Melihat semua langkah dan hasil upaya pemberantasan korupsi selama Era Reformasi, rasanya kita menjadi pesimistis untuk bisa mengatasi korupsi di Indonesia.
Padahal, kita melakukan reformasi, utamanya, untuk memberantas korupsi agar negara ini bisa berjalan baik. Sekarang korupsi terasa semakin menggunung dan kita mati langkah untuk memeranginya.
Mungkin ada baiknya kita segera memilih langkah dan strategi baru memerangi korupsi, yakni memutuskan hubungan dengan korupsi-korupsi masa lalu. Sebab, sulitnya menangani kasus-kasus korupsi saat ini karena kita tersandera masa lalu. Setiap kita akan bersikap tegas terhadap korupsi, selalu saja muncul hadangan karena yang harus ditindak dan yang harus menindak sering kali sama-sama terlibat korupsi di masa lalu. Ini terjadi karena pada masa lalu korupsi sudah sistemik sehingga penggawa yang tidak ikut korupsi tak bisa survive.
Akibat hadangan yang seperti itu, maka—selain korupsi-korupsi lama tak terselesaikan—semakin hari selalu muncul korupsi baru yang jumlah ataupun caranya begitu fantastis. Sementara saling kunci dan saling sandera terus berlangsung sehingga penanganan korupsi semakin tak memberi arah yang jelas. Masa transisi untuk institusionalisasi penegakan dan penegak hukum semakin kabur pula.
Oleh sebab itu, jalan terbaik untuk mengatasi situasi ini adalah segera memutus hubungan dengan korupsi masa lalu. Caranya adalah dengan menyelesaikan atau menganggap selesai secara "luar biasa" kasus-kasus korupsi di masa lalu itu. Setelah itu, sejak titik penyelesaian itu, kita mulai langkah-langkah baru yang lebih tegas.
Lustrasi dan pemutihan
Berdasarkan teori dan pengalaman di negara-negara lain, ada dua alternatif yang ditawarkan untuk menggunting atau memutus hubungan dengan korupsi-korupsi masa lalu itu, yaitu amputasi dan ampuni.
Dengan amputasi dimaksudkan kita perlu membuat kebijakan lustrasi nasional (national lustration policy), semacam pemotongan satu atau dua generasi untuk para pemain dan pejabat-pejabat lama. Semua politikus dan pejabat pemerintah dari rezim korup yang sudah dijatuhkan harus diberhentikan dengan undang-undang dari semua jabatan publik tanpa pengadilan hukum.
Asumsinya, karena korupsi masa lalu itu bersifat sistemik sehingga tak bisa dihindarkan oleh mereka yang ingin kariernya terjamin, maka semua yang terlibat politik dan pemerintahan pada masa itu dianggap tercemar sehingga harus diseleksi ulang dan diganti dengan pemain-pemain atau pejabat-pejabat yang baru. Ada yang harus dilarang untuk aktif selamanya dan ada yang diberi kurun tertentu, misalnya selama sepuluh atau lima tahun tak boleh aktif di politik atau ikut dalam pemerintahan. Beberapa negara di Amerika Latin menempuh kebijakan lustrasi ini.
Pejabat-pejabat baru itu diseleksi dari mereka yang benar-benar bersih sebagai generasi baru dalam politik dan pemerintahan yang menjamin keterputusan hubungan dengan korupsi masa lalu. Persoalannya adalah pilihan lustrasi ini akan sulit diambil karena mereka yang harus memberi persetujuan atas kebijakan lustrasi ini boleh jadi adalah mereka yang akan terkena lustrasi dan harus keluar dari panggung politik dan pemerintahan. Sulit membayangkan ada politikus dan pejabat pemerintah yang mau menyetujui undang-undang yang akan mencopot dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, ada alternatif kedua, yakni menggabungkan pengalaman Afrika Selatan dan China dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan menghukum para koruptor dengan membuat kebijakan mengampuni, rekonsiliasi, atau national pardon. Dalam kebijakan yang demikian, semua pelaku korupsi masa lalu kesalahannya diputihkan, dianggap selesai, dan tidak perlu diajukan ke pengadilan. Dapat juga disertai pemberian kesempatan mengembalikan kekayaan secara sukarela. Namun, sejak titik dinyatakannya pemutihan itu, ada ancaman hukuman berat apabila melakukan korupsi, yakni dihukum seumur hidup atau lebih berat dari itu.
Terarah dan tegas
Dengan pemutihan atau pengampunan ini, selanjutnya para politikus dan pejabat harus ikut berperang melawan korupsi tanpa harus tersandera oleh korupsi-korupsinya di masa lalu. Hakim, jaksa, dan polisi yang korup di masa lalu, misalnya, tidak perlu takut diungkit-ungkit korupsinya ketika menangani kasus korupsi.
Tak mudah bagi kita untuk menentukan mana yang harus kita pilih, lustrasi (amputasi) ataukah pemutihan (ampunan), sebab keduanya berisiko besar.
Akan tetapi, tidak tepat juga kalau kita menangani kasus korupsi dengan cara berputar-putar secara tak jelas seperti sekarang. Sebuah kebijakan yang lebih terarah dan tegas memang sudah diperlukan.
Moh Mahfud MD Guru Besar Hukum Tata Negara
(Kompas cetak, 8 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar