Salah satu instrumen negara yang mengubur kekuatan masyarakat, antara lain, penerbitan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Melalui UU inilah, kebebasan publik untuk mengorganisasi diri secara sukarela dan independen dibelenggu meskipun upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Kedigdayaan masyarakat ternyata tidak dapat dipadamkan dengan mudah. Hal itu terbukti dengan suburnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang "bergerak di bawah tanah" pada rezim otoriter yang sangat berkuasa.
Perilaku otoritas politik yang memonopoli kekuasaan dan kebenaran telah mengakibatkan luka batin yang mendalam serta trauma politik yang terekam kuat dalam kenangan publik. Memori semacam itu, secara teknis disebut memori statik. Ia adalah ingatan bermuatan kesumat dan siap meledak, baik dalam bentuk perlawanan maupun pembangkangan politik. Padahal, kenangan yang sarat dengan penderitaan masa lalu selalu dapat ditransformasikan menjadi ingatan memuliakan kehidupan. Dengan syarat, ingatan tersebut menjanjikan harapan kehidupan yang lebih baik.
Kenangan itu bersifat dinamis, biasa disebut memoria passionis. Berbagai peristiwa dalam sejarah umat manusia dipadati kenangan pahit penuh dendam, tetapi selalu dapat menjadi tuntunan ke depan yang menjanjikan peradaban. Ingatan semacam itu mempunyai kekuatan menggerakkan (dinamis) menuju ke tataran peradaban yang lebih tinggi. Sebab, hanya memori yang memberikan optimisme yang pantas dikenang. Penderitaan yang berpengharapan dapat membangun modal sosial yang menjadi perekat dan ruh bagi bangsa dan negara.
RUU Ormas yang disajikan negara dewasa ini seharusnya dapat mengelola kenangan traumatis kolektif masa lalu menjadi kekuatan yang membangkitkan harapan masyarakat. Ironisnya, negara yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mengaku reformis dan mengalami bagaimana getirnya kelaliman rezim masa lalu seakan ingin memaksakan RUU yang dikhawatirkan publik menjadi bibit pemasungan kebebasan berserikat menjadi regulasi.
Pemaksaan terhadap RUU yang ditentang habis-habisan puluhan organisasi masyarakat, termasuk NU dan Muhammadiyah, hanya akan mengingatkan publik kepada memori statik yang berpotensi memantik dendam menjadi bara api yang sulit dipadamkan. Memaksakan putusan politik yang merusak memoria passionis adalah tahap awal cara negara menundukkan masyarakat secara absolut. Karena itu, penataan ormas seharusnya mengandung ruh yang menggairahkan publik menatap masa depan. Semakin negara ngotot memaksakan RUU Ormas, semakin keras kuat dugaan publik bahwa negara mempunyai agenda tersembunyi untuk menjadikan ormas sekadar aksesori demokrasi.
Sikap persisten otoritas politik yang ditunjukkan negara memberi kesan pengelola kekuasaan mengalami demensia kolektif. Akibatnya, negara menampakkan diri sebagai sosok yang kehilangan kompetensi kognitif serta gagap mengelola keterampilan dan kecerdasan sosial untuk melakukan negosiasi konstruktif yang membangkitkan ekspektasi dan dukungan publik. Indeks kecerdasan sosial mereka untuk berempati juga sangat rendah sehingga kukuh memaksakan regulasi yang dapat menggerogoti modal sosial yang dengan susah payah dibangun selama ini. RUU Ormas telah menjebak elite politik, selain masuk dalam wilayah sentimen publik, juga nyaris kehilangan kepercayaan kepada negara.
Tidak mengherankan kalau terjadi kerancuan RUU Ormas yang mencampuradukkan semua jenis organisasi, baik yang berbadan hukum, seperti yayasan (badan hukum tanpa anggota) dan perkumpulan (badan hukum berdasarkan keanggotaan), dengan organisasi yang tidak berbadan hukum (paguyuban, asosiasi profesi, dan sebagainya) ke dalam pengertian ormas. RUU Ormas pun mengakibatkan kekacauan kerangka hukum.
Seharusnya, RUU Ormas merupakan kesempatan yang sangat baik untuk meluruskan keteledoran dan tumpang tindih pengaturan yang telah berlangsung puluhan tahun. Elemen-elemen negara harus menggali lebih jauh sejarah agar tidak membangkitkan lagi memori yang membangkitkan kemarahan publik. Pengaturan RUU Ormas harus memperkukuh posisi masyarakat warga sebagai kekuatan demokratis yang menjadi penyeimbang dari kekuatan negara. Alasan untuk menertibkan ormas yang dianggap melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan publik tidak perlu diatur secara khusus dalam RUU Ormas. Sejumlah UU telah lebih dari cukup untuk memberikan sanksi kepada mereka.
J Kristiadi
Peneliti Senior CSIS
(Kompas cetak, 2 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar