Pemberian uang cuma-cuma kepada orang miskin beberapa kali disajikan pemerintah selama hampir satu dekade terakhir. Bedanya, kontroversi bantuan langsung itu pada masa lalu terpaku pada kekagetan moral lantaran rakyat menyukai status miskin demi menerima proyek recehan. Sementara kontroversi kali ini berkutat pada rendahnya kesahihan data orang miskin di lapangan.
Gejala kesalahan data telah terindikasi sejak awal dipublikasikan pada tahun 2012. Pemerintah daerah di Aceh, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara telah menyampaikan keheranan atas pengurangan penerima beras untuk rakyat miskin (raskin) berbasis data kemiskinan terpadu dari Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Data terpadu
Kesalahan data waktu itu tertutupi lantaran pemerintah daerah yang kaya-kaya itu menambahkan proyek bantuan sosial bagi orang miskin di luar data BPS-TNP2K. Namun, kini borok telah terbuka lebar. Kesangsian atas data kemiskinan meruak. Bahkan, ada pemerintah daerah yang menunda dan membatalkan pembagian uang karena terbayang konflik dengan rakyat yang tidak kebagian kartu penerima bantuan.
Ironisnya, titik nadir kepercayaan justru mencuat saat data kumulasi rumah tangga dan individu miskin, baik laki-laki maupun perempuan miskin, tersaji secara gamblang di internet (http://bdt.tnp2k.go.id). Tinggal klik untuk memunculkan informasi hingga sedetail kecamatan. Ditambah pula fasilitas peta dan grafis untuk tiap kriteria kemiskinan. Orang miskin dihitung menurut rendahnya kepemilikan rumah, jumlah anggota rumah tangga, dan status pekerjaan.
Sayang, kini telah diketahui kelemahan fatal, yaitu luput menyediakan data tervalidasi yang mutakhir. BPS menjelaskan bahwa sumber data bantuan langsung awalnya diperoleh dari 40 persen rumah tangga dengan skor terendah berbasis Sensus Penduduk 2010.
Super dinamis
Sensus ke rumah tangga terbawah lalu dilakukan pada tahun 2011. Selanjutnya, TNP2K menyusun model untuk menentukan peringkat 10 persen, 20 persen, dan 30 persen rumah tangga terbawah seluruh Indonesia. Dan, seperti kita ketahui bersama, tahun berikutnya banyak pemerintah daerah mengajukan keberatan!
Keberatan akan data kemiskinan perlu diterima. Dalam suatu diskusi pada akhir November 2012, presentasi TNP2K mencuatkan, efektivitas bantuan bagi anak sekolah ternyata hanya 5 persen dari keseluruhan kebutuhan orang miskin. Data kemiskinan terpadu ciptaan TNP2K tersebut juga cuma mencakup sebanyak-banyaknya 30 persen orang miskin penerima raskin, uang cuma-cuma, dan jaminan kesehatan.
Dipaparkan pula, dalam setahun (kasus 2008 dan 2009) terdapat 53 persen penduduk miskin yang terentaskan. Sayangnya, kantong kemiskinan ganti diisi 22 persen penduduk yang semula hampir miskin (kategori 20-30 persen rumah tangga terendah) dan 5 persen penduduk yang semula tidak miskin (kategori di atas 30 persen rumah tangga terendah).
Perubahan data jatuh dan keluar dari kubangan kemiskinan tersebut super dinamis. Mudah dihitung, ketiadaan validasi tahunan menurunkan kesahihan data hingga 80 persen. Tak terbayangkan, pada tahun 2013 telah berselang dua tahun dari sensus orang miskin terakhir.
Validasi tahunan
Perlu pula dicatat, penghitungan tersebut menggunakan data hasil sensus orang miskin serupa saat ini. Adapun data kemiskinan lain yang lebih kerap dipublikasikan BPS berbasis survei sebagian rumah tangga menunjukkan penduduk miskin berkurang 1 persen antara 2008 dan 2009. Terlalu senjangnya hasil penghitungan antara perkiraan survei dan sensus yang lebih riil sebesar 23 kali lipat tersebut dapat memupus rapor hijau pengurangan kemiskinan pemerintah.
Anjloknya kesahihan data sensus orang miskin hanya dalam periode setahun menginformasikan lemahnya periode sensus tiga tahunan. Justru, pengumpulan data perlu dilakukan secara tahunan. Berdasarkan pengalaman pendataan di Indonesia, hal itu tidak bisa dilakukan melalui sensus dan survei oleh BPS karena berbiaya terlalu mahal. Sebaiknya tindakan tersebut menjadi tugas sehari-hari birokrasi pemerintah daerah dan pusat.
Selama berlangsungnya pemberian uang cuma-cuma tahun ini, sebetulnya terdapat panduan untuk memutakhirkan data melalui musyawarah di tingkat desa dan kelurahan. Namun, informasi itu terselip di antara ingar-bingar promosi bantuan langsung.
Lagi pula, tepat pada titik inilah pertentangan prasangka antara penganut validasi data internal versi BPS-TNP2K melawan penganut validasi data bersama pemerintah daerah. Kelemahan validasi internal disangkakan dari kisruh bantuan cuma-cuma tahun ini. Sementara di sisi lain, pemerintah daerah disangka menambah jumlah orang miskin alih-alih melakukan validasi data.
Seharusnya, pengalaman sejumlah pemerintah daerah dengan menambah bantuan sosial untuk menanggulangi kesalahan data BPS-TNP2K dapat memupus prasangka. Apalagi, jika validasi turut melibatkan pemerintah setingkat desa dan kelurahan yang kini masih efektif dikontrol Badan Permusyawaratan Desa dan Dewan Kelurahan sebagai wakil rakyat.
Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
(Kompas cetak, 4 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar