Paten menjadi bagian dari hak kekayaan intelektual dengan kepemilikan personal yang dilindungi negara maksimum 20 tahun. Perlindungan itu untuk mendorong penemu atau inventor membuka pengetahuan-pengetahuan baru melalui hasil temuannya demi kemajuan masyarakat.
Paten membantu masyarakat berkembang dengan pengetahuan-pengetahuan baru untuk memajukan kehidupan dan kesejahteraan. Paten semestinya juga menumbuhkan daya saing kolektif bangsa. Sayangnya, tak selamanya paten optimal.
Bagi kalangan akademisi, sebagian paten diraih semata untuk mencapai angka kredit kenaikan jenjang kepangkatan. Begitu pula bagi para peneliti pegawai negeri sipil. Keluaran hasil risetnya berupa paten juga lebih kurang sama, yaitu untuk akumulasi angka kredit kenaikan pangkat.
Itu semua tidak salah. Bahkan, bisa-bisa menjadi suatu kesalahan ketika inventor tetap berpijak pada status kepegawaiannya dan terus mengupayakan komersialisasi patennya. Keluar dari birokrasi, lalu mengomersialkan paten pun akhirnya bisa dimengerti.
Inventarisasi kendala
Harapan besar terhadap paten yang menopang daya saing bangsa tak luput dari kendala. Dua lembaga riset pemerintah, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengalaminya.
Jumlah paten relatif sedikit, apalagi jumlah paten yang berhasil dikomersialkan. Di antaranya disebabkan minimnya jumlah peneliti dibandingkan di negara-negara maju.
Perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di Indonesia mencapai 205 peneliti dari setiap 1 juta jiwa. Persentase anggaran untuk kegiatan riset yang merangsang penerapan paten bisa maksimal biasanya didominasi swasta. Namun, di Indonesia masih didominasi pemerintah yang mencapai 81,1 persen, swasta 14,3 persen, pendidikan tinggi 4,6 persen.
Negara tetangga yang lebih maju, seperti Singapura, memiliki persentase anggaran riset pemerintah 10,4 persen, swasta 65,7 persen, dan pendidikan tinggi 23,9 persen. Di Malaysia, anggaran pemerintah 10,4 persen, swasta 71,5 persen, dan pendidikan tinggi 18,1 persen.
Di Indonesia, periset pada institusi pemerintah tak didukung mekanisme pemberian royalti atau keuntungan. Pemerintah tak punya peraturan perjanjian lisensi dan mekanisme penerimaan serta penggunaan royalti dari hasil komersialisasi paten.
Tidak diciptakan sistem bisnis berbasis paten. Ini yang menimbulkan sejumlah paten menjadi tak komersial. Tak ada pula sistem pemasaran atas produk-produk paten sebagai hak kekayaan intelektual itu. Paten menjadi kurang terhubung dengan industri.
Bahkan, tidak ada pula mekanisme penggunaan royalti atas paten untuk biaya pemeliharaan. Direktur Paten pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memiliki catatan tagihan biaya pemeliharaan 72 paten atas nama BPPT per tanggal 7 Maret 2003 sebesar Rp 1,5 miliar. Adapun alokasi dana yang disediakan tahun 2013 hanya Rp 125 juta. Tahun 2014 diajukan kenaikannya menjadi Rp 700 juta, hanya untuk biaya pemeliharaan paten.
Pemerintah yang punya kewenangan soal paten, dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, tak menutup mata atas sejumlah kendala tersebut. Institusi pemerintah pun berbenah. Demi membudayakan paten, lembaga pemerintah ini memberi insentif gratis pendaftaran paten. Mereka juga akan membantu penelusuran paten supaya hasil kegiatan riset tidak menduplikasi riset orang lain.
Direktorat ini juga menunjang informasi pemanfaatan paten kedaluwarsa yang menjadi milik publik, yaitu teknologi yang memasuki batas masa pemeliharaan paten 20 tahun. Atau, paten teknologi yang sudah tak lagi dirawat dengan biaya pemeliharaan setiap tahun.
Kompleksitas
Kompleksitas masalah akan dihadapi ketika ingin menyatukan kepentingan pengembangan produk yang dipatenkan dengan pengembangan komersialisasinya. Para peneliti yang memutuskan keluar dari birokrasi pemerintah, lalu mengomersialkan patennya, harus ditopang idealisme yang kuat.
Para peneliti itu sudah melampaui proses meneliti dan memperoleh paten yang tak mudah. Lalu, keinginannya biasanya tidak berhenti hanya pada satu paten. Seorang peneliti selalu tertarik mengembangkan inovasi- inovasi baru.
Demi mewujudkan inovasi baru, dibutuhkan tahapan komersialisasi paten. Ketika bertahan sebagai peneliti berstatus pegawai negeri, tidak mudah menempuh inovasi baru itu.
Sistem paten belum mampu mendorong kreativitas dan mendatangkan dampak ekonomi. Kewenangan institusi riset pemerintah mengomersialkan hasil penelitian yang sudah memperoleh paten hingga kini juga belum jelas. Biaya pemeliharaan paten justru membebani institusi.
Contohnya seperti di BPPT, dengan tagihan pemeliharaan paten Rp 1,5 miliar. Di sisi lain, periset terus didorong mengajukan paten atas karyanya.
Paten memang memiliki kekuatan strategis. Mengacu UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, di dalam paten ada invensi baru berupa ide yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi. Ide itu dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan suatu produk atau proses yang sudah ada. Di kalangan periset lembaga pemerintah, pengembangan paten justru terjadi ketika mereka mundur dari birokrasi.
(Kompas cetak, 13 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar