Dalam situs www.setkab.go.id Maret 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono dan Timur Pradopo akan diganti pada Agustus atau September 2013. Panglima TNI diganti karena faktor usia, sementara untuk Kapolri diperlukan figur baru yang cakap dan bisa menjalankan tugas. Tidak hanya mengamankan Pemilu 2014, tetapi juga mengatasi berbagai gangguan keamanan.
Ada dua fenomena yang patut dicermati di balik pernyataan Presiden. Pertama, ini pertama kali seorang presiden memaparkan akan adanya pergantian Kapolri, padahal pelaksanaan pergantian masih 3-4 bulan lagi. Dengan demikian, selama tenggang waktu itu Kapolri yang akan diganti bisa kehilangan wibawa di mata bawahannya. Manuver dan intrik di internal, terutama di kalangan elite, bakal berkecamuk mengganggu kinerja kepolisian di sepanjang tenggang waktu pergantian yang begitu panjang.
Kedua, ini pertama kali seorang presiden secara terbuka memaparkan pergantian pimpinan Polri dikaitkan dengan kecakapan dalam mengatasi gangguan keamanan. Apa yang disampaikan presiden tentu tak terlepas dari situasi politik yang memanas menjelang Pemilu dan Pilpres 2014.
Apa yang dipaparkan Presiden merupakan gambaran sebuah kegalauan. Apalagi sepanjang 2012 ada 154 orang tewas dan 217 luka dalam sejumlah kerusuhan di Indonesia. Selain itu, ada 85 kantor polisi yang dirusak dan dibakar massa. Bagaimana Polri bisa mengamankan masyarakat jika mengamankan kantornya saja tak mampu.
Pemimpin seperti apa yang dibutuhkan Polri? Yang bersih seperti Jenderal Hoegeng, yang berwawasan luas seperti Jenderal Awaludin Djamin, atau yang berani seperti Jenderal Dibyo Widodo? Perpaduan ketiganya dalam satu figur tentu mustahil. Apalagi untuk mendapatkan figur ideal di Polri bukan perkara mudah. Tak gampang mendapatkan perwira dengan integritas, kapabilitas, dan sifat kepemimpinan seperti diharapkan banyak pihak, terutama di tengah gaya hidup hedonis yang berkembang luas di internal kepolisian.
Masyarakat selalu mengharapkan pemimpin Polri yang terpilih senantiasa berorientasi pada kesetaraan, kesamaan hak, tak arogan, tak diskriminatif, tak represif, dan profesional. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi Polri membentuk, melahirkan, dan mengawasi polisi-polisi di jajaran bawah, yang belakangan ini kerap berbenturan dengan masyarakat. Juga akan lebih mudah bagi Polri melahirkan polisi-polisi berintegritas, profesional, tak arogan, tak diskriminatif, dan tak represif.
Bagaimanapun, nilai-nilai kebajikan pemimpin itu akan mengalir ke bawah. Sikap simpatik yang ditunjukkan pimpinan Polri dan jajaran kepolisian akan mampu membuat masyarakat ikut berpartisipasi menjaga situasi kamtibmas. Sebaliknya, sikap arogan dan represif akan membuat masyarakat antipati, minimal apatis.
Para pakar kepolisian sudah sering melakukan analisis dan kajian untuk mencari format ideal kepemimpinan kepolisian di Indonesia, sebagai negara demokrasi baru setelah 32 tahun rezim Orde Baru di mana Polri berada di bawah militer. Intinya, kepemimpinan yang dibutuhkan oleh Polri adalah figur yang senantiasa membawa inspirasi bagi perubahan.
Keterampilan memimpin
Dalam sebuah organisasi, termasuk Polri, keberhasilan ataupun kegagalan dalam mencapai tujuan sangat bergantung pada pemimpinnya. Kepemimpinan memegang peranan yang signifikan untuk mewujudkan tujuan organisasi kepolisian.
Kecakapan pemimpin dengan segala potensi yang terkandung di dalamnya sangat diperlukan guna menggerakkan anggota demi tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan, yakni tampilnya Polri yang profesional.
Sebagai organisasi besar, dengan anggota lebih dari 400.000 orang dan tersebar di 33 provinsi, bukanlah perkara gampang menanganinya. Keterampilan memimpin untuk mengarahkan Polri sesuai harapan masyarakat penting untuk tercapainya efektivitas kepemimpinan. Seorang pemimpin kepolisian harus mampu memacu diri guna meningkatkan potensi kepemimpinan secara berkesinambungan agar bisa menjadi figur teladan. Siapa pun tak menginginkan kepemimpinan di kepolisian ada, tetapi seperti tiada. Anak buah berlaku semaunya dan tindakannya jauh dari profesional dan nilai-nilai Tribharata.
Perlu kepemimpinan yang kuat, tegas, dan berwibawa. Selain itu, dia juga harus bersikap terpuji, bisa jadi teladan, mengarahkan, inovatif, visioner, dan memiliki intelegensia tinggi. Apakah figur seperti itu ada di Polri? Jika pun tak ada, dinamika yang mengarah ke sana harus ditata dan dibangun.
Pengawasan internal
Tolok ukur keberhasilan reformasi Polri yakni sejauh mana Polri mampu dan berhasil membangun serta memaksimalkan pengawasan internalnya. Jika pengawasan internal tidak berjalan, artinya Polri memang tidak mau berubah. Jika Polri tidak mau berubah, reformasi Polri yang sudah berjalan 14 tahun bisa dikatakan gagal total.
Keberhasilan reformasi Polri juga bisa dinilai dari keseriusan mendidik kader-kader jajaran bawahnya. Di era Orde Baru, calon polisi dididik 11 bulan di Sekolah Polisi Negara (SPN). Setelah reformasi Polri, mereka hanya dididik 3-5 bulan di SPN. Dengan waktu sesingkat ini tentu tidak akan bisa diperoleh kader-kader Polri yang siap menjadi polisi.
Tak heran jika dalam lima tahun terakhir ini benturan antara polisi dan masyarakat terus merebak. Tugas utama kapolri baru ke depan adalah memaksimalkan pengawasan internal, membenahi sistem pendidikan jajaran bawah Polri, dan tampil menjadi teladan bagi jajarannya serta masyarakat.
Dirgahayu Polri! Selamat datang kapolri baru!
Neta S Pane
Ketua Presidium
Indonesia Police Watch
(Kompas cetak, 1 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar