Pesona dewasa ini adalah munculnya beberapa pemimpin politik luar Jawa: Jusuf Kalla, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Hatta Rajasa. Pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh luar Jawa hanya tampil sebagai teknokrat tanpa komando politik.
Kemunculan keempat tokoh itu mengingatkan kita pada pemimpin nasional zaman Demokrasi Parlementer (1945-1957).
Apakah mereka mampu meraih puncak? Pencapaian itu bergantung pada apakah ada tokoh Jawa yang mau mendampingi mereka. Maka, untuk sementara, kita harus melihat tokoh-tokoh asal Jawa yang "secara etnik" lebih berpeluang. Di sini, kita menemukan beberapa yang menonjol, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, Megawati Soekarnoputri, dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Untuk sementara, melalui berbagai survei, Prabowo tampak paling menonjol. Wiranto berpotensi lebih populer setelah "efek Hary Tanoe" berkinerja setelah deretan stasiun TV dan media massa Hary Tanoe mendorong Wiranto dan Partai Hanura lebih mudah masuk ke dalam orbit cakrawala perhatian publik.
Megawati, di pihak lain, tetap teperhitungkan, terutama karena memiliki pendukung yang menetap. Sebanyak 20 juta suara yang diperoleh pada Pemilu Presiden 2009 tak akan banyak berkurang pada 2014. Karena itu, sebagai calon presiden, Megawati memiliki kepastian lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.
Terakhir adalah Jokowi. Keku- atan tokoh ini terletak pada "keluguan"-nya. Secara konseptual, dia pencipta preseden proses "nasionalisasi lokal" dan sekaligus "lokalisasi nasional" ketika peristiwa-peristiwa dan tindak- an-tindakannya atas kota kecil Jawa Tengah (Solo) mendapat perhatian nasional. Kemenangannya di Jakarta pada 2012 lebih terletak pada keterpesonaan rakyat atas "keluguan" ini daripada pengaruh partai-partai politik pendukungnya.
Polarisasi dan repolarisasi
Tentu, seluruh proses ini tidak akan sederhana. Dalam perkiraan saya, akan terjadi polarisasi dan repolarisasi masif yang menandai dinamika Pilpres 2014. Sambil menunggu perkembangan popularitas Wiranto, perhatian patut diberikan kepada sosok Prabowo. Menjelang Pilpres 2009, tokoh ini membangun citra sendiri dengan, antara lain, berpakaian gaya seorang progresif, seperti Hugo Chaves dari Venezuela, antikapitalisme global. Statusnya sebagai calon wakil presiden Megawati pada 2009 adalah investasi politik yang decisive karena sosoknya tersimpan dalam kenangan kolektif rakyat.
Namun, "kemajuan politik" Probowo berpotensi mendorong dinamika unik perpolitikan nasional. Kaum intelektual kota dan kalangan sadar lainnya, termasuk sebagian elite militer, akan membendung gerak maju Prabowo. Dasar "gerakan kota" ini adalah peristiwa penculikan aktivis prodemokrasi sepanjang 1996 hingga 1998. Kita ketahui, Prabowo adalah pemimpin puncak Kopassus, dan beberapa anggotanya terlibat dalam peristiwa itu.
Sepanjang kegelisahan ini terbatas pada kaum intelektual kota, secara teoretis, kemajuan Prabowo tak terhambat. Selain berjumlah kecil, kaum intelektual ini tak punya alat efektif memproyeksikan kegelisahan kepada rakyat banyak. Namun, daya persuasi mereka cukup penetratif di kalangan elite nasional. Dalam konteks ini, Megawati atau Jokowi akan terdorong ke depan.
Hemat saya, demi membendung Prabowo, kalangan intelektual akan menskenariokan Jokowi maju menghadang. Meski masih harus diuji dalam memimpin Jakarta, popularitas Jokowi akan lebih terdongkrak dengan status capres dibandingkan dengan sekadar jadi calon gubernur DKI. Pendongkrak popularitas ini adalah karena ia wujud marhaenisme sejati. "Keluguan"-nya membuat Jokowi marhaenis yang tidak dibuat-buat.
Skenario ini tentu bermasalah: Megawati dan putrinya, Puan Maharani, mungkin tidak rela Jokowi menyabet kesempatan langka ini. Maka, ada skenario kedua: membujuk Megawati sendiri untuk maju. Tentu, melihat pengalaman lalu, bobot Megawati tidaklah sekuat Pilpres 2004. Karena itu, kaum intelektual akan mendorong pendampingnya yang cocok. Di sini tokoh-tokoh luar Jawa yang telah disebut bisa tampil ke depan. Kaum intelektual kota tentu tidak berkeberatan melihat alternatif pasangan seperti ini: Megawati-Aburizal Bakrie, Megawati-Jusuf Kalla, Megawati-Surya Paloh, atau Megawati-Hatta Rajasa.
Namun, satu hal perlu juga dilihat. Seperti Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pilpres 2009, sekarang Prabowo dalam keadaan naik daun. Maka, ia pun leluasa memilih tokoh lain, seperti Dahlan Iskan atau bahkan Mahfud MD sekalipun.
Fachry Ali Pengamat Politik dan Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia
(Kompas cetak, 25 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar