Ke-98 ormas itu akan melakukan pembangkangan sipil berupa menolak bayar pajak, selain mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) kalau pemerintah dan DPR mengesahkannya. Menurut mereka,
RUU Ormas ini syarat kepentingan politik. RUU Ormas cacat sejak awal. Definisinya multitafsir, terlalu luas, ruang lingkupnya tidak jelas, dan terkesan ingin mengatur segalanya tanpa batas.
Dibahas sejak Oktober 2011, RUU inisiatif DPR ini disiapkan menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas. Pada 12 April 2013, panitia khusus dan pemerintah sepakat menundanya karena banyak penolakan. Pada 20 Mei 2013 pembahasan dilanjutkan. Sampai naskah terakhir 19 Juni 2013, disampaikan banyak pasal diubah atau dibatalkan.
Masalah sebenarnya tidak pada pasal, tetapi pada maksud dasar (optio fundamentalis). Jadi, kesalahan terletak pada bonggol-nya. Maksudnya membatasi tumbuhnya banyak ormas yang niscaya meruyak menjelang Pemilu 2014 atau pilkada. Akan tetapi, karena salah kaprah (yang salah dianggap benar), RUU ini pun menggeneralisasi semua organisasi kemasyarakatan.
Ibarat mau bunuh lalat pakai bom, lalatnya lolos, pecahan bomnya memakan banyak korban. Dengan sudah banyak perubahan pasal, membatasi munculnya ormas beraroma kekerasan barangkali tercapai, tetapi akibatnya memakan korban matinya kebebasan berserikat, kebebasan demokrasi sebagai bagian dari masyarakat warga, yang bisa mengimbas ke mana-mana, termasuk kebebasan pers.
Kekhawatiran demikian berpotensi terjadi. RUU yang mensyaratkan perizinan dan memperpanjang birokrasi mudah disalahgunakan untuk menangguk keuntungan apa pun, yang berawal dari salah tafsir dan multitafsir. Sikap kritis konstruktif ormas yang selama ini terjadi—jumlahnya ribuan—terhadap kebijakan pemerintah terpasung oleh RUU yang sejak bonggol-nya keliru. Jadi, tidak cukup pasalnya didekonstruksi, sebab pasal itu sekadar turunan dari salah kaprah sejak awal.
Siaran pers LBH Jakarta 20 Juni 2013 menyatakan tercampur-aduknya RUU Ormas dengan badan hukum yayasan ke dalam kategori ormas. Ribuan yayasan yang tidak bergerak di ranah politik berada di bawah kendali pemerintah. Yayasan bisa dibekukan, bahkan dibubarkan, tidak hanya dengan UU Yayasan, tetapi dengan UU Ormas. Dalam bayang-bayang menolak bayar pajak (pembangkangan sipil), permohonan uji materi ke MK, dan tindakan anarki yang saat ini mudah tersulut dan merebak, pembahasan RUU Ormas sebaiknya dihentikan dan pengesahannya ditunda.
Niscaya sumbangan besar wakil rakyat saat ini adalah menunda dulu pengesahan RUU Ormas. Mudaratnya—target legalisasi tidak tercapai—akan lebih kecil daripada manfaatnya. Biarlah kepala dingin dulu!
(Tajuk Rencana Kompas, 25 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar