Perdebatan soal penghapusan subsidi BBM dan listrik terbentur segudang kepentingan popularitas menjelang suksesi 2014. Konsensus nasional patut ditempuh agar ketahanan energi nasional terwujud.
Menjelang Pemilu 2014, kecenderungan partai politik menyikapi persoalan subsidi lebih mengarah kepada pertimbangan populis ketimbang pertimbangan rasional. Padahal, tak sedikit cendekiawan dan ahli yang mengatakan subsidi adalah kebijakan tak rasional dan tak berkeadilan, yang kalau tidak diselesaikan dengan baik akan menjadi penyakit kronis yang berkepanjangan.
Pertimbangannya begitu jelas. Jumlah subsidi BBM dan listrik pada APBN 2013 sekitar Rp 305 triliun (hampir mencapai 20 persen APBN). Jumlah itu lebih besar dari belanja modal pemerintah dan juga lebih besar dari anggaran investasi sarana BUMN energi. Jika tidak diselesaikan, jumlahnya akan terus meningkat dan akan tetap membebani siapa pun pemangku pemerintahan, dari tahun ke tahun.
Terlebih, alokasi subsidi BBM dan listrik yang katanya untuk rakyat kecil kenyataannya tidak menyentuh mereka. Bagi masyarakat kecil di pelosok dan daerah terpencil, harga BBM yang harus mereka bayar jauh dari hitungan subsidi, dan sebagian besar masyarakat terpencil belum menikmati listrik PLN.
Rasio elektrifikasi 2012 baru sekitar 70 persen. Artinya, sekitar 30 persen dari 240 juta penduduk belum menikmati listrik yang selama ini disubsidi dengan biaya menjulang. Lebih ironis lagi, tidak sedikit dari masyarakat terpencil yang menggunakan listrik bersumber dari genset diesel milik sendiri atau swasta yang jauh lebih mahal ketimbang listrik PLN karena keterbatasan PLN menjangkau mereka. Alhasil, masyarakat kecil yang kerap diperdebatkan sebagai alasan mempertahankan program subsidi justru sejak lama membayar BBM, gas, dan listriknya dengan harga yang lebih mahal dari ketetapan subsidi pemerintah.
Tengok saja di pulau-pulau terpencil dan desa di pedalaman, harga eceran 1 liter premium mencapai Rp 7.000-Rp 10.000. Di Ternate, harga gas elpiji tabung 12 kilogram mencapai Rp 150.000 karena didatangkan dari Makassar. Bahkan, masyarakat Palembang, Sumatera Selatan, harus membeli gas elpiji 3 kg Rp 20.000 meski harga eceran tertinggi hanya Rp 14.000. Mahalnya biaya distribusi menyebabkan subsidi sesungguhnya tidak berdampak bagi masyarakat kecil.
Lalu, siapa sebenarnya yang menikmati subsidi BBM dan listrik? Tentu saja mereka yang banyak menggunakan energi, seperti kelompok perusahaan besar dan kalangan menengah ke atas.
Artinya, bila subsidi tetap dilakukan di tengah pertumbuhan energi yang akan mencapai 7-8 persen per tahun, dan harga energi khususnya minyak yang sewaktu-waktu bergejolak, beban APBN pun semakin besar dan kondisinya kian membahayakan perekonomian nasional. Inilah bom waktu yang mengancam perekonomian nasional di masa depan.
Konsensus pengelolaan
Pencabutan subsidi BBM gas dan listrik mungkin terasa getir bagi sebagian pihak. Namun, langkah itu kelak berbuah sangat manis, khususnya dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional. Karena itu, perlu sebuah konsensus nasional untuk memutuskan langkah terbaik bagi kelangsungan bangsa yang kelak akan diwarisi generasi selanjutnya.
Konsensus nasional terdiri dari lima kesepakatan dalam menata keenergian nasional. Pertama, sepakat bila energi adalah modal pembangunan. Kedua, sepakat bila subsidi komoditas BBM dan listrik dikurangi secara bertahap hingga menuju keekonomiannya, kemudian diganti menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Ketiga, sepakat bila sumber gas alam dan batubara dicadangkan untuk generasi masa depan. Keempat, sepakat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan memberi prioritas dan dukungan anggaran. Dan kelima, sepakat membangun kemandirian pengelolaan energi nasional dengan memprioritaskan pelaku nasional dalam rancang bangun dan proyek-proyek energi.
Idealnya, konsensus nasional pengelolaan energi dapat dilakukan sebelum Pemilu 2014. Hal itu sebagai langkah preventif dari kemungkinan penggunaan isu pencabutan subsidi BBM lebih banyak dilandasi kepentingan untuk menarik simpati rakyat.
Melalui konsensus nasional, ketahanan dan kemandirian energi dapat ditingkatkan karena kemandirian energi nasional mengandung lima pengertian. Pertama, berdaulat dalam pembuatan keputusan pengelolaan energi dari hulu hingga hilir. Kedua, memperbanyak penyediaan dana sendiri untuk infrastruktur energi (diperlukan sekitar 2 persen PDB atau 10 persen dari APBN) setiap tahun. Ketiga, jika harus berutang, harus diupayakan seminimal mungkin pengaruhnya pada kedaulatan negara. Keempat, pelaku dalam negeri menjadi tuan di negeri sendiri. Untuk itu, perlu penguasaan teknologi dan manajemen usaha pertambangan migas, batubara, kilang minyak, hingga infrastruktur kelistrikan. Kelima, membangun kemampuan fabrikasi lokal pendukung keenergian.
Untuk menghindari inflasi, khususnya terhadap harga kebutuhan dan bahan pokok lain, penghapusan subsidi dilakukan bertahap sedikit demi sedikit. Caranya? Untuk BBM, pemerintah memulai dengan suatu subsidi tetap dan mengambangkan harga sesuai irama harga minyak mentah dunia. Katakan dengan harga minyak mentah yang sekarang 90 dollar AS per barrel, harga wajar Premium Rp 7.000 per liter, yang berarti ada subsidi Rp 2.500 per liter. Selanjutnya, dalam waktu 24-36 bulan pemerintah mengurangi subsidi Rp 50-Rp 100 per liter setiap bulan dengan mempertimbangkan harga minyak dunia. Harga mengambang ini memberi kesempatan pelaku dan masyarakat mempersiapkan diri.
Demikian pula untuk listrik. Jika posisi sekarang terdapat subsidi rata-rata sebesar Rp 500 per kWh (biaya produksi per kWh rata rata Rp 1.400, dan harga jual rata-rata Rp 900), subsidinya dikurangi sekitar Rp 50 per kWh tiap periode atau tiap bulan atau bahkan bisa tiap 3 bulan. Dalam waktu 10-30 bulan, subsidi akan menjadi habis.
Herman Darnel Ibrahim Anggota Dewan Energi Nasional
(Kompas cetak, 27 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar