Satu tahun pemerintahan Mursi menandai kegagalan pelembagaan hasil-hasil gerakan rakyat 25 Januari 2011. Pemerintahan baru Mesir mengemban amanat untuk mewujudkan cita-cita gerakan rakyat tersebut.
Namun, satu tahun berlalu, tak ada tanda-tanda kehidupan Mesir baru yang dicita-citakan itu akan terwujud. Sebaliknya, Mesir di bawah pemerintahan Mursi terus diwarnai gejolak politik, impitan ekonomi, keterpecahan masyarakat, isu diskriminasi, "ikhwanisasi" lembaga-lembaga negara, dan kecurigaan masih kuatnya agenda transnasional kelompok penguasa.
Demokrasi versus revolusi
Menyikapi hal itu, para elite politik dan rakyat Mesir seperti terbelah. Satu pihak menginginkan proses demokrasi harus tetap dihormati. Proses demokrasi harus tetap menjadi penentu pergantian kekuasaan. Adanya cara lain dalam merebut kekuasaan, seperti pengerahan massa seperti sekarang ini, bisa menimbulkan preseden sangat buruk bagi kehidupan bernegara negeri itu pada waktu-waktu mendatang.
Karena itu, mereka menurunkan massa gabungan beberapa kelompok Islamis (kecuali dari kelompok al-Nur/Salafi) sebagai tandingan terhadap gerakan oposisi yang menuntut Mursi mundur. Mereka mengusung slogan membela legitimasi presiden sebagai hasil demokrasi yang sah dan membela konstitusi. Dua hal itu, bagi mereka, merupakan garis merah yang tidak boleh disentuh melalui gerakan massa seperti sekarang. Itulah sesungguhnya prinsip demokrasi yang menjadi salah satu cita-cita revolusi rakyat 25 Januari.
Beruntung, konsentrasi gerakan kelompok ini berada di Masjid Rab'ah al-Adawiyah yang cukup strategis, tetapi terpisah dari arah Tahrir yang merupakan pusat gerakan oposisi. Penulis pernah tinggal di kawasan Rab'ah itu selama enam bulan. Masjid itu sejak dahulu tampaknya menjadi salah satu konsentrasi kegiatan kelompok Ikhwan.
Sementara kelompok-kelompok oposisi berpandangan, satu tahun sudah cukup memberikan penilaian terhadap pemerintahan yang mereka sebut sebagai "pemerintahan Mursid" ini. Bagi mereka, mempertahankan pemerintahan sekarang berarti membawa Mesir ke jurang keterpurukan yang semakin dalam. Karena itu, rakyat harus bergerak untuk menarik kembali kepercayaan mereka dari pemerintah yang jelas-jelas tidak kapabel.
Pengumpulan tanda tangan yang diklaim mencapai lebih dari 22 juta menunjukkan, gerakan ini memiliki legitimasi kuat untuk mewakili seluruh rakyat Mesir. Legitimasi itu, bagi mereka, lebih kuat daripada dukungan rakyat terhadap Mursi dalam Pemilu Presiden 2012. Bagi mereka, rakyat sudah terbukti menarik kembali kepercayaan mereka terhadap pemerintahan Mursi. Karena itu, mundurnya Presiden Mursi adalah solusi politik yang ideal bagi krisis yang mendera Mesir saat ini.
Keengganan Mursi menuruti tuntutan mereka membuat kelompok tersebut "memaksakan" revolusi jilid II. Maidan al-Tahrir dipandang sebagai jalan penyelesaian akhir terhadap persoalan ini. Para elite mereka terus membangun imajinasi bahwa pemerintahan Mursi tak ubahnya pemerintahan Mubarak yang sangat kuat dan menindas, padahal keduanya sama sekali berbeda.
Kompromi
Dengan pengerahan massa yang sama-sama dengan jumlah luar biasa besar dan "militan", akan sangat sulit ada pihak yang akan mencapai seluruh tujuannya. Keduanya harus rela melakukan kompromi atas keinginan masing-masing. Tidak seluruh keinginan mereka dapat tercapai. Waktu 48 jam yang diberikan tentara Mesir kepada pihak-pihak yang bertikai untuk mengambil kompromi politik tidak bisa dipandang main-main.
Meski demikian, untuk mencapai kompromi politik bukan perkara mudah sebab kedua kelompok sudah telanjur bergerak terlalu jauh di lapangan dengan jumlah massa yang sangat besar dan "militan". Psikologi massa dengan jumlah seperti itu sangat tidak mudah ditebak. Massa kedua kelompok tidak akan mudah dikendalikan di lapangan, apalagi kelompok oposisi yang tidak disatukan dalam satu kepemimpinan yang kuat.
Ngototnya kedua pihak dengan keinginan masing-masing bisa berakibat fatal: jumlah korban dalam skala besar, kehancuran demokrasi Mesir, dan lingkaran dendam yang tidak berkesudahan akan mewarnai generasi-generasi Mesir ke depan. Sungguh, itu adalah harga yang teramat mahal.
Ibnu Burdah Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(Kompas cetak, 4 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar