta pulang, lalu mengulangnya kembali sekali lima tahun. Selebihnya tinggal urusan mereka para wakil rakyat yang terhormat yang lolos terpilih dan bermain demo- krasi seperti yang diinginkan oleh kelom- pok triumvirat yang bekerja sama menja- lankan roda kendali negara ini di semua bidang kegiatan dan kehidupan.
Yang rakyat? Tetaplah tinggal jadi rakyat yang dikendalikan dan hidup seperti sediakala yang dibalut kemiskinan dan keterbelakangan seperti selama ini. Dengan ukuran perhitungan Bank Dunia bahwa mereka yang tergolong ke dalam penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari 2 dollar AS (Rp 20.000) per hari, maka lebih dari sepa- ruh penduduk Indonesia yang 240-an juta itu masih tergolong ke dalam penduduk miskin. Statistik kemiskinan di Asia Teng- gara memperlihatkan bahwa rakyat Indo- nesia tergolong ke dalam kelompok penduduk yang termiskin.
Demokrasi yang artinya adalah "keku- asaan di tangan rakyat", tetapi yang terjadi adalah bahwa kekuasaan itu ada di tangan kelompok triumvirat yang bekerja sama secara hangat dan saling menguntungkan. Dan mereka itu, sekali lagi, adalah: (1) para penguasa negara, sipil maupun militer, di pusat sampai ke daerah, yang etnik pribumi; (2) para konglomerat China yang merupakan 0,8 persen penduduk tetapi menguasai 80 persen kekayaan nasional, yang menguasai jalur ekonomi dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan udara; (3) para kapitalis multinasional yang menguasai sumber daya alam Indonesia yang tersembunyi di bawah permukaan bumi persada dan di atasnya.
Ketiga kelompok triumvirat yang bekerja sama secara erat dan mesra inilah yang menggelindingkan ekonomi Indonesia dan yang memungkinkan yang lain-lain juga berjalan.
Yang rakyat? Yang rakyat menunggu godot yang tidak kunjung keluar dari persembunyiannya untuk terhindar dari malapetaka berkepanjangan yang tidak diinginkan.
Mochtar Naim Sosiolog
(Kompas cetak, 30 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®