Pada tahun 1997, misalnya, kualitas pendidikan Indonesia menempati peringkat ke-39 dari 49 negara yang disurvei. Adapun tahun 2007, kualitas pendidikan Indonesia menurun menjadi peringkat ke-53 dari 55 negara yang disurvei.
Padahal, anggaran pendidikan meningkat selama masa Reformasi karena dipatok harus 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada 1997/1998, misalnya, sebelum Reformasi, anggaran bidang pendidikan dan kebudayaan hanya Rp 4,6 triliun. Dibandingkan dengan harga logam mulia saat itu Rp 28.050 per gram, jumlah ini setara 164 ton emas.
Adapun anggaran bidang pendidikan dalam APBN 2012 besarnya Rp 289,95 triliun. Dibandingkan dengan harga logam mulia saat ini sekitar Rp 500.000 per gram, jumlah ini setara 578 ton emas. Jadi secara riil, anggaran pendidikan memang meningkat secara nominal 63 kali, tetapi kalau dihitung dari perbandingan harga emas naik 3,5 kali.
Dari anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2012, hanya Rp 64,35 triliun yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi, Sofyan Effendi, mengatakan, anggaran fungsi pendidikan selama bertahun-tahun lebih banyak ke daerah. "Namun, pengawasannya sangat lemah. Apakah betul di daerah digunakan untuk pendidikan?" kata Sofyan.
Selain itu, anggaran pendidikan juga termasuk di dalamnya untuk gaji guru dan tunjangan guru. Di sisi lain, anggaran pendidikan juga masih dibagi ke 17 kementerian yang menangani pendidikan.
"Alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sesuai amanat konstitusi, dalam pelaksanaannya 'diakali'. Tidak khusus untuk pendidikan," kata Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto.
Permasalahan dasar
Akibat permainan anggaran ini, anggaran pendidikan 2012 yang diklaim mencapai 20,20 persen dari APBN belum juga mampu memperbaiki hal-hal mendasar dalam permasalahan pendidikan di Indonesia. Selain soal infrastruktur, seperti ruang kelas yang rusak, serta sarana perpustakaan dan laboratorium yang kurang, kondisi guru sebagai garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan juga tak kunjung baik kualitasnya.
Pada uji kompetensi guru yang diikuti guru bersertifikat, rata-rata nasional untuk nilai guru hanya 43,2. Adapun nilai rata-rata nasional para guru yang belum bersertifikat di uji kompetensi awal berkisar 42,25.
Di jenjang pendidikan tinggi, pada 1997 dialokasikan anggaran Rp 774,8 miliar. Pada masa ini, jumlah doktor di Indonesia baru berkisar 4.000 orang. Adapun sekarang sekitar 27.000 doktor.
Di sisi lain, kondisi minimnya riset berkualitas yang mampu menembus di jurnal internasional setelah 15 tahun Reformasi masih menjadi persoalan.
Publikasi ilmiah (1996-2009), berdasarkan data dari Scimago Journal & Country Rank, 2011, dalam satu tahun posisi Indonesia tidak beranjak. Pada tahun 2010, Indonesia berada di posisi 64, dan tahun berikutnya tetap di posisi 64 dari 70 negara. Negara-negara lain bisa maju, seperti Malaysia pada tahun 2011 di posisi 44 dan pada tahun 2010 di posisi 48. Adapun Banglades lebih unggul dari Indonesia di posisi 62. Thailand dan Singapura juga lebih unggul dari Indonesia.
Di kawasan ASEAN, Indonesia belum mampu menembus dominasi Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam berbagai penilaian mutu pendidikan. Misalnya, dalam pengukuran kemampuan sains, matematika, dan membaca lewat Program for International Student Assessment ataupun TIMS untuk siswa berusia 15 tahun, Indonesia berada di urutan bawah.
Soedijarto mengatakan, anggaran pendidikan tidak akan mampu mendongkrak kualitas karena anggaran yang ada lebih terserap untuk gaji.
"Yang lebih parah dari reformasi pendidikan, sampai saat ini tidak terjadi pendidikan sebagai proses pembudayaan. Munculnya berbagai kekerasan hingga merajalelanya korupsi semestinya menjadi refleksi untuk mempertanyakan apa yang terjadi di ruang-ruang kelas di sekolah. Pendidikan belum dianggap pemerintah dan DPR sebagai hal penting untuk membangun peradaban bangsa," kata Soedijarto.
HAR Tilaar, Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, reformasi pendidikan belum memberikan hasil yang menggembirakan karena arah pendidikan nasional semakin tidak jelas. Peningkatan anggaran pendidikan tidak untuk menyelesaikan masalah mendasar sehingga reformasi pendidikan bisa dirasakan.
Itje Chodidjah, praktisi pendidikan, menyoroti desentralisasi pendidikan yang membuat implementasi pendidikan nasional tidak terkontrol di tingkat kabupaten/kota. Desentralisasi pendidikan membuat pengaturan pendidikan tidak lagi murni untuk kepentingan pendidikan, tetapi sudah tercampur kepentingan politik.
(Kompas cetak, 23 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar