Kegaduhan politik merupakan bagian dari kebebasan demokrasi yang sarat beragam konflik kepentingan.
Sebagai konsekuensi kebebasan berdemokrasi, kegaduhan politik akan sering direproduksi melalui isu-isu kebijakan negara; mulai dari pendidikan dan kesehatan hingga subsidi BBM seperti terjadi belum lama ini.
Akan tetapi, kegaduhan politik yang sering berlangsung lama adalah indikator dari tidak adanya ketangguhan pemimpin demokratis, terutama kepemimpinan pemerintah eksekutif. Ketangguhan pemimpin demokratis mengambil keputusan penyelesaian konflik secara berani demi kepentingan umum tanpa mengabaikan konstitusi dan demokrasi. Kondisi tidak adanya ketangguhan pemimpin demokratis ini menyebabkan kegaduhan politik Indonesia sering terjadi.
Kegaduhan politik yang disarati praktik politik keras kepala (contentious politics) telah membawa Indonesia pada kondisi stagnasi dari kemajuan progresif nasional. Beberapa indikasi stagnasi adalah masyarakat rentan miskin masih besar, kesenjangan sosial makin lebar, pengelolaan pendidikan nasional buruk, masalah keamanan, sampai konflik-konflik kekerasan sosial masih intensif terjadi. Kondisi stagnasi tersebut merupakan konsekuensi kegaduhan politik berkepanjangan pada setiap isu kebijakan.
Sosiologi politik menjelaskan bahwa praktik politik keras kepala, selain pada hasrat menguasai dan keserakahan, juga berakar pada keyakinan ideologis. Setiap kelompok kepentingan, termasuk partai politik, selalu merasa sedang memperjuangkan ideologi. Keyakinan ideologis yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran berkontribusi terhadap praktik politik keras kepala. Oleh karena itu, konflik politik di antara banyak kepentingan juga merefleksikan benturan keyakinan ideologis.
Praktik politik keras kepala sering kali merupakan kombinasi antara hasrat kekuasaan, keserakahan, dan ideologi. Kombinasi yang mendorong kelompok kepentingan tampil sangat arogan. Akibatnya, konflik politik sering menemui kebuntuan, ditandai eskalasi debat kusir di panggung nasional. Setiap kelompok kepentingan menutup diri dari konsep atau pandangan baru yang keluar dari kotak pemahaman sempit ideologis. Permasalahan bangsa yang semestinya segera dijawab melalui kesepakatan politik pada gilirannya terbengkalai.
Stagnasi kemajuan nasional akibat kegaduhan politik berkepanjangan belum tentu langsung menciptakan keterbukaan pikiran tentang alternatif pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang diharapkan tidak saja menguntungkan kepentingan kelompok, tetapi yang lebih utama merealisasikan kepentingan umum. Itu karena kelompok kepentingan terpenjara dalam kotak ideologi, hasrat kekuasaan, dan keserakahan yang direproduksi sebagai praktik politik keras kepala. Oleh karena itu, kegaduhan demi kegaduhan politik terus tercipta sebagai halangan besar pembangunan nasional.
Menegakkan wewenang
Presiden dan wakilnya sering mengimbau para elite agar mengurangi kegaduhan politik. Imbauan tersebut baik. Namun, kegaduhan yang sarat politik keras kepala telah mendorong sejumlah kelompok kepentingan memobilisasi sumber daya kekuatan. Menghadapi kondisi semacam ini dibutuhkan praktik kepemimpinan yang lebih dari sekadar memberi imbauan.
Sumber daya kekuatan dalam bentuk jabatan politik, modal ekonomi, suara dalam parlemen, dan jejaring sosial akan dimobilisasi secara simultan ke ruang politik. Mobilisasi sumber daya tersebut tak akan berhenti sampai kepentingan kelompok terpenuhi pada level tertentu. Imbauan semata terbukti hanya dianggap angin lalu. Kegaduhan politik pun tak bisa dihentikan.
Kasus paling aktual adalah konflik kepentingan antara pro dan kontra pengurangan subsidi BBM dalam APBN 2013. Konflik ini telah berlangsung lebih dari tiga bulan sejak rencana pengurangan subsidi digulirkan pemerintahan SBY. Mobilisasi sumber daya kekuatan di antara kelompok kepentingan yang berpolitik keras kepala menciptakan kegaduhan nasional akut. Konsekuensinya: melemahnya kualitas politik demokrasi, ketidakpastian perekonomian sampai polarisasi sosial dalam masyarakat yang menajam. Konsekuensi-konsekuensi itu bisa meledak sebagai kekacauan multidimensi dan menyeret Indonesia pada kondisi rentan negara gagal.
Pemimpin eksekutif sebagai pelaksana mandat demokrasi harus menangani kegaduhan politik lebih dari sekadar imbauan. Presiden perlu mempraktikkan apa yang diistilahkan oleh Maarten A Hajer (2009) sebagai authoritative governance, yaitu keberanian pemimpin pemerintahan menegakkan wewenang yang dijamin konstitusi untuk menangani kegaduhan politik. Terutama Indonesia yang menganut sistem presidensial, wewenang presiden dalam konstitusi memiliki kekuatan "interventif" atas dasar kepentingan nasional. Selain itu, kekuasaan politik yang diperoleh melalui pemilihan langsung oleh rakyat menjadi legitimasi besar.
Authoritative governance diperlihatkan oleh praktik mengoptimalkan wewenang politik konstitusional untuk menghentikan kegaduhan melalui kepastian kebijakan. Tentu saja kebijakan yang diformulasikan dari prinsip dasar demokrasi, yaitu kebaikan umum. Risiko selalu jadi bagian dari suatu keputusan politik. Pada dimensi inilah pemimpin negara diuji ketangguhannya untuk mengambil risiko pilihan kebijakan demi kemajuan bangsa. Terutama risiko yang terkait popularitas, citra pribadi, dan kepentingan kelompok.
Kegaduhan politik berkepanjangan yang menyebabkan stagnasi kemajuan bangsa hanya bisa ditangani oleh pemimpin pemerintahan yang tangguh. Dalam hal ini adalah pemimpin dengan dedikasi pengabdian kepada rakyat dan berani mengambil risiko tanpa menanggalkan prinsip demokrasi. Jika ketangguhan pemimpin demokratis tidak ada, kegaduhan demi kegaduhan politik akan direproduksi menghambat kemajuan bangsa.
(Novri Susan, Sosiolog Universitas Airlangga dan Direktur Lembaga Konsultasi Konflik Indonesia)
(Kompas cetak, 7 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar