Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 22 Mei 2013

Menumbuhkan Benih Ekonomi (Ahmad Erani Yustika)

Oleh Ahmad Erani Yustika

Perekonomian Indonesia seusai krisis ekonomi 1997/1998 mengalami masalah dalam tiga level sekaligus. Pertama, pembangunan kehilangan dimensi jangka panjang akibat orientasi pencapaian variabel ekonomi jangka pendek.

Pemerintah sudah mencoba mendesain rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), tetapi tak pernah bersungguh-sungguh mengawalnya (di samping substansi RPJP sendiri yang bermasalah). Kedua, pilihan kebijakan ekonomi yang diproduksi—baik untuk merespons persoalan kekinian maupun mengantisipasi tantangan ke depan—digerogoti aneka kepentingan dan keterbatasan pembacaan peta masalah/tantangan.

Ketiga, program pembangunan yang sudah dirancang banyak yang lunglai di lapangan akibat buruknya koordinasi dan keterbatasan kapasitas birokrasi. Agresivitas membuat paket kebijakan tidak selini dengan percepatan mengimplementasikannya dalam wujud program yang terstruktur, terkelola, dan terukur.

Parasit pembangunan

Persoalan pertama itu lebih banyak bersinggungan dengan keyakinan bahwa arah ekonomi mesti dikawal RPJP sehingga pencapaian ekonomi jangka pendek merupakan tumpukan batubata yang menyusun rumah Indonesia pada masa depan. RPJP yang dibuat rasanya harus dipermak lagi (atau dibuat baru) supaya relevan dengan tujuan bernegara, seperti yang termaktub dalam konstitusi.

Di samping itu, proses formulasi dan prosedur rencana jangka panjang itu mesti direvisi dengan melibatkan suara publik, baik yang disalurkan lewat jalur formal maupun informal. Sementara itu, problem ketiga adalah rangkaian dari ikhtiar reformasi birokrasi yang hingga kini konsepnya tidak pernah dibuat secara jelas dan dijalankan secara masif.

Presiden sudah lebih dari delapan tahun bertakhta, tetapi masih mengeluhkan soal birokrasi yang menjadi penghambat pembangunan. Hal itu merupakan frasa telanjang betapa frustrasinya pemerintah mendongkrak efektivitas dan kualitas birokrasi sebagai penyangga pelaksanaan program-program pembangunan.

Menyangkut pilihan kebijakan ekonomi, perkara yang serius adalah tumbuhnya parasit aneka kepentingan dan pembacaan yang lemah atas rules of the game perekonomian. Di sini terdapat sekurang-kurangnya tiga kebijakan yang saat ini laik disebut berada dalam status darurat. Pertama, pilihan atas kebijakan pengelolaan sumber daya alam (SDA).

SDA tidak pernah menjadi berkah akibat terperosok dalam empat skenario berikut (Kolstad dan Wiig, 2009): (i) kekayaan SDA yang besar membuat negara luput melakukan variasi kegiatan ekonomi sehingga berakibat kepada punahnya SDA yang dimiliki. Dalam literatur ekonomi, hal itu dikenal dengan istilah "penyakit Belanda" (Dutch disease); (ii) model penataan ekonomi politik sentralisasi (pada masa Orde Baru) telah menumbuhkan praktik "patronase", yaitu pembagian lisensi eksploitasi SDA kepada sekelompok orang yang dekat dengan pusaran kekuasaan, yang tentu dengan motif pelanggengan kuasa dan pengumpulan pundi-pundi ekonomi. Pola ini juga sukses menggerus cadangan SDA secara cepat.

Berikutnya, kritik terhadap model sentralisasi itu mewujud dalam skenario (iii), yaitu model penataan ekonomi politik desentralisasi. Celakanya, yang menonjol dari model ini adalah praktik rent-seeking yang terjadi seusai desentralisasi ekonomi. Pengalihan sebagian wewenang izin eksplorasi/eksploitasi SDA ke daerah telah menjadi ajang perburuan rente baru yang membuat reduksi SDA jadi sempurna.

Perburuan rente SDA pada masa reformasi ekonomi ini terjadi akibat persuaan pejabat publik yang ditekan dengan ongkos politik mahal dan pengusaha yang tidak mau berkeringat, dan (iv) kebijakan liberalisasi perdagangan yang memberi tempat secara leluasa bagi pelaku ekonomi asing menjarah kekayaan ekonomi dalam negeri. Awalnya, mereka diharapkan menjadi lokomotif bagi penganekaragaman kegiatan ekonomi, tetapi sejak mula ternyata ketertarikan mereka justru karena "kemolekan" SDA nasional. Tanpa upaya perubahan pengelolaan SDA yang mendasar, yakinlah segalanya akan menjadi gelap.

Merusak insentif ekonomi

Kedua, masyarakat sulit memahami ke mana arah penciptaan nilai tambah ekonomi dalam rupa strategi industrialisasi. Di satu sisi, negara dikaruniai sumber daya ekonomi yang melimpah (sektor pertanian, SDA, dan yang lain), tetapi tak diolah menuju bahan setengah jadi atau jadi sehingga menjadi sumber kemakmuran. Sebaliknya, banyak pabrik yang dibangun malah mengandalkan bahan baku dari luar negeri. Hasilnya, sekitar 72 persen total impor dalam rupa bahan baku.

Peluang yang disia-siakan pemerintah itulah yang dimanfaatkan perusahaan asing secara baik. Beberapa waktu lalu, misalnya, Cargill hendak membuka pabrik cokelat di Gresik dengan nilai investasi sekitar Rp 1 triliun. Pertanyaannya, mengapa harus Cargill yang melakukannya? Mestinya, gabungan koperasi, BUMN, atau swasta nasional yang mengerjakan itu sehingga sebagian besar nilai tambah dan lapangan kerja yang tercipta menjadi milik Indonesia. Absurditas ini tentu juga harus segera disudahi.

Terakhir, pemerintah salah baca dalam satu hal ini: liberalisasi perdagangan. Komitmen pemerintah untuk menurunkan tarif impor jauh lebih rendah ketimbang negara lain, baik komoditas primer maupun sekunder, telah merusak insentif pelaku ekonomi domestik untuk berproduksi. Tragedi di sektor pertanian harus disudahi, demikian pula kepedihan di sektor industri.

Kasus blok perdagangan, studi yang dilakukan Amaliah dan Oktaviani (2010) menunjukkan, Zona Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) berdampak negatif terhadap neraca perdagangan Indonesia (-0,288). Bukan hanya itu, publikasi Kitwiwattanachai et al (2010) juga memperlihatkan dampak Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) terhadap kenaikan upah buruh riil di Indonesia jauh lebih kecil ketimbang Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam.

Faedah liberalisasi hanya mungkin diraih bila pemerintah lihai menyusun urutan kebijakan yang benar, kedalaman keterbukaan yang terukur, dan penyiapan ekonomi domestik yang matang. Semoga paling telat tahun depan kita bisa memilih secara tepat dirigen yang mempunyai visi menumbuhkan benih ekonomi nasional.

Ahmad Erani Yustika Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

(Kompas cetak, 22 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger