Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 27 Mei 2013

Modernisasi Minus Transparansi (Al Araf)

Al Araf

"Sebagai salah seorang perwira, hati nurani saya tergerak melihat rekan-rekan saya gugur berjatuhan akibat ketidaklayakan pesawat dan buruknya sistem pemeliharaan yang penuh dengan perilaku korupsi."

Itulah sepenggal kegelisahan seseorang yang mengaku anggota militer dalam forum Kompasiana. Meski keotentikan tulisan dan identitas penulis tidak jelas, cerita tidak sedap soal pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) bukanlah hal baru.

Setahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menduga ada penggelembungan harga pengadaan pesawat Sukhoi. Ini akibat ada pihak ketiga alias broker, selain penggunaan kredit ekspor dan bukan state credit yang kemudian menjadi skandal. ICW bersama koalisi sempat melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi hingga kini belum juga tampak titik terang.

Terlalu mahal

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas pelaksanaan anggaran dan kegiatan tahun 2010 dan 2011 terhadap direktorat peralatan TNI AD juga mengindikasikan kemahalan senilai Rp 7.491.052.500 pada pengadaan alat bidik senapan EOTech 552.A65/1 Holographic Sight, Night Vision Goggles ATN PS-14 Generation 3 Night Vision Monocular, dan Shotgun Benelli.

Kemahalan terjadi akibat proses pengadaan yang tidak sesuai ketentuan, misalnya tidak langsung dilakukan ke pabrikan. Perhitungan harga perkiraan sendiri hanya menggunakan proforma invoice dari rekanan.

Berbagai kejanggalan pengadaan alutsista masih terus berlanjut. Pada kasus terbaru, pengadaan kapal perusak kawal rudal (PKR) dari Belanda yang tidak dilengkapi peluncur rudal dan peluncur torpedo sebagai inti dari fungsi kapal. Tanpa kedua peluncur, kondisi kapal jauh di bawah ideal sebuah kapal tempur di kelasnya. Konon, pemerintah harus menganggarkan 75 juta euro lagi untuk melengkapi peluncur rudal dan torpedo.

Meski dalam pembangunan kapal PKR pihak Belanda melibatkan PT PAL, pertanyaannya adalah, apakah hal itu akan menguntungkan atau merugikan? Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menyatakan di beberapa media bahwa PT PAL hanya kebagian pekerjaan senilai 7 juta dollar Amerika Serikat (AS) dari nilai kontrak pengadaan kapal PKR sebesar 220 juta dollar AS atau 3 persen. Untuk alih teknologi, pihak Indonesia masih dibebani 1,5 juta dollar AS.

Apabila dibandingkan dengan pembangunan proyek kapal landing platform dock kerja sama dengan Korea sebelumnya—porsi lokal PT PAL mencapai 15 juta dollar AS dari harga total per kapal 42 juta dollar AS (35 persen), kerja sama dengan Belanda ini merupakan kemunduran.

Pengadaan kapal PKR diduga kemahalan mengingat ada pihak lain yang memberikan penawaran kapal dengan jenis dan harga relatif sama, tetapi dengan perlengkapan lebih memadai. Dari berbagai sumber yang diperoleh, pihak Orizzonte Sistemi Navali dari Italia menyanggupi pembuatan kapal PKR 100 persen dilakukan di Indonesia bekerja sama dengan PT PAL dengan harga relatif sama dan spesifikasi kapal yang dilengkapi dengan persenjataan modern.

Hal itu membuat Sekretaris Kabinet Dipo Alam meminta kerja sama pengadaan kapal ditinjau ulang (Kompas, 17 Januari 2013) untuk memastikan kerja sama itu memang layak dan tidak merugikan negara.

Kerja sama dapat efektif apabila dilakukan dengan cara learning by doing melalui pembangunan proyek 100 persen di galangan dalam negeri serta melibatkan semua pemangku kepentingan (pengguna/TNI, akademisi, dan industri pendukung) agar organisasi dan sistem di galangan tersebut dapat terlibat secara langsung dan menyeluruh. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mensyaratkan porsi lokal minimum 35 persen.

Transparansi

Persoalan kapal PKR itu hanya satu bagian dari rangkaian karut-marut pengadaan alutsista dan barang di sektor pertahanan. Kasus-kasus itu menunjukkan adanya permasalahan akuntabilitas di sektor pertahanan. Government Defence Anti-corruption Index 2013 yang dirilis Transparency International di Inggris menempatkan Indonesia pada posisi buruk karena pemerintahan rentan terhadap korupsi di sektor pertahanan.

Menurut hasil survei tersebut, sekitar 70 persen negara memiliki mekanisme buruk terhadap korupsi di sektor pertahanan. Dari 82 negara yang disurvei, 57 negara gagal melindungi diri, termasuk Indonesia yang mendapat nilai E dari skala A-F. Persoalan lemahnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam pengadaan alutsista termasuk sebagai faktornya.

Persoalan pada sektor pertahanan ini harus direspons otoritas politik secara serius. Perlu disadari, risiko keamanan warga dipertaruhkan dalam setiap dugaan korupsi bidang pertahanan. Selain itu, hal ini juga merupakan pertaruhan bagi nyawa setiap prajurit. Sudah bukan rahasia lagi, prajurit gugur berjatuhan akibat ketidaklayakan alutsista dan buruknya sistem pemeliharaan.

Pengawasan sektor pertahanan yang minim menjadi lahan subur tumbuhnya bisnis persenjataan. Kuatnya rekanan atau broker ini makin membuat proses pengadaan alutsista karut-marut. Menghadapi kompleksitas persoalan ini, beberapa terobosan dapat dilakukan.

Pertama, prinsip bahwa setiap pengadaan persenjataan perlu dipertanggungjawabkan kepada publik (public goods). Sudah seyogianya DPR dan pemerintah melibatkan masyarakat sipil lebih jauh untuk mengawasi kebijakan, anggaran, dan mekanisme pengadaan. Hal itu sesungguhnya sudah dilakukan Bulgaria yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan akademisi sebagai perwakilan publik ke dalam tim pengawas tender.

Kedua, transparansi. Pembiayaan yang menggunakan anggaran negara tidak dapat dilindungi dengan dalih kerahasiaan. Apabila berkaitan dengan strategi militer, kerahasiaan memang perlu dijamin. Namun, hal itu tak berlaku dalam hal pendanaan. Nepal dalam UU-nya menyatakan, pembiayaan terhadap item rahasia adalah tindakan ilegal.

Ketiga, mengatasi persoalan korupsi juga perlu menyentuh setiap personel. Hal ini perlu diwujudkan ke dalam doktrin militer agar terbentuk kultur antikorupsi di sektor pertahanan.

Lebih dari itu, upaya mereformasi peradilan militer penting segera direalisasikan untuk membangun akuntabilitas di sektor pertahanan. Sering kali pengungkapan dugaan kasus korupsi di sektor pertahanan terhambat karena dalih persoalan yurisdiksi peradilan militer. Juru bicara KPK Johan Budi pernah menyatakan, salah satu kesulitan pengungkapan kasus Sukhoi adalah soal yurisdiksi peradilan militer yang sulit ditembus KPK.

Sudah seharusnya revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer segera dilakukan mengingat hal itu mandat TAP MPR dan UU TNI. Tanpa reformasi peradilan militer, modernisasi alutsista akan selalu dibayang-bayangi dugaan praktik korupsi.

Al araf Direktur Program Imparsial; Pengajar FISIP Universitas Paramadina dan Al Azhar; Pegiat Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan

(Kompas cetak, 27 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger