Kelompok kerja yang terdiri dari unsur pemerintah, industri, dan masyarakat sipil dalam beberapa tahun terakhir telah bekerja sama dalam menerapkan asas transparansi terkait penerimaan negara dari industri migas, mineral, dan batubara.
Hasil kerja sama dalam bentuk laporan tersebut merupakan hak atas informasi yang dimiliki rakyat Indonesia. Laporan tersebut juga dipergunakan sebagai alat akuntabilitas pemerintahan.
Tahun 2010 menjadi tonggak penandatanganan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 yang menjadi landasan bagi Indonesia untuk menerapkan Prakarsa Transparansi Penerimaan Industri Ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI). Sebuah standar global yang diterapkan di 37 negara.
EITI mendorong pelaporan oleh para produsen migas, mineral, dan batubara atas apa yang telah mereka bayarkan kepada pemerintah. Sebaliknya, pemerintah melaporkan penerimaan negara dari perusahaan-perusahaan tersebut. Laporan yang diterima dari para pelaku usaha dan pemerintah kemudian ditelaah oleh "rekonsiliator" independen dan dibentuk menjadi sebuah laporan EITI nasional.
Keseluruhan proses diawasi oleh sebuah kelompok kerja multi-stakeholder yang meliputi instansi pemerintahan, pelaku usaha, dan masyarakat sipil. Di Indonesia, kelompok kerja ini terdiri dari 13 direktur jenderal dari lima kementerian, pejabat tinggi dari tiga provinsi yang kaya sumber daya alam, tiga perwakilan dari asosiasi-asosiasi industri ekstraktif, serta tiga perwakilan masyarakat sipil yang dipilih.
Laporan EITI Indonesia pertama ini adalah sebuah upaya dan kerja keras yang menyajikan hasil rekonsiliasi antara aliran dana dari 50 perusahaan Kontrak Kerja Sama (KKS) migas, 16 perusahaan pertambangan mineral, dan 53 perusahaan pertambangan batubara yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia, dengan jumlah yang diterima oleh Badan Pengelola Kegiatan Hulu Migas (kini SKK Migas), Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Laporan pertama ini dibuat khusus untuk tahun kalender 2009.
Perbedaan angka
Beberapa perbedaan antara jumlah pembayaran yang diserahkan oleh pelaku usaha kepada pemerintah dan jumlah penerimaan yang dilaporkan oleh pemerintah telah ditemukan. Namun, umumnya hal-hal tersebut berkenaan dengan laporan pemerintah yang memuat jumlah penerimaan yang lebih dari apa yang telah dilaporkan dibayarkan oleh pelaku usaha. Suatu hal yang bertentangan dengan perkiraan banyak kalangan.
Dalam hal pembayaran over-lifting dan under-lifting migas, pemerintah melaporkan penerimaan sebesar 29 juta dollar AS lebih besar dari yang telah dilaporkan para pelaku usaha. Hal ini sebagian besar dikarenakan EITI Indonesia tidak mengirimkan formulir pelaporan kepada 76 mitra kerja dari 50 Kontraktor KKS. Alhasil, beberapa dari mitra kerja tersebut tidak menyerahkan laporannya.
Untuk pajak penghasilan migas, pemerintah melaporkan penerimaan 96 juta dollar AS lebih besar dari yang dilaporkan para pelaku usaha. Hal ini karena pemerintah juga memasukkan angka jumlah piutang yang hingga kini masih dalam penyelesaian.
Pemerintah melaporkan penerimaan pajak penghasilan dari perusahaan pertambangan batubara sebesar 273 juta lebih besar dari yang dilaporkan para pelaku usaha. Hal ini disebabkan adanya satu badan usaha yang tidak melaporkan kepada EITI Indonesia pajak 2007 yang dibayarkan ke negara pada 2009.
Untuk royalti batubara, pemerintah melaporkan penerimaan 54 juta dollar AS lebih besar dari yang dilaporkan oleh pelaku usaha. Awalnya, perbedaan tersebut mencapai Rp 1 miliar lebih, tetapi angkanya mengecil setelah dilakukan pemeriksaan terhadap dokumen fisik yang dikelola Ditjen Mineral dan Batubara.
Hal yang menggembirakan, perbedaan-perbedaan yang bisa ataupun tak bisa direkonsiliasi tersebut tidak mengindikasikan adanya penyelewengan atau penyalahgunaan. Perbedaan lebih disebabkan adanya perselisihan usaha, kesalahan input, dan sistem manajemen penerimaan negara yang belum optimal.
Perizinan daerah
Ditjen Mineral dan Batubara menduga ada 10.250 izin pertambangan daerah yang telah dikeluarkan. Meski tak ada angka yang pasti, perkiraan ini cukup mengkhawatirkan mengingat perusahaan-perusahaan berizin daerah bertanggung jawab hanya kepada kepala daerah yang mengeluarkan izin.
Selama masyarakat tidak mengetahui dengan jelas apa dan siapa perusahaan berizin daerah tersebut—nama, pemiliknya, hasil tambangnya, dan berapa besar mereka membayar (atau tidak) royalti dan pajak ke kas negara— kita tidak dapat menghitung kontribusinya pada pembangunan Indonesia, khususnya ketika ada kritik mengenai dampak lingkungan dari beberapa tambang.
Laporan pertama EITI Indonesia menyajikan rincian atas 22 perusahaan tambang berizin daerah terbesar (dalam konteks kontribusi penerimaan). Sementara laporan kedua, yang menurut rencana akan diterbitkan tahun ini juga, akan memberikan sajian laporan dari 143 perusahaan tambang terbesar, yang terdiri dari 2 tambang emas, 18 timah, 14 nikel, 3 bijih besi, dan 106 batubara.
Hingga saat ini, sebagian besar rakyat Indonesia masih tidak menyadari jumlah penerimaan dari sumber daya alam (SDA) yang mengalir ke pemerintah daerah. Lebih dari itu, data tentang berapa besar penerimaan tahunan atas bagi hasil pemerintah daerah dari satu perusahaan tertentu belum pernah dilaporkan secara publik. Hasilnya, masyarakat yang tinggal di sekitar area operasi produksi migas, mineral, dan batubara berada dalam posisi yang lemah untuk menuntut pelayanan publik dari pemerintah daerah.
EITI Indonesia telah mengubah situasi ini. Kini, masyarakat yang tinggal di daerah kaya SDA dapat mengetahui besaran aliran penerimaan dari satu perusahaan tertentu kepada pemerintah provinsi dan kabupaten. Sebagai contoh, EITI Indonesia mengungkapkan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten di Riau telah menerima hampir dua pertiga dari satu juta miliar dollar AS penerimaan negara yang dibayarkan oleh KKS penghasil minyak terbesar di Indonesia (Blok Rokan Chevron).
Kalimantan Timur menikmati lebih dari seperempat miliar dollar AS penerimaan negara dari KKS penghasil gas bumi terbesar di Indonesia (Blok Mahakam Total dan Inpex). Di Papua, lebih dari 100 juta dollar AS pembayaran royalti dari perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar, Freeport Indonesia, telah diserahkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten.
Laporan EITI Indonesia menyajikan informasi yang sama atas 50 perusahaan migas dan 69 perusahaan pertambangan yang memberikan laporan. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan adanya EITI Indonesia, informasi atas penerimaan dari SDA kini tersedia. Sebelumnya kita hanya memiliki hak mengetahui, kini hak itu kita wujudkan dengan menerima informasi secara transparan.
Erry Riyana Hardjapamekas Satu dari Dua Perwakilan Pelaksana untuk Asia dalam Dewan Internasional EITI, Oslo, Norwegia
(Kompas cetak, 24 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar