Kenaikan harga pangan seolah-olah sudah menjadi ritual rutin tahunan mendekati hari-hari besar keagamaan. Untuk tahun ini, kenaikan harga pangan diperkirakan lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena diamplifikasi kenaikan harga BBM, anomali iklim, ketergantungan impor, serta masalah manajemen pangan dan produksi pertanian.
Kompas (20-21/6/2013) melaporkan, kenaikan harga pangan sudah mulai terjadi di hampir semua komoditas, mulai dari beras, tepung terigu, gula, telur, minyak goreng, dan hortikultura. Berdasarkan pantauan pasar, harga pangan dipastikan naik di hampir seluruh wilayah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pantauan oleh media lain menunjukkan, harga pangan sudah mulai naik di 66 kota. Meskipun demikian, kenaikannya masih di bawah 10 persen untuk setiap komoditas.
Pemerintah berusaha mengantisipasi gejolak harga pangan melalui dua sisi, yaitu memastikan kecukupan pasokan pangan dan mengusahakan kelancaran arus distribusi barang melalui perbaikan infrastruktur transportasi. Stok beras diasumsikan cukup, sedangkan daging sapi dan hortikultura ditingkatkan pasokannya melalui impor. Pemerintah membuka keran impor 13 jenis hortikultura, antara lain cabai, bawang merah, buah-buahan, dan wortel.
Pengendalian kenaikan harga pangan oleh pemerintah mendasarkan diri pada kaidah ekonomi sederhana, yaitu harga dibentuk oleh penawaran (supply) dan permintaan (demand). Bila permintaan tinggi sedangkan jumlah barang yang ditawarkan tetap atau berkurang, harga akan naik. Dengan demikian, melalui penambahan pasokan barang dan menjamin distribusinya, harga akan bisa dikendalikan.
Hal itu berlaku dalam situasi fluktuasi harga siklis yang normal. Dalam kondisi fluktuasi harga abnormal, harga tidak lagi ditetapkan hukum penawaran-permintaan, tetapi oleh faktor lain, seperti kebijakan pemerintah, spekulasi pangan, persepsi dan suasana psikologi masyarakat, serta bencana.
Faktor fluktuasi harga pangan
Kenaikan harga BBM tampaknya tak akan berpengaruh besar terhadap kenaikan harga pangan di Indonesia. Dalam skala global, kenaikan harga energi tak signifikan dalam meningkatkan harga pangan (Avalos, 2013). Faktor penting pertama yang lebih berpengaruh terhadap dinamika harga pangan adalah pertumbuhan permintaan dalam skala global. Pertumbuhan permintaan terutama berasal dari negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat, seperti China, India, dan beberapa negara di Asia termasuk Indonesia. Permintaan juga tumbuh akibat konversi jagung menjadi etanol terutama di Amerika Serikat, yang merupakan produsen jagung terbesar di dunia. Bila pada tahun 2000 hanya 5 persen jagung AS yang digunakan untuk memproduksi etanol, saat ini lebih dari 35 persen panen jagung berpindah dari kepentingan pakan dan pangan menjadi minyak. Hal itu mengguncangkan pasar jagung internasional yang kemudian menggeret harga kedelai dan gandum ikut ke atas.
Faktor kedua adalah kebijakan moneter yang longgar (easy monetary policy). Tingkat bunga yang rendah menyebabkan kelebihan likuiditas. Kelebihan likuiditas tersebut mencari jalannya sendiri dan masuk ke pasar komoditas yang menyebabkan harga pangan meningkat. Faktor ketiga adalah spekulasi. Faktor ini sangat terkait dengan faktor kedua. Spekulasi berdampak buruk baik ketika harga pangan tinggi maupun rendah. Kedua-duanya menghasilkan hasil yang sama, yaitu harga akan meningkat. Dalam lima tahun terakhir, uang yang disalurkan bank untuk spekulasi perdagangan komoditas pangan meningkat lebih dari 100 persen. Hal itu menyebabkan enam bank di Eropa menghilangkan produk pertanian dalam mekanisme pendanaan komoditas karena menyadari bahaya spekulasi di bidang pangan (DA Santosa, Kompas 19/3/2013).
Meretas masalah
Langkah pemerintah meredam kenaikan harga dengan hanya meningkatkan pasokan dan memperbaiki distribusi diperkirakan kurang efektif. Apalagi, langkah peningkatan pasokan dilakukan dengan impor pangan. Membuka lebar-lebar pintu impor akan membuat sistem pertanian dan pangan kita semakin terpuruk.
Perjalanan kebijakan dan kelembagaan pangan di Indonesia hampir mirip China, tetapi dengan hasil akhir berbeda. Sebelum Reformasi, Pemerintah Indonesia mengontrol dengan ketat pasokan dan harga pangan melalui dua institusi: Bulog dan kementerian pangan. China juga melakukan hal yang sama melalui kebijakan "monopoli negara atas pembelian dan pemasaran" terutama biji-bijian.
Setelah tahun 1985, kontrol negara terhadap pangan pelan-pelan diturunkan. Hal itu berisiko pasar pangan di China lebih peka terhadap dampak pasar pangan internasional. Hal itu juga menyebabkan karakteristik fluktuasi harga dan aturan-aturan yang harus dibuat menjadi lebih kompleks. China tetap mempertahankan kebijakan pengendalian harga yang ketat, selain juga menguatkan mekanisme cadangan pangan serta regulasi ekonomi makro lain. Dua target utama China adalah stabilisasi harga pangan dan peningkatan pendapatan petani (Lu dkk, 2013).
Sebaliknya, pasca-Reformasi, Indonesia benar-benar menjadi pasar terbuka untuk segala jenis barang dan komoditas. Ketahanan pangan Indonesia terintegrasi langsung dengan pasar internasional. Petani-petani kecil kita dihadapkan langsung dengan petani-petani kaya negara maju yang padat subsidi. Bersamaan dengan itu, beberapa komoditas hancur dan tidak terpulihkan lagi hingga saat ini, misalnya kedelai. Harga beras hanya dalam satu dekade meningkat 300 persen, demikian juga pangan lain. Sepanjang tahun, harga hortikultura berfluktuasi sangat tinggi.
Harga yang stabil tinggi menguntungkan petani, sedangkan fluktuasi tinggi sangat merugikan mereka. Harga jatuh saat panen raya dan tinggi ketika sudah berada di tangan pedagang dan spekulan pangan. Peningkatan pasokan untuk mengendalikan harga, apalagi melalui impor, terbukti tak efektif, misalnya kasus harga daging sapi yang tak terselesaikan hingga saat ini. Fluktuasi harga jangka pendek, misalnya menghadapi hari raya, biasanya tidak disebabkan kurangnya pasokan, tetapi tekanan harga yang sifatnya random dan sulit dikontrol. Dengan demikian, perhatian pemerintah seharusnya ditekankan pada pengendalian fluktuasi harga jangka panjang.
Salah satu kunci terkait dengan hal itu adalah mengembangkan mekanisme proteksi harga, terutama harga pangan utama dan implementasi subsidi untuk mendukung proteksi harga tersebut. Cara tersebut dijalankan dengan sangat berhasil oleh China sehingga setelah 2004 harga pangan di China terhitung paling stabil di dunia. Stabilitas harga merangsang petani untuk berproduksi sehingga total produksi pertanian meningkat.
Berdasarkan diskusi dengan berbagai jaringan petani di Indonesia, tanpa subsidi pun mereka akan tetap bergairah berproduksi bila pemerintah mampu memberikan jaminan harga minimum bagi petani. Poin terpenting di sini adalah mengubah orientasi pembangunan pertanian dan pangan dari ketahanan pangan yang sangat kuat di sisi akses dan jaminan pangan ke konsumen beralih orientasinya ke petani. Dengan menyelamatkan petani, masa depan pangan kita akan selamat sehingga tidak ada lagi kepanikan pemerintah menghadapi ritual fluktuasi harga pangan menjelang hari raya.
Dwi Andreas Santosa Ketua PS S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB; Aktif di Gerakan Petani
(Kompas cetak, 26 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar