Reformasi yang terjadi saat berakhirnya kekuasaan Orde Baru itu memunculkan kesan beragam. Sebagian menilai reformasi membawa berkah kemaslahatan, sebagian lain menilai peristiwa yang ditandai dengan kekerasan tersebut belum atau tidak menghasilkan perubahan yang berarti.
Penilai kritis berpandangan, belum ada karya kebangsaan yang monumental dalam kurun 15 tahun terakhir. Jika itu benar, kita berharap apa yang dulu dikhawatirkan Bung Hatta saat mengutip Schiller tidak terjadi, yaitu bahwa "zamannya zaman besar, tetapi manusianya kerdil".
Di lain sisi, kita juga bisa merasa kecil hati ketika mengamati hari-hari terakhir ini. Jujur, yang ada justru membuat kita mengelus dada. O tempora, o mores! Korupsi sudah diburu habis, tetapi alih-alih hilang, ia justru marak bak jamur di musim hujan.
Kita tidak menutup mata terhadap keberhasilan. Yang sering kita dengar antara lain di bidang ekonomi. Namun, di sini pun kita membaca sejumlah amatan bahwa pertumbuhan itu belum bisa mengungkit kesejahteraan rakyat. Ada kemajuan, tetapi capaian kita di Tujuan Pembangunan Milenium, khususnya dalam penghapusan kemiskinan, belum impresif. Bahkan, untuk capaian angka pertumbuhan di kisaran 6 persen, kita harus mengeduk sumber daya alam habis-habisan.
Masih jauh dari jangkauan kemandirian, bidang pangan dan energi juga masih menjadi masalah di negeri ini. Garam dan kedelai, yang jadi kebutuhan sehari-hari, harus kita impor. Hal sama dapat dikatakan untuk energi.
Dalam konteks seperti ini, kapan kita bisa melangkah lebih jauh? Misalnya bisa meluncurkan roket nasional yang dapat menempatkan satelit buatan anak bangsa ke orbit?
Reformasi, seperti diungkap laporan utama harian ini, Senin (20/5), justru dinilai salah arah. Paling menonjol tentu fakta bahwa kebebasan politik yang diraih di era Reformasi ternyata gagal dimanfaatkan menjadi fasilitator produktif untuk kemaslahatan rakyat.
Artinya, freedom from (bebas dari) belum berhasil diarahkan menjadi freedom for (bebas untuk) pencapaian luhur. Pada sisi lain, Asia Tenggara akan menjadi kawasan bebas, yang ditandai persaingan tinggi dua tahun lagi.
"Asia-Hemisfer Baru Dunia" yang amat dinamis juga telah dicetuskan Kishore Mahbubani. Di sini, selain ada Jepang dan Korea yang sudah ada di depan, juga ada China dan India yang akan jadi dinamo pertumbuhan.
Indonesia sempat mencetuskan visi cemerlang sebagai ekonomi terkemuka di tahun 2030. Cita-cita tinggi tersebut sah saja kita nyatakan. Namun, jelas ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan. Paling tidak kita harus merombak praksis politik dan ekonomi yang tidak efisien. Inovasi yang sudah banyak kita wacanakan harus menjadi ciri utama ekonomi kreatif yang ingin kita kembangkan.
(Tajuk Rencana Kompas, 21 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar