Bandingkan jumlah paten dalam negeri itu dengan paten dari luar negeri yang jauh lebih masif. "Gempuran" paten dari luar negeri yang didaftarkan di Indonesia terus meningkat. Tahun 2009 ada 4.145 permohonan paten asing, tahun berikutnya meningkat menjadi 5.035 permohonan, tahun 2011 (5.432), dan tahun 2012 (6.212). Hal itu mengindikasikan bahwa pasar domestik Indonesia saat ini, khususnya terkait produk-produk teknologi, praktis "dijajah" pihak asing.
Di kancah internasional, Indonesia juga tergolong "miskin" paten internasional. Paten internasional adalah hak paten yang didaftarkan ke negara lain.
Tahun 2010, Indonesia hanya memiliki 15 paten internasional, sedangkan Malaysia dan Singapura masing-masing mendaftarkan 302 paten dan 637 paten. Jepang? Lebih dahsyat lagi. Tahun 2010, Jepang memperoleh 32.156 paten internasional.
Sejauh ini, Indonesia juga telah meratifikasi perjanjian internasional tentang paten yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 yang bisa memberikan sejumlah kemudahan dalam proses pengakuan paten yang ditemukan anak negeri. Sejumlah paten yang dikenal dan diterima baik di dunia internasional di antaranya konstruksi fondasi "cakar ayam" temuan Prof Sedijatmo dan teknik memutar lengan jalan layang "Sosrobahu" temuan Tjokorda Raka Sukawati.
Memang, selepas kedua nama paten tersebut, relatif sedikit temuan paten dari dalam negeri yang dikenal publik secara luas. Sejumlah persoalan ditengarai menjadi penyebab rendahnya jumlah pemohon paten di Indonesia. Di sisi lain, ada kondisi kesadaran masyarakat Indonesia untuk mematenkan karya yang terbilang rendah. Padahal, serpihan inovasi sebenarnya terserak di berbagai pelosok negeri.
Mengacu pada kategori paten yang ada, pengajuan paten tak harus merupakan teknologi tinggi yang rumit dan canggih. Ada pula kategori paten sederhana yang lebih bersifat menemukan kemudahan proses, yang sebenarnya banyak dijalankan di masyarakat. Dalam diskusi tentang paten, terungkap pula ada indikasi kultural di mana sebagian penemu di Indonesia justru tak terlalu peduli dengan dampak komersial dan hukum dari hak paten.
Jumlah peneliti yang masih relatif sedikit dan anggaran penelitian yang terbatas di sejumlah lembaga menjerat sejumlah langkah inovasi anak negeri. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah peneliti saat ini "hanya" sekitar 8.000 orang, sedangkan pengajar di lembaga perguruan tinggi negeri dan swasta sekitar 160.000 orang. Angka ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk Indonesia yang tercatat 238 juta jiwa.
Persentase anggaran penelitian pun terbilang minim. Tercatat hanya sekitar 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Jumlah itu masih jauh dari angka ideal yang disarankan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO), yakni sebesar 2 persen dari PDB.
Kendala prosedural
Persoalan lain yang menghadang kelancaran dalam inovasi teknologi dan pematenan adalah soal-soal teknis prosedural. Lama waktu pengurusan paten hingga memperoleh sertifikat paten di Indonesia dalam praktiknya bisa mencapai 5-8 tahun, terutama akibat proses-proses verifikasi ilmiah. Itu jauh lebih lama dibandingkan dengan proses pengajuan paten di Amerika Serikat, Jepang, China, dan Singapura yang rata-rata menyelesaikan paten dalam waktu 2-3 tahun.
Biaya pengurusan paten juga relatif mahal, total Rp 6 juta lebih dalam kurun lima tahun. Angka itu bisa menjadi Rp 76 juta untuk kurun 20 tahun pemeliharaan paten. Biaya muncul sebagai konsekuensi pencatatan dan verifikasi paten oleh negara.
Biaya itu jelas memberatkan bagi peneliti, apalagi jika paten yang didaftarkan ternyata tak memiliki sisi komersial, alias semata memenuhi syarat kepangkatan dalam dunia birokrasi. Bandingkan biaya paten ini dengan biaya pengurusan merek yang hanya Rp 600.000 per merek.
Lihat pula sisi kurangnya penghargaan bagi inventor. Dari paten yang berhasil dikomersialkan dan digunakan khalayak, keuntungannya tidak masuk ke inventor, tetapi menjadi penerimaan negara bukan pajak institusi, baik perguruan tinggi maupun lembaga lain. Cara itu jelas tidak membuat peneliti termotivasi untuk kreatif karena tidak ada insentif yang bisa didapat.
Hal ini terkait fakta bahwa mayoritas pemohon paten dalam negeri adalah lembaga riset, baik yang berasal dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian pemerintah. Sementara paten yang diajukan pihak swasta atau industri relatif kecil. Sebagai contoh, lembaga yang banyak memohonkan paten hingga tahun 2010 adalah Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan 158 paten, diikuti Kementerian Pertanian 127 paten, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 106 paten, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) 86 paten, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dengan 53 paten.
Penetapan paten
Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi. Paten diberikan untuk jangka 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang. Setelah jangka waktu itu selesai, invensi menjadi milik publik. Siapa pun bebas menggunakan penemuan itu untuk dimanfaatkan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merupakan lembaga terbanyak yang membukukan hak paten atas hasil temuannya. Hingga tahun 2012, capaian lembaga itu tercatat 296 paten. Dari jumlah tersebut, 55 persen di antaranya masih berstatus paten terdaftar dalam proses, sedangkan yang sudah tersertifikasi baru 24 paten.
Sementara dari pihak swasta, antara lain PT Martina Berto Tbk yang mengajukan permohonan 36 paten, 8 paten dikabulkan dan sisanya masih dalam proses.
Secara historis, peraturan perundangan bidang paten di Indonesia telah ada sejak tahun 1910 saat pemerintahan kolonial Belanda mengundangkan UU Paten. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works sejak tahun 1914.
Pada zaman pendudukan Jepang, semua peraturan perundangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.
Saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, UU Paten tidak berlaku karena dianggap bertentangan dengan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di negeri Belanda.
Meski UU Paten disahkan pada tahun 1989, paten baru berlaku efektif di Indonesia tahun 1991. Pengesahan tersebut mengakhiri perdebatan panjang tentang pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Dalam pertimbangan UU Paten 1989 disebutkan, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberi perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi.
Bagaimanapun, paten adalah kebutuhan sangat penting bagi bangsa Indonesia yang sedang dalam sejumlah proses pembangunan. Lebih penting lagi, inovasi-inovasi yang dipatenkan bisa diproduksi massal untuk dimanfaatkan publik. (DWI ERIANTO/Litbang Kompas)
(Kompas cetak, 13 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Secara hipotesis, kemungkinan terjadinya penyalah gunaan sertifikat HKI juga ada bukan?
BalasHapusMisalnya, seseorang mengaku sebagai inventor dari modifikasi suatu invensi sebelumnya yang sudah menjadi milik publik. Di permukaan, hal ini tampak sah-sah saja, bahkan mungkin malah harus digalakkan karena kalau tidak, invensi Wright bersaudara mengenai "powered flight" tidak akan berkembang menjadi pesawat terbang modern masa kini.
Tetapi, bagaimana kalau invensi yang diakui sebagai 'modifikasi' tersebut mengandung klaim yang rancu dibandingkan dengan invensi aslinya, sehingga digunakan untuk menuntut siapa saja yang mau menggunakan maupun mengembangkan invensi asli yang sudah milik umum tersebut?
Mohon komentarnya.