Menjadi Indonesia adalah gagasan yang dikerjakan. Bukan mimpi di atas awan-gemawan. Juga bukan cita-cita yang digantung di langit. Menjadi Indonesia adalah suatu konstruksi imagined community, dilandasi hasrat berkobar dan ikhtiar cerdas.
Kaum cerdik akal budi merajut embrio bangsa Indonesia secara cemerlang. Mereka bergerak melampaui misi politik etis sekadarnya yang dicanangkan pemerintah kolonial: edukasi-migrasi-irigasi. Digarap sekuensial melalui tahap penyadaran, peneguhan komitmen, keteladanan, pengorbanan, dan ikrar sarat makna.
Di tangan kaum terpelajar tercerahkan, ekspresi etno-nasionalisme dibingkai dan menjelma menjadi Indonesia Muda. Pendeknya, generasi penginisiasi gerakan mencapai kemerdekaan mewariskan kesatuan cita-cita politik berbangsa bernegara, bukan sekadar peleburan organik otentisitas sosial-budaya-agama yang kaya keragaman.
Pendangkalan cita-cita
Namun, imaji generasi pembebas tentang republik yang berdaulat, bersatu, adil, dan makmur sebagai tuah kemerdekaan kini semakin tergerus dan melemah. Penyebabnya: elite bangsa miskin visi dan nihil dialektika nasionalisme. Keduanya berakar dari mewabahnya pragmatisme dan merosotnya tata kelola bernegara.
Mewabahnya pragmatisme bertolak belakang dengan ketajaman world view para pendiri bangsa dalam memandu cita-cita republik. Demokrasi tergelincir hanya menjadi ajang kontestasi dan transaksi, bukan sarana menguatkan persatuan dan menyejahterakan rakyat.
Indonesia hari ini semakin mendekati seperti apa yang pernah disitir Bung Hatta (1960): "Demokrasi yang tidak mengenal batas-batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu anarki, lambat laun akan digantikan diktatur." Pengertian diktatur tidak harus menunjuk "orang kuat", tetapi dapat berupa kepungan gurita kepentingan politik-ekonomi yang menyetir dan mengendalikan elite bangsa.
Sumber "penyakit" negeri berupa ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan tetap bersemayam di tengah seronok demokrasi hampa orientasi. Ruang publik diwarnai tingkah polah di luar kepantasan: mulai dari meningkatnya aksi kekerasan masif, perilaku khianat pejabat publik dan aparat negara, sampai tuna nilai dan institusionalisasi premanisme dalam banyak segi kehidupan.
Seluruh situasi ini meruyak justru ketika lembaga-lembaga ad-hoc—Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia, Komisi Informasi Publik, Komisi Penyiaran Indonesia, dan banyak lainnya—hadir untuk mengawal demokrasi. Paradoks ini mengantarkan kita untuk mempertanyakan hakikat, sekaligus peta jalan demokrasi.
Pendangkalan proses "menjadi Indonesia" bakal menghadirkan kecamuk mara bahaya berderajat tinggi. Ia menghendaki campur tangan kekuatan-kekuatan prominen, yakni mereka-mereka yang dianugerahi kesanggupan untuk mengambil inisiatif dan berbuat kebajikan lebih banyak.
Daniel J Boorstin menulis, demokrasi akan tangguh bila seluruh elemen penting dalam masyarakat terpanggil untuk memperkuat sendi-sendinya, mengoreksi kelemahannya. Hajat bernegara terlalu berharga jika hanya diserahkan pada parpol (The Americans: The Democratic Experience, 1973).
Bangsa kasihan
Kedaulatan bangsa hari ini dan ke depan menghadapi tantangan berat dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk beserta tekanan kebutuhan bersegi banyak. Akibat kelalaian meletakkan visi jangka panjang dan kerja besar terencana, kondisi faktual membawa soal "hidup-mati" menyangkut ketahanan pangan dan energi.
Impor bahan pangan serta buah dan sayuran terus melonjak, mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak di tengah anomali kebijakan pembangunan infrastruktur perhubungan dan moda transportasi massal yang terjangkau, layak, dan andal. Food and energy security, ketahanan pangan dan energi, yang gaungnya pernah hangat sepanjang dekade 1970 sampai 1980-an kini tersisih oleh kebijakan pragmatis oportunis.
Salah urus ini memberi pelajaran mahal dan multiplikasi dampak meluas. Ia menunjukkan kelambanan, membuang-buang peluang, dan beroperasinya ramifikasi aneka kepentingan dalam pengambilan kebijakan publik.
Fakta bahwa tersedia ratusan juta hektar lahan tidak produktif milik BUMN, misalnya, tidak menggerakkan entitas pengambil keputusan untuk memanfaatkannya secara optimal demi pemenuhan cadangan pangan nasional. Demikian pula pertumbuhan melesat konsumsi BBM tiga dekade
terakhir terlambat diantisipasi saat produksi minyak merosot dari 1,6 juta barrel per hari (bph) tahun 1980-an menjadi tinggal separuhnya, 850.000 bph. Dua contoh soal ini saja merupakan potret nyata bagaimana kedaulatan bangsa dipertaruhkan.
Mengangkat ihwal berat dan besar ini adalah sebuah peringatan. Agar supaya kita tidak terperosok seperti penggalan sajak satir Kahlil Gibran: Kasihan bangsa//yang lahap makan roti//dari gandum yang tidak dipanennya//.
Dengan adaptasi senada, dapat ditambahkan: Kasihan bangsa//yang membanjiri kendaraan bermotor di jalan-jalannya//dengan aneka merek dan bahan bakar yang tidak diproduksinya//.
SUWIDI TONO Koordinator Forum Menjadi Indonesia
(Kompas cetak, 8 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar