Di tengah hiruk-pikuk politik di Tanah Air, termasuk keributan mengenai korupsi dagang daging sapi, masyarakat dihadapkan pada kontroversi baru terkait rencana pemberian penghargaan negarawan dunia (World Statesman Award) 2013 kepada Presiden SBY. Penghargaan diberikan oleh Appeal of Conscience Foundation di New York pada 30 Mei mendatang.
Sebagai warga Indonesia yang sudah bermukim selama 16 tahun di Amerika Serikat (AS), saya ingin memperjelas di awal tulisan ini bahwa saya bukan tidak setuju dengan keprihatinan banyak pihak terkait gesekan-gesekan atau bahkan kekerasan antarkomunitas beragama di Tanah Air. Tidak juga mengingkari ketidaksempurnaan pemerintah, khususnya para penegak hukum, dalam upaya menangani kekerasan-kekerasan itu. Di sejumlah kesempatan, saya telah menyampaikan kekecewaan, bahkan rasa malu saya sebagai anak bangsa, khususnya dalam kaitan dengan keaktifan saya dalam membangun hubungan dan kerja sama antarumat beragama di AS.
Seperti juga kepedulian teman-teman dan masyarakat lainnya di Indonesia dan di AS, kita semua sepakat untuk tidak mendukung hadirnya kekerasan antarkomunitas beragama di Indonesia. Kita juga sama-sama prihatin atas belum optimalnya perlindungan yang diberikan para penegak hukum terhadap kelompok minoritas di Tanah Air.
Kekerasan yang masih terjadi di negara kita, baik bersifat intra-agama maupun antar-agama, adalah hal yang seharusnya menjadi perhatian bersama. Fenomena tersebut mencoreng wajah bangsa Indonesia yang secara historis memiliki kultur damai dan bersahabat.
Bangsa Indonesia dikenal sejak dulu sebagai bangsa yang ramah, rendah hati, dan hormat. Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk Muslim—bahkan dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia—tentu fenomena ini menyedihkan, bahkan memalukan.
Tiga alasan
Lalu, apakah itu berarti pemberian penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dianggap tak pantas? Saya justru mendukung pemberian penghargaan itu dengan beberapa alasan berikut ini.
Pertama, harus diakui bahwa tidak ada negara di dunia yang kebal dari gesekan-gesekan antarkomunitas, termasuk di dalamnya antarkomunitas agama. Bahkan, di AS sekalipun kenyatan itu ada.
Sebagai seorang Muslim yang hidup di AS, saya bisa menjadi saksi kerukunan dan bahkan kerja sama antarumat beragama di negara ini. Akan tetapi, sebaliknya, saya juga bisa menjadi saksi akan perlakuan diskriminatif kepada komunitas Muslim di negara ini.
Kenyataan ini seharusnya membuka mata kita bahwa menuju kesempurnaan itu merupakan proses yang tidak terjadi dalam sekejap. Indonesia sedang dalam persimpangan jalan menuju kematangan demokrasi. Dalam proses kematangan tersebut sepertinya menjadi bagian dari sunahnya, akan terjadi "ketidaknyamanan", seperti konflik dan kekerasan antarras yang sempat pula terjadi di AS.
Kedua, selama aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antaragama di AS, saya kerap terpapar informasi buruk mengenai Indonesia. Bagi saya pribadi, penghargaan yang diberikan Appeal of Conscience Foundation (ACF) kepada SBY merupakan pelipur lara dan kebanggaan: ternyata perubahan di Indonesia diapresiasi positif di mata dunia. Jika pun ada kekurangan, kita yakin dunia akan memaklumi karena Indonesia sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, termasuk dalam tatanan kehidupan antarumat beragama.
Ketiga, saya berpendapat, penghargaan ini tidak diberikan secara pribadi kepada SBY. Penghargaan ini merupakan pengakuan dunia terhadap Indonesia dan bukan pengakuan dunia kepada SBY. Dengan demikian, kalaupun merasa tidak puas dengan kepemimpinan Presiden SBY sebagai pribadi, harus dipisahkan dengan pengakuan terhadap negara dan bangsa kita.
Pada akhirnya, apa pun dan bagaimanapun pendapat kita, itu adalah hak yang dijamin oleh UU negara dan—tentunya—yang lebih penting oleh Tuhan. Adanya perbedaan dalam melihat sebuah permasalahan adalah lumrah. Bahkan, perbedaan itu bisa saja membawa "berkah" asal dilandasi oleh niat ikhlas dan jujur kepada diri, kepada bangsa dan negara, dan tentunya yang lebih penting kepada Tuhan.
Bagi saya, pemberian penghargaan ini akan menjadi cambuk tersendiri bagi pemerintah dan juga rakyat Indonesia untuk semakin membuktikan kepercayaan tersebut. Juga akan menjadi cambuk bagi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk melakukan perbaikan menuju kehidupan toleransi beragama yang lebih baik.
M Shamsi Ali Imam di Islamic Center of New York, AS
(Kompas cetak, 22 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar