Saat ini, kekayaan intelektual itu dikelompokkan dalam delapan rezim perlindungan hukum, yaitu hak cipta, paten, merek, indikasi geografis, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan perlindungan varietas tanaman. Di antara delapan rezim itu, patenlah yang selalu dikedepankan banyak negara di dunia karena dianggap memiliki dampak terbesar bagi peningkatan daya saing bangsa.
Paten, yang merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada inventor atas hasil temuannya berupa proses dan produk teknologi, memang memiliki posisi berbeda dibandingkan tujuh rezim lainnya. Sebab, pada paten tersirat teknologi atas suatu invensi yang sulit penguasaannya.
Ini menjadi kekuatan negara maju, yang memiliki sarana— berupa dana dan fasilitas riset memadai untuk mendorong terciptanya invensi. Sementara itu, negara berkembang seperti Indonesia, karena berbagai kendala, terbatas dalam perolehan paten.
Tidak mengherankan bila selama ini paten terbanyak dimiliki penemu dari negara-negara maju. Menurut data Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ada sekitar 34.000 paten terdaftar. Hampir 95 persen merupakan paten asing.
Berbagai kendala
Berdasarkan data lembaga paten asing, misalnya United States Patent and Trademark Office (USPTO), pada 2010 paten dari Indonesia hanya enam, sedangkan dari Jepang mencapai 44.811. Sangat tak sebanding. Minimnya perolehan paten oleh bangsa Indonesia antara lain karena ketidakmampuan peneliti memenuhi kebutuhan industri, ketiadaan insentif riset hingga pendaftaran paten dan perlindungannya di lembaga HKI, serta tidak adanya mekanisme pembiayaan dan komersialisasi paten.
Dari jumlah paten domestik yang kecil itu pun nyaris tidak ada yang dibeli industri sehingga tidak ada pemasukan bagi penemu dan lembaga riset tempatnya bekerja. Sebaliknya, memelihara paten agar tetap terlindungi selama 20 tahun justru menguras dana sangat besar. Dalam kondisi seperti itu, memiliki paten justru menimbulkan kerugian secara finansial dan menjadi beban bagi lembaga riset.
Data Ditjen HKI menunjukkan, dari 7.490 paten yang perlindungannya dibatalkan demi hukum (BDH) ada 79 paten milik lembaga dan individu di dalam negeri. Meski sedikit jumlahnya, untuk mempertahankannya perlu biaya pemeliharaan miliaran rupiah. Menghadapi masalah itu, pemilik paten perlu mempertimbangkan keberlanjutan pemilikan hak patennya agar tidak menanggung kerugian lebih besar lagi. Apabila paten memang tidak berpotensi ekonomis hingga tidak diminati industri alias "tidur" dalam waktu sekian lama, sebaiknya paten dilepaskan saja menjadi domain publik.
Sebagian besar paten asing yang dibiarkan hingga BDH diyakini tak lagi memiliki prospek kemanfaatan dan kebaruan lagi. Pendaftaran paten asing yang tak berprospek ekonomi itu boleh jadi bertujuan sekadar mengangkat citra negara di mata dunia sebagai bangsa yang mampu menguasai teknologi dan inovasi.
Sesungguhnya, di manakah kekuatan terbesar daya saing negara maju dalam bidang HKI? Untuk memenangi persaingan di bidang industri dan perdagangan produk dan jasa, rezim yang lebih banyak dipilih adalah rahasia dagang. Rezim ini melindungi kekayaan intelektual mereka dari upaya peniruan oleh pihak pesaing sehingga mereka dapat tetap unggul. Pada rezim HKI tersebut, informasi yang dilindungi kerahasiaannya meliputi metode produksi, metode pengolahan, dan metode penjualan. Rahasia dagang memproteksi informasi itu tanpa batas waktu. Beda dengan paten selama 20 tahun.
Keunggulan komparatif
Melihat berbagai kendala yang membelenggu para penemu di Indonesia dan begitu jauhnya kesenjangan perolehan paten saat ini, tampaknya sangat sulit, bahkan tak mungkin, bagi mereka untuk mengatasi ketertinggalan dari para penemu di negara maju. Paten domestik memang tidak dapat diabaikan dan tetap perlu diupayakan peningkatannya karena menjadi salah satu indikator indeks daya saing bangsa.
Namun, Indonesia masih memiliki "senjata" lain untuk menaikkan daya saing berbasis HKI. Dalam hal ini, Indonesia justru harus lebih memperhatikan rezim HKI yang memiliki keunggulan komparatif, yaitu kekayaan seni budaya dan sumber daya hayati yang dimilikinya. Maka, pilihan mestinya jatuh pada indikasi geografis dan perlindungan varietas tanaman. Mengapa demikian? Karena pada dua rezim itulah Indonesia memiliki kekayaan intelektual yang terbesar.
Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu produk. Faktor lingkungan geografis, termasuk faktor manusia, dapat memberikan ciri dan kualitas tertentu pada produk yang dihasilkan. Selain perlindungan indikasi geografis dikenal pula indikasi asal dan jaminan keistimewaan tradisional. Ketentuan ini menetapkan hanya produk tertentu yang boleh menggunakan nama tempat asal pembuatannya. Oleh karena itu dapat melindungi kekayaan tradisional dan alam Indonesia.
Adapun Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) merupakan hak kekayaan intelektual yang diberikan kepada pemulia tanaman atau pemegang PVT untuk melakukan perbanyakan tanaman melalui benih atau jaringan biakan dan bahan panen, seperti bunga, buah, dan daun dalam jangka waktu tertentu.
Pemanfaatan indikasi geografis dan perlindungan varietas tanaman ini mestinya dapat meningkatkan kesejahteraan petani, para perajin, dan masyarakat di Indonesia. Sebab, produk yang memiliki indikasi geografis sangat beragam dihasilkan daerah-daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Namun, rezim HKI itu ternyata belum banyak mendapat perhatian publik. Ditjen HKI hanya mencatat 19 indikasi geografis terdaftar, misalnya untuk produk kopi arabika yang berasal dari Kintamani, Gayo, Flores-Bajawa, dan Kalosi-Enrekang. Indikasi geografis yang didaftar terakhir adalah ubi cilembu Sumedang.
Pada saat bangsa Indonesia mengabaikan kekayaan tradisional dan alamnya, bangsa lain justru gencar memburu dan menyerobot. Kasus akuisisi yang muncul antara lain reog Ponorogo. Di Belanda pun muncul produk bernama Mandailing Coffee. Sementara itu di bidang obat dan makanan; tempe, buah mengkudu, dan berbagai jenis jamu juga telah didaftarkan atas nama asing. Perburuan keragaman hayati di Indonesia juga dilakukan para peneliti asing dengan berbagai cara, baik secara legal maupun ilegal dengan mencurinya.
Untuk itu, dalam era pasar bebas di kawasan ASEAN pada 2015, Indonesia perlu segera mengeluarkan peraturan dan mekanisme perlindungan kekayaan intelektualnya sehingga dapat memberi kesejahteraan sebesar-besarnya bagi warganya.
(Kompas cetak, 13 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar