Yustinus Prastowo
Ruang publik hari-hari ini gaduh oleh berita dugaan manipulasi pajak, baik itu pajak individu maupun pajak korporasi.
Tentu saja kontroversi seputar pajak menarik dicermati. Di satu sisi hal ini baik bagi pengembangan transparansi dan etika publik, di sisi lain kegagalan memahami kompleksitas isu pajak berisiko menyeret perdebatan kontraproduktif dan merugikan.
Paparan ini berupaya mendudukkan pokok persoalan pada tempatnya dan menganalisis berdasarkan hukum dan administrasi perpajakan agar tak jatuh dalam pergunjingan politik yang dangkal.
Adagium purba
Konon ada adagium purba berbunyi "tak seorang pun rela membayar pajak". Sejarah mencatat kisah pengelakan dan pemberontakan pajak. Lantaran negara butuh sumber dana bagi kelangsungannya dan tak ada yang sukarela, harus dibuat imperatif yang memaksa. Dengan demikian, sejatinya penghindaran pajak, setidaknya upaya mengecilkan pajak yang dibayar, merupakan motif alamiah manusia.
Namun, persoalan kemudian adalah bagaimana pajak yang bersifat memaksa itu dapat hidup berdampingan dengan demokrasi yang mengusung kebebasan individu, kesetaraan, dan penghormatan hak asasi. Lahirlah sistem self-assessment yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban pajak. Sebagai imbangannya, fiskus—aparatur perpajakan—diberi kewenangan melakukan pengawasan dan pemeriksaan pajak untuk memastikan wajib pajak patuh terhadap hukum. Beban pertanggungjawaban kebenaran ada pada wajib pajak, beban pembuktian ketidakbenaran ada pada fiskus.
Norma dasar sistem self-assessment, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), adalah wajib pajak secara sukarela mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP), mengisi surat pemberitahuan (SPT) dengan benar, jelas, dan lengkap, serta menandatangani dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak. Dengan demikian, SPT adalah representasi kebenaran formal dan material. Persoalannya, bagaimana jika ternyata SPT yang disampaikan salah?
Konon, errare humanum est, salah itu manusiawi. Karena berbuat salah itu khas manusia, UU Pajak membedakan dua macam kesalahan, yaitu karena kealpaan (tidak sengaja, lalai, tak hati-hati) dan kesengajaan. Dirjen Pajak diberi kewenangan untuk memberikan sanksi perpajakan.
Kesalahan yang sifatnya administratif—tidak atau terlambat lapor/bayar, salah penghitungan/ pemotongan—dikenai sanksi administrasi, sedangkan kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dikenai sanksi pidana. Semangat UU KUP adalah penyelesaian sekuensial dari administrasi ke pidana, bukan sebaliknya.
Pasal 8 UU KUP memberikan hak kepada wajib pajak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. Sejalan dengan hak tersebut, Pasal 13A mengatur, wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT yang tidak benar tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan itu pertama kali dilakukan. Bahkan, menurut Pasal 44B, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dihentikan Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan untuk kepentingan penerimaan negara.
Jadi, prinsip dasar UU KUP adalah prioritas kepada penerimaan negara sesuai raison d'etre pajak. Penyelesaian pidana adalah ultimum remedium, upaya terakhir setelah proses penyelesaian administrasi dijalankan.
Pajak pejabat publik
Kini kita dapat cukup jernih menilai simpang siur berita dugaan manipulasi pajak. Setiap wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang sama berdasarkan undang-undang. Maka, kita harus merujuk pada mekanisme dalam UU KUP dan administrasi perpajakan yang berlaku.
Sesuai prinsip ultimum remedium, wajib pajak memiliki hak untuk melakukan pembetulan jika ada kekeliruan dalam pengisian SPT. Selanjutnya, Dirjen Pajak berwenang memberikan sanksi administrasi yang timbul dari pembetulan yang dilakukan apabila terdapat pajak yang kurang dibayar.
Alih-alih menyatakan dirinya sudah patuh pajak, alangkah bijaksananya jika seorang wajib pajak meneliti kembali dan mengonsultasikan kewajiban perpajakan dengan Ditjen Pajak untuk mendeteksi secara menyeluruh potensi kekeliruan pengisian SPT. Mengakui adanya kekeliruan mengisi SPT bukanlah aib karena tak banyak orang yang paham seluk-beluk teknis perpajakan yang rumit.
Di sini kebesaran hati seorang wajib pajak yang sekaligus pejabat publik diuji. Sama seperti warga negara lain, ia juga bisa jatuh dalam kekeliruan khas manusia: alpa. Justru inilah momentum menggerakkan kepedulian terhadap pajak. Meningkatkan kesadaran untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, menyampaikan SPT dengan benar, dan ikut berpartisipasi aktif mengawasi pemungutan pajak. Bahkan, sebaiknya, Dirjen Pajak berinisiatif melakukan pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak yang berada dalam posisi strategis dan mudah diguncang isu demi kepastian hukum.
Dengan kewenangan yang dimiliki untuk menghimpun data, keterangan, dan informasi, Dirjen Pajak dapat menetapkan kewajiban pajak sesuai keadaan yang sebenarnya. Sebaliknya, seorang wajib pajak yang sekaligus pejabat publik diuntungkan karena mengawali proses penegakan hukum dengan baik dan mendapatkan kepastian hukum atas kewajiban perpajakan yang digunjingkan, bahkan mendorong seluruh pejabat negara, politisi, dan pengusaha kakap diperiksa tanpa terkecuali.
Belantara perpajakan tak semudah yang diduga. Dengan memasuki arus konseptual dan medan praktik yang ada, kita sekarang dapat menarik beberapa pelajaran. Pajak sejatinya cermin bagi diri sendiri. Bak peribahasa menepuk air didulang tepercik muka sendiri, demikian pula pelaksanaan kewajiban perpajakan kita sangat berpotensi jatuh dalam kekeliruan. Sesuatu yang manusiawi.
Ini adalah momen introspeksi yang harus ditindaklanjuti dengan penegakan hukum dan penguatan institusional. Tiap pejabat publik—entah presiden, menteri, pemimpin parpol atau anggota DPR—berkesempatan meneguhkan komitmennya terhadap keterbukaan dan akuntabilitas publik. Ditjen Pajak berkesempatan menebus dosa atas percikan kesalahan masa lalu. Sebagai anak bangsa, kita pun berpeluang untuk menegaskan kembali betapa mahalnya kejujuran; satu-satunya harta yang kiranya sanggup memperpanjang napas harapan bangsa Indonesia.
Kita kembali diyakinkan cuaca politik Indonesia memang masih dipenuhi omong kosong daripada kejernihan pikir. Membedakan pengemplang pajak dan sinterklas ternyata tak semudah mencabut ilalang di ladang gandum.
Yustinus Prastowo Peneliti Kebijakan Perpajakan Perkumpulan Prakarsa, Alumnus Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta
(Kompas cetak, 18 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar