Paradoks Indonesia berlanjut terus. Indonesia telah merdeka dari penjajah kolonial Belanda. Tapi, hukumnya yang represif terhadap orang-orang pers masih tinggal dan digunakan oleh pemerintah.
Paradoksnya, di era Reformasi berusia 15 tahun pada bulan Mei ini, pemerintah mengirim Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR, yang justru lebih mengancam dibanding KUHP buatan kolonial Belanda.
KUHP adalah produk hukum hasil konkordansi dengan Wetboek van Strafrecht Belanda, yang berlaku di Indonesia sejak 1917, yang sampai kini berlaku berdasarkan UU No 1/1946 jo No 73/1950. KUHP tersebut dimaksudkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk meredam pandangan kritis kalangan pribumi terjajah dan menghukum warga pribumi yang berani mengkritik kebijakan kolonial Belanda.
Pada 1932, pasal-pasal KUHP dikenakan kepada Soekarno karena pidatonya, "Indonesia Menggugat", di Volksraad. Soekarno dijebloskan ke Sukamiskin, Bandung, empat tahun penjara.
KUHP memiliki 35 pasal yang dapat memidanakan orang-orang pers. Ratusan orang pers yang sekaligus jadi orang pergerakan, atau orang-orang pergerakan yang juga jadi orang pers, telah dipenjarakan karena didakwa melanggar pasal-pasal tersebut.
Lebih represif
Meminjam istilah Al Gore dalam bukunya, The Future, pikiran dan perasaan perumus RUU KUHP tadinya diharapkan terkoneksi dengan konsep criminal law negara-negara demokrasi, yang tak mengkriminalkan wartawan dalam pekerjaan jurnalistik, tapi dapat memprosesnya dalam perkara perdata dengan denda proporsional. Tapi rancangan perumus tersebut justru terelasi dengan pikiran penjajah kolonial Belanda dan menerbitkan Rancangan KUHP yang lebih represif terhadap pers.
Pertama, Rancangan KUHP lebih fasis. Pasal-pasal "delik pers" dalam Rancangan KUHP draf 1999/2000 yang perumusnya juga diikuti Menteri Kehakiman (1998-1999) Muladi bukan hanya meningkat dari 35 jadi 49 pasal, ancamannya pun lebih berat. Pasal 311 (1) KUHP misalnya, ancamannya hanya pidana penjara paling lama empat bulan, Pasal 448 (1) Rancangan KUHP menjadi paling lama lima tahun.
Pasal 448 (1) Rancangan KUHP berbunyi: "Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 447 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena pemfitnahan, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori IV".
Sementara KUHP Pasal 311 (1) KUHP: "Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat bulan".
Kedua, pemerintah masih mempertahankan pasal-pasal haatzai artikelen. Delik permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154, 155, 156, dan 157 di KUHP) dikenal sebagai pasal-pasal haatzai artikelen menjadi senjata ampuh untuk mengekang kebebasan pers. Karena kontrol dan kritik pers terhadap kebijakan kolonial Belanda dinilai sebagai tindak permusuhan, kebencian, dan penghinaan, ratusan orang pers dipidana penjara atau dibuang antara lain ke Boven Digul.
Pemred Indonesia Raya Mochtar Lubis atas kritiknya terhadap pemerintah Presiden Soekarno didakwa melanggar Pasal 154 KUHP dengan ancaman pidana 7 tahun. Hakim Razak Sutan Malelo membebaskannya, tapi di luar pengadilan, polisi militer menangkapnya. Mochtar pun dipenjarakan 9 tahun.
Terhadap pers yang pemberitaannya dinilai mengandung permusuhan, kebencian, atau penghinaan, fakta menunjukkan penguasa rezim Orde Lama dan Orde Baru memilih membredel ratusan penerbitan pers.
Adalah suatu paradoks, ketika UU No 40/1999 tentang Pers selama 14 tahun ini melindungi pers mengontrol dan mengkritik kinerja pemerintah, tiba-tiba Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengirim Rancangan KUHP 2013 ke DPR, yang kembali menghidupkan pasal-pasal haatzai artikelen (Pasal 284, 285, 288, 289, 405, dan 406), yang dikenal sangat efektif untuk membungkam kebebasan pers.
Pasal 406, misalnya, berbunyi: "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Ketiga, berdasarkan Rancangan KUHP, karya jurnalistik adalah karya kejahatan [Pasal 308, 537 (1) dan 538 (1)]. Pasal 308: "Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau berita yang tidak lengkap yang mengakibatkan timbulnya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II".
Pasal 537 (1): "Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II".
Pasal 538 (1): "Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 537 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori IV".
Berdasarkan konsep UU Pers, berita tentang pejabat, politisi, atau pengusaha yang diduga korupsi, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik mensyaratkan sumber yang kredibel, termasuk sumber tertutup yang diyakini kredibilitasnya dan dikemas dengan cover both sides dan verifikasi. Jika Rancangan KUHP mengharuskan pers hanya memasok berita yang pasti dan harus dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, yakni dugaan tindak korupsi, maka karya jurnalistik yang dilindungi UU Pers adalah hanya karya kejahatan menurut Rancangan KUHP.
Pasal-pasal Rancangan KUHP tersebut adalah langkah mundur. Menyikapi konflik Garuda Medan dan PT Anugerah Langkat Makmur, amar putusan Mahkamah Agung (12/4/1993) antara lain menyatakan: "Apa yang hendak diulas dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika kebenaran absolut yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers yang bebas dan bertanggung jawab sudah mati sebelum lahir".
Hakim dalam perkara majalah Time vs Soeharto kembali mengulangi: "Pemberitaan pers tidak harus diartikan mengandung kebenaran mutlak".
Keempat, tindak kekerasan terhadap pers akan meningkat. Pasal 307 (1), 308, dan 405 masing-masing menyebut berita bohong—berita yang tidak pasti— berita penghinaan yang mengakibatkan timbulnya keonaran, dipidana dengan pidana penjara sekian tahun.
Pejabat, politisi, dan pengusaha yang menjadi sorotan investigasi pers terkait dugaan tindak korupsi dapat mengadukan pers yang bersangkutan sebagai melanggar Pasal 307 (1), 308 atau 405. Agar gugatannya lebih memenuhi syarat sebagai berita bohong—berita tidak pasti—atau berita penghinaan yang mengakibatkan timbulnya keonaran, pejabat, politisi, pengusaha tersebut dapat menggerakkan kader-kader atau anak buahnya untuk berunjuk rasa: keonaran yang direkayasa.
Kesimpulan
Perjuangan pers nasional untuk bebas dari berbagai perundang-undangan yang mengancam pers masih sulit. Mengapa? Karena sebagian besar elite bangsa belum punya tradisi menghargai kebebasan pers.
Mantan Menteri Kehakiman Muladi (13/11/2003), menjawab pers terkait revisi KUHP 1999/2000, menyatakan, "RUU KUHP itu bertujuan melindungi pemerintah yang sah. Berita yang menghina pemerintah yang berdampak keonaran, wartawannya dapat dipidana penjara."
Mahkamah Konstitusi yang (waktu itu) diketuai Jimly Asshiddiqie, dalam putusannya (15/8/2008) terkait uji materi KUHP, menyatakan, pemidanapenjaraan wartawan karena melanggar Pasal 310 (1) dan (2), Pasal 311 (1), Pasal 316, dan Pasal 207 tidak melanggar konstitusi. Dalam persidangan di MK terkait putusan tersebut, Dr Mudzakir, mewakili pemerintah, berpendapat: "...untuk masyarakat adat kita dan dalam ajaran agama, tindak pidana penghinaan termasuk kategori berat. Maka yang terkait penghinaan ancaman pidana penjaranya diperberat".
Dari uraian di atas tersimpul, pertama, pers hanya mungkin mendapat perlindungan hukum jika kemerdekaan pers telah jadi hak konstitusional warga negara negeri ini. Tanpa mencantumkan "MPR, DPR, pemerintah tidak boleh membuat perundang-undangan yang mengancam, membatasi kemerdekaan pers" di konstitusi, pers tetap terancam.
Kedua, perlindungan konstitusi terhadap kemerdekaan pers bergantung apresiasi DPR, DPD, pemerintah hasil Pemilu 2014. Kemerdekaan pers hanya mungkin jadi hak konstitusional warga jika penyelenggara negara sungguh-sungguh akan menyelenggarakan prinsip-prinsip clean and good governance.
Sabam Leo Batubara Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
(Kompas cetak, 27 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar