Pembakaran tiga mapolsek di Musi Rawas, Sumatera Selatan (Kompas, 30/4), yang menewaskan empat warga menambah panjang daftar amuk massa warga terhadap institusi kenegaraan kita.
Vandalisme massa itu melengkapi hal serupa yang terjadi pada kuartal pertama tahun ini: penyerangan Mapolres Langkat, Sumatera Utara (22/1); Mapolres Baturaja, OKU, Sumatera Selatan (7/3); penembakan narapidana di Sleman, Yogyakarta (23/3); penyerangan polsek di Kecamatan Barumun Tengah, Padang Lawas, Sumatera Utara (23/3); dan pengeroyokan terhadap Kapolsek Dolok Pardamean, Simalungun, Sumatera Utara (27/3). Pertanyaannya, ada apa di balik itu semua? Mengapa terjadi penyerangan atas institusi negara?
Jika ditilik secara jernih, pasti ada sesuatu yang salah di balik fungsi-fungsi pranata negara kita. Hanya ada satu solusi untuk mengatasi itu semua, yakni merestorasi fungsi dan kinerja lembaga negara ke arah lebih baik dan produktif. Sebab, awal dan muara vandalisme massa persis terletak di sini: terjadinya disparitas, kesenjangan atau missing link antara lembaga-lembaga tersebut dan rakyat. Di sinilah malafungsi lembaga-lembaga negara terjadi dan berujung pada resistansi di kalangan masyarakat.
Ketidakpercayaan publik
Dalam struktur negara modern, lembaga-lembaga negara seharusnya memainkan peran sebagai alat pemenuhan kebutuhan publik (public service delivery) demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan sentosa lahir-batin (Denhardt & Denhardt, 2000). Posisi lembaga-lembaga negara tidak lebih tinggi dari warga negara. Namun, perubahan paradigmatik semacam ini belum sepenuhnya disadari para pengambil kebijakan di republik ini. Yang terjadi justru sebaliknya. Rasa keadilan, kesejahteraan, jaminan keselamatan, rasa aman, dan kesehatan menjadi urusan pribadi masing-masing warga. Masyarakat seakan dibiarkan mengurusi nasibnya sendiri.
Tidak bisa dimungkiri, panggung politik dan birokrasi kita masih dipenuhi para demagog dan pemburu rente yang haus kekuasaan, jabatan, dan segala bentuk kenyamanan hedonis. Bagi mereka, posisi politik dan birokrasi adalah zona nyaman (comfort zone). Mereka akan mempertahankannya hingga titik darah penghabisan jika ada yang mengusiknya. Sayangnya, begitu sudah berada di zona tersebut, mereka tak mau tahu nasib rakyat banyak yang seharusnya menjadi target layanan mereka. Sekalipun zaman sudah berubah, mentalitas dan nalar politik-birokrasi kita masih tetap sama: memimpin untuk menguasai dan dilayani, bukan untuk berbagi dan melayani.
Jika melihat hierarki peraturan perundangan, pelayanan publik merupakan bidang garapan institusi pemerintah/negara yang telah diamanatkan UUD 1945 dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal 15 poin (e) menegaskan, penyelenggara (baca: lembaga pemerintahan/negara) berkewajiban "memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik". Pasal 18 poin (i) menyatakan, masyarakat berhak "mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan".
Yang menjadi persoalan ternyata rumusan indah di UU tersebut tak seindah kenyataan di lapangan. Memang, pada kurun tiga tahun terakhir terjadi peningkatan pelayanan pada sektor publik. Namun, sejumlah instansi dengan reputasi pelayanan rendah sulit untuk keluar dari citra negatif akibat rekam jejak jelek pada masa lalu. Akibatnya, muncul gejala ketidakpercayaan (distrust) masif di kalangan warga terhadap sejumlah lembaga yang dicitrakan negatif tersebut. Dalam konteks ini, kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak disorot warga terkait dengan reputasi negatifnya.
Fenomena ketidakpercayaan publik atas lembaga kepolisian tidak boleh ditanggapi dingin lembaga-lembaga publik yang lain, terutama partai politik, DPR, dan lembaga peradilan. Lembaga-lembaga inilah yang masih memiliki citra negatif di mata masyarakat. Resistansi dan perlawanan massa terhadap lembaga-lembaga ini hanyalah soal waktu jika tidak ada upaya serius untuk merevitalisasi fungsi publik mereka.
Menggejalanya fenomena ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap pranata kelembagaan negara harus disikapi serius oleh pihak-pihak terkait. Hal tersebut menyangkut kewibawaan institusi negara dalam mengeksekusi sebuah kebijakan. Institusi yang tidak berwibawa akan berdampak pada munculnya apatisme masyarakat terhadap segala kebijakan negara. Bahkan, lebih jauh lagi institusi yang tidak berwibawa dapat menimbulkan resistansi dan pembangkangan warga atas seluruh kebijakan yang dihasilkannya (Russell Hardin, 1999: 28).
Dalam tingkatan yang ekstrem, fenomena ketidakpercayaan yang membuncah menjadi apatisme politik dan pembangkangan massal dapat mengantarkan kepada negara gagal (failed state). Sejauh ini memang belum ada tanda-tanda ke arah sana. Namun, kesalahan sekecil apa pun dalam memberikan pelayanan publik tidak boleh ditoleransi. Sebab, hal ini bisa berakumulasi pada robohnya pranata/institusi negara kita. Dalam kondisi semacam ini, negara dapat dikatakan gagal menjalankan fungsinya.
Membalik piramida layanan
Untuk mengantisipasi munculnya negara gagal, sudah saatnya pranata negara memahami paradigma baru pelayanan publik sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Paradigma ini sejatinya menempatkan masyarakat sebagai target utama dari seluruh rangkaian pelayanan publiknya. Ketepatan, kecermatan, dan akurasi pelayanan publik menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kepuasan pengguna layanan. Oleh karena itu, setiap kebijakan negara harus berpijak pada penelitian serius (research-based), bukan sebatas imajinasi fiktif para elite politik dan birokrasi tentang kepentingan umum (public good).
Dalam praksisnya, perubahan paradigma layanan ini harus diterjemahkan melalui pembalikan piramida layanan politik-birokrasi. Jika selama ini rakyat menempati lapisan terbawah dan kaum elite politik-birokrasi menempati lapisan teratas dari struktur piramida layanan, kondisi ini harus dibalik. Rakyat harus ditempatkan di atas dan politisi-birokrat di bawah sebagai pelayan dan penyangga eksistensi masyarakat. Dalam konstruksi negara modern, semua institusi negara harus ditempatkan sebagai pengurai masalah, bukan menjadi bagian dari masalah itu sendiri, yang mendistribusikan seluruh bentuk state of well-being seperti keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan jaminan rasa aman kepada setiap warga negara. Hanya dengan cara seperti itu, eksistensi pranata negara dapat diselamatkan.
Masdar Hilmy Dosen Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel; Doktor Alumnus Universitas Melbourne, Australia
(Kompas cetak, 24 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar