Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 Agustus 2013

Tanda Tanya Paten Indonesia (Kompas)

Tanggal 24 Juli 2013, harian "Kompas" mengadakan diskusi panel bertema "Hak Paten untuk Menumbuhkan Daya Saing Bangsa". Diskusi yang membedah persoalan, peluang, dan tantangan paten tersebut menghadirkan pembicara: Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M Ramli, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Dr Marzan A Iskandar, pengajar pada Institut Teknologi Bandung Dr I Gede Wenten, pengusaha Martha Tilaar; dimoderatori pengajar pada Universitas Padjajaran, Miranda Risang Ayu PhD. Sebagai penanggap Ketua Masyarakat dan Ilmuwan Teknologi Indonesia Warsito P Taruno, Deputi Bidang Jasa Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr Fatimah Zulfah S Padmadinata, Staf Ahli Bidang Teknologi Pertahanan dan Keamanan Kemristek Teguh Rahardjo, serta Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan Kemenko Perekonomian Edy Putra Irawady. Laporan dirangkum wartawan "Kompas", Gesit Ariyanto, Yuni Ikawati, dan Nawa Tunggal, serta Dwi Erianto dari Litbang "Kompas".
—————————————————————
 

Dari aspek kesejarahan, kesadaran individu, peneliti, maupun penemu untuk mendaftarkan temuannya agar memperoleh hak paten adalah jejak ratusan tahun. Di Indonesia, bagaimana sebenarnya wajah paten itu?
Mengacu pemberitaan media, pemahaman publik mengenai hak paten masih tumpang tindih atau campur aduk dengan beberapa hal, di antaranya hak cipta dan ekspresi budaya tradisional. Indikasinya, tak jarang muncul ungkapan "patenkan batik", "patenkan tari", "patenkan tempe", atau "patenkan seni tradisi". Bahkan, lagu "Rasa Sayange" dan reog Ponorogo pun sempat "hendak dipatenkan", ketika tahun 2007 ada klaim kepemilikan oleh Malaysia.

Secara umum, hak paten merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada penemu atas hasil temuannya di bidang teknologi untuk waktu tertentu. Di Indonesia, hak paten berjangka waktu 20 tahun yang melekat sejak didaftarkan.

Adapun hak cipta melekat otomatis pada penciptanya begitu karyanya dikenalkan kepada publik, tak perlu didaftarkan kepada otoritas negara. Untuk ekspresi budaya tradisional, seperti berbagai karya seni tradisi, negara adalah pemegang hak ciptanya. Di sini, inventarisasi kekayaan budaya dan ekspresi tradisi Tanah Air menjadi sangat penting sebagai pijakan klaim bila suatu waktu terjadi sengketa.

Kembali ke paten, temuan bisa dipatenkan bila terkait teknologi baru. Temuan itu bisa diproduksi massal secara industri dan belum pernah diungkap kepada publik/dipublikasikan. Jadi, sebelum paten didaftarkan, pastikan karya itu belum dikenalkan apalagi diproduksi.

Hak ekonomi
Secara lugas, hak paten sebenarnya hak ekonomi. Sebagai sebuah temuan, pengaju/pemohon paten wajib membayar pendaftaran. Itu belum cukup karena pengaju atau pemohon itu wajib membayar iuran tahunan yang bila ditotal mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Artinya, siapa pun pemilik sertifikat paten harus siap menanggung beban biaya besar begitu mengajukan paten hingga hak eksklusifnya hilang (kedaluwarsa). Tanpa komersialisasi temuan, sertifikat paten menjadi "tali pencekik leher".

Secara hukum, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berhak membatalkan hak paten lokal maupun asing yang didaftarkan di Indonesia bila pemegang sertifikat melupakan kewajibannya. Pembatalan dilakukan melalui serangkaian peringatan tertulis. Begitu dibatalkan, seluruh hak eksklusifnya hilang dan siapa saja boleh meniru habis-habisan. Sementara itu, pemegang sertifikat tetap harus membayar biaya pemeliharaan hingga tahun pembatalannya diberlakukan.

Sebagai gambaran, tahun ini Ditjen HKI menyurati 7.490 pemegang sertifikat paten, yang 79 di antaranya pemegang paten lokal. Total tunggakan tagihan biaya pemeliharaan per tahun dari seluruh pemegang sertifikat paten Rp 149 miliar! Uang itu potensi pemasukan bagi negara.

Di antara pihak-pihak yang harus membayar tagihan adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Kementerian Riset dan Teknologi. Besaran tagihan Rp 1,5 miliar sesuai surat per Maret 2013. Tagihan itu beban biaya pemeliharaan 72 sertifikat paten yang didaftarkan periode 1996-2012. Tagihan serupa juga diterima Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan besaran jumlah yang berbeda.

Fakta adanya tagihan pemeliharaan pada lembaga riset itu ironis. Lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi hendaknya berkontribusi besar dan nyata melalui aplikasi teknologi yang memberi solusi pada permasalahan bangsa dan masyarakat. Memang ada persoalan regulasi yang kurang memotivasi periset untuk berkarya lebih total, seperti ketidakjelasan persentase royalti yang diterima periset dari temuannya yang dikomersialkan. Namun, upaya penyelesaian persoalan itu terbilang sangat lambat.

Bertahun-tahun lewat, isu relasi lembaga riset dan industri tak beranjak dari persoalan nirkoneksi tema riset dengan kebutuhan industri. Padahal, begitu banyak persoalan yang bisa diselesaikan melalui kolaborasi riset-bisnis yang solid.

Adapun yang terjadi, lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi asyik dengan diri sendiri. Ditambah kebijakan pemerataan penerima dana riset, maka tidak ada penuntasan riset. Setiap peneliti punya tujuan sendiri, yang hampir pasti tak akan tercapai dengan sistem penelitian terputus dan jumlah dana cekak.

Sudah bertahun-tahun perkembangan dunia bisnis Tanah Air didominasi industri perakitan atau manufaktur dengan basis riset di luar negeri. Lengkaplah sudah masyarakat Indonesia menjadi pasar sangat menggiurkan bagi dunia usaha, di mana di antaranya digerakkan lembaga dan periset-periset asing. Dengan kata lain, penikmat ekonomis paten adalah lembaga riset dan periset asing.

Padahal, dari sisi potensi sumber daya alam, Indonesia adalah negara ketiga di dunia dengan kekayaan keanekaragaman hayati. Bahkan, Indonesia tergolong terkaya keanekaragaman hayatinya bila memasukkan unsur perairan. Ditambah kepandaian manusia, kekayaan itu seharusnya membawa kesejahteraan bangsa Indonesia.

Salah satu negara yang menyadari potensi besar Indonesia, kekayaan alam dan sumber daya manusianya, justru Jepang. Ribuan pelajar-periset Indonesia belajar di Jepang atas biaya pemerintah atau lembaga swasta Jepang. Mereka dimanjakan alat, buku, dan dana untuk mengakses obyek penelitian. Hasilnya, paten-paten mereka menjadi milik Pemerintah Jepang, lalu produknya dijual ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Inilah ironisme berikutnya.

Satu di antara segelintir entitas bisnis milik anak bangsa berbasis riset sumber daya alam di Indonesia adalah produsen jamu, kosmetika, dan penunjang kecantikan berbahan alam PT Martina Berto Tbk. Mereka dengan sadar menggali-kembangkan potensi tumbuhan alam Indonesia untuk diolah melalui serangkaian pengembangan riset. Pusat inovasi mereka, Martha Tilaar Innovation Centre (MTIC), dikembangkan bekerja sama dengan lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi dalam negeri maupun asing.

Hasilnya, sejumlah paten mereka peroleh. Puluhan sisanya dalam proses verifikasi. Semuanya bermuara pada satu hal: komersialisasi.

Peran pemerintah
Di tengah dunia paten dalam negeri yang "muram" ini, sebenarnya ada jalan yang bisa ditempuh pemerintah, yakni mendorong pemanfaatan paten-paten kedaluwarsa atau lebih dari 20 tahun. Seluruh data paten lokal, asing, maupun paten lain di dunia berada di Ditjen HKI.

Semua temuan berpotensi baik dan dibutuhkan khalayak bisa diproduksi. Bahkan, pemerintah bisa mempercepat masa kedaluwarsa sebuah paten menjadi 18 tahun bila memang benar-benar mendesak bagi khalayak. Atau, memaksa pemegang paten agar produknya dibolehkan diproduksi massal atas dorongan pemerintah. Caranya, melalui peraturan presiden.

Itu yang dilakukan pada obat antiviral dan antiretroviral yang biasa digunakan dalam terapi hepatitis dan HIV. Paksaan pemerintah itu adalah agar obat-obatan yang bermanfaat bagi orang banyak itu bisa diproduksi massal dan diakses dengan harga lebih murah. Pihak pemegang sertifikat paten akan menerima royalti 0,1 persen dari total keuntungan.

Bagi perguruan tinggi, selain berkutat dengan penelitian dan penemuan baru, juga bisa berperan langsung mengidentifikasi persoalan di tengah masyarakat yang mendesak dicarikan jalan keluarnya. Terkait pengobatan, misalnya, jurusan farmasi dan kedokteran bisa berkoordinasi dengan Ditjen HKI soal penanganan penyakit tertentu. Lalu, Ditjen HKI membuka akses paten-paten obat yang bisa diakses demi pengobatan yang lebih murah, melalui mekanisme "paksaan" tadi.

Dengan kata lain, banyak manfaat paten di luar berbagai permasalahan yang ada. Namun, semua itu butuh kerja keras dan kepemimpinan kuat.

Saat ini, di tengah negara-negara maju seperti Jepang yang memiliki visi-misi tajam dan terarah tentang pemanfaatan paten, Indonesia masih berkutat dengan permasalahan regulasi, beban biaya pemeliharaan, bahkan pengertian paten. Pada saat bersamaan, kekayaan sumber daya alam terus tergerus dan merosot, baik kuantitas maupun kualitasnya.

(Kompas cetak, 13 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger