Saat ini di tengah kalangan akademisi, praktisi pemerintahan, dan bahkan masyarakat luas berkembang wacana bahwa kehadiran negara-bangsa di mana pun dari sudut waktu, didahului oleh kehadiran pemerintah daerahnya.
Jadi, usia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih muda daripada pemda-pemda yang ada, bahkan dengan desa-desa yang hidup di bumi Nusantara. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebelum merdeka telah ada masyarakat kita dengan corak pemerintahan lokal khas masing-masing.
Realisme-positivisme
Pendapat ini banyak memengaruhi proses nation-building Indonesia yang sedang dalam masa pembenahan sejak reformasi. Jika tak ditempatkan pada pemahaman yang tepat, dapat jadi faktor pemicu kerenggangan hubungan pusat-daerah dan hubungan antardaerah sehingga nation-building menjadi berisiko. Bertepatan dengan peringatan kemerdekaan ke-68 RI, sangat penting kita renungi hal ini.
Sejarah, budaya, dan demografi memperlihatkan bahwa sudah sejak berabad-abad silam masyarakat bangsa Indonesia telah ada dan berdiam di tempat yang terletak di antara dua benua dan dua samudra. Sejarah membuktikan pola pengaturan sebagai sebuah bangsa bervariasi dalam kurun waktu yang amat panjang. NKRI hadir menjadi penyumbang variasi.
Satuan-satuan masyarakat Indonesia yang ada sejak berabad silam sering kali dihadap-hadapkan dengan eksistensi NKRI tanpa melihat prosesnya. Terdapat kesan bahwa satuan masyarakat tersebut hadir lebih awal daripada NKRI. Logika inilah yang populer berkembang di tengah masyarakat kita. Logika ini dikenal sebagai logika realisme.
Sebagai contoh, para penganut logika realisme mengakui, pemerintah daerah Aceh dalam negara-bangsa Indonesia lahir lebih dahulu daripada NKRI karena adanya Kesultanan Aceh yang telah berdiri sejak lama. Begitu pun yang berlaku bagi masyarakat lain di bumi Indonesia.
Logika itu tentu tak sepenuhnya keliru, tapi fakta bahwa proses pembentukan NKRI didahului oleh peleburan masyarakat bangsa Indonesia juga terjadi. Dalam logika imajiner (Favell, 2003) hal ini sangat dimungkinkan. Terjadi peleburan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi sebuah negara bangsa.
Logika imajiner ini acap kali disebut dengan logika legal-positivisme atau positivisme. Dalam hal ini, hadirnya negara-bangsa adalah penyebab lahirnya pemerintahan daerah jika menjalankan desentralisasi. Sebaliknya, negara-bangsa yang tidak menjalankan desentralisasi tak akan ada pemerintahan daerah di negara tersebut, seperti Singapura. Di dalam pemerintahan, Singapura tidak tersusun atas pemerintahan daerah.
Namun, hampir semua negara-bangsa di dunia menjalankan desentralisasi sehingga pemerintahan daerah seolah menjadi keharusan dalam praktik negara- bangsa (Hoessein: 1980). Persoalan yang muncul, sering kali terdapat kerancuan melihat kehadiran pemerintahan daerah dalam sebuah negara-bangsa, terlebih di Indonesia.
Kerancuan tersebut bahkan akhirnya membawa ke arah pemahaman bahwa pemerintah daerah setara, bahkan seolah superior terhadap pemerintah pusat dalam konteks NKRI. Akibatnya, otonomi daerahlah yang harus diutamakan, sedangkan kedaulatan nasional tidak perlu dirawat secara serius, bahkan otonomi daerah seolah-olah harus menjadi kedaulatan.
Pencerahan
Di sebagian masyarakat maju, pertalian realisme-positivisme telah berjalan sinergis di mana hak memisahkan diri dari negara-bangsanya pun diatur dalam konstitusinya. Ini berbeda dengan di negara-negara berkembang. Memang, idealnya kedua logika realisme-positivisme bersanding dipahami oleh setiap elemen bangsa tanpa saling menyalahkan.
Kesuburan legal-positivisme akan terjaga jika logika realisme dirawat untuk mengobarkan semangat kebangsaan dan partisipasi dalam negara-bangsa sehingga nation-building menjadi efektif. Dalam hal ini demokrasi nasional adalah prasyarat. Oleh karena itu, untuk membenahi otonomi daerah, pertama-tama, adalah perbaikan karut-marut demokrasi di tingkat nasional. Efektivitas demokrasi nasional adalah superior dengan tujuan terciptanya pemerintahan nasional yang efektif.
Demokrasi nasional berjalan baik jika didukung demokrasi lokal. Namun, kinerja demokrasi lokal dibatasi oleh norma demokrasi nasional. Demokrasi lokal tidak simetris terhadap demokrasi nasional, tetapi asimetrik. Dalam susunan NKRI, tidak ada negara dalam negara.
Tampak pencerahan mengenai sandingan sinergis logika realisme-positivisme kepada anggota DPR dan DPD ikut menentukan. Seyogianya pula, pencerahan ini sebagai bungkus pencerahan empat pilar kebangsaan yang didengungkan MPR untuk masyarakat luas. Semoga.
(Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik FISIP UI)
(Kompas cetak, 2 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar