Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 07 Agustus 2013

Lebaran, Kelas Menengah, dan PRT (Wahyu Susilo)

Oleh: Wahyu Susilo  

Sebentar lagi, saat menjelang Lebaran, kita akan kembali menikmati kecerewetan kelas menengah Indonesia yang hidup tanpa pekerja rumah tangga yang sedang mudik Lebaran.
Kecerewetan yang menggambarkan kegagapan hidup tanpa pekerja rumah tangga (PRT) itu akan muncul berderet-deret di lini media sosial (Twitter dan Facebook) dan juga menjadi santapan liputan media massa. Ketika PRT mudik Lebaran seperti hidup setengah kiamat. Seakan mereka tak bisa lagi mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan seperti yang biasa dikerjakan PRT. Fenomena ini dimanfaatkan agen perekrut PRT dengan menyediakan PRT infal (bekerja semasa libur Lebaran) dan juga industri perhotelan.

Situasi ini memperlihatkan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang selalu dibangga- banggakan sebagai bukti keberhasilan ekonomi Indonesia hanya mampu mengungkit tingkat konsumsi dan gaya hidup (dua hal yang lekat tak terpisahkan). Sebaliknya, belum mencerminkan perubahan kualitas perilaku kelas menengah baru.

Menurut survei mengenai perilaku kelas menengah baru Indonesia, trending topic yang diikuti oleh kelas menengah baru hanyalah komoditas produk dan merek-merek terbaru, belum menyentuh pada solidaritas dan empati sosial yang berangkat dari kepedulian dunia atas fenomena kesetaraan yang terjadi.

Salah satu cara mengukur tingkat empati dan solidaritas sosial kelas menengah Indonesia bisa dilihat dari pola hubungannya (dan cara pandangnya) terhadap PRT (pekerja, bukan pembantu rumah tangga). Seperti di negara-negara Asia lainnya, pertumbuhan kelas menengah baru juga ditandai dengan adanya kebutuhan "tambahan tenaga" untuk mengerjakan pekerjaan- pekerjaan domestik (kerumahtanggaan).

Kenyataan ini memperlihatkan rendahnya penghargaan mereka terhadap pekerjaan rumah tangga. Implikasinya juga tecermin dalam praktik pengupahan terhadap PRT yang dikecualikan dari standar pengupahan perburuhan. Tentu saja juga tentang pengakuan hak PRT, masih menjadi sesuatu yang mahal.

Majikan PRT yang mayoritas kelas menengah yang bekerja di sektor industri dan jasa tentu protes kalau upah mereka di bawah standar dan dipaksa bekerja melebihi waktu tanpa kompensasi. Namun, apakah mereka juga memberikan upah standar dan perlakuan layak kepada PRT yang menggantikan pekerjaan kerumahtanggaan mereka?

Keriuhan dan kegalauan kelas menengah pengguna PRT yang ditinggal mudik tiba-tiba senyap jika mereka diminta bersuara mendukung proses legislasi yang seret di parlemen untuk mewujudkan instrumen perlindungan bagi PRT. Hingga saat ini, sudah hampir lima tahun RUU Perlindungan PRT mangkrak di parlemen karena tak kunjung dibahas secara serius.

Nilai ekonomi PRT
Situasi ini antara lain didasari atas cara pandang diskriminatif terhadap PRT sebagai pekerja informal yang tak perlu formalitas (legalisasi perlindungan). Padahal, secara mondial, Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mengeluarkan standar global perlindungan PRT dalam wujud Konvensi 189 tentang Kerja Layak untuk PRT. Tersedianya instrumen perlindungan bagi PRT di Indonesia juga akan menjadi legitimasi yang kuat bagi diplomasi perlindungan PRT migran Indonesia di luar negeri.

Sebuah studi tentang peran ekonomi dan nilai kerja PRT yang dilakukan Poppy Ismalina, aktivis pembela PRT cum ekonom UGM, bisa membongkar cara pandang kelas menengah merendahkan PRT dan menuntut kita memikirkan ulang standar pengupahan terhadap PRT. Studi ini mengurai beban kerja PRT di rumah tangga kelas menengah dan proses pengupahannya tidak berdasarkan pada kesepakatan setara kedua pihak.

Secara radikal, Poppy mengurai, nilai kerja PRT tidak hanya menyubstitusi pekerjaan kerumahtanggaan, tetapi juga menghasilkan nilai ekonomi riil bagi penggunanya.

Nilai ekonomi riil itu di antaranya: (1) produktivitas pengguna yang sebagian pekerjaan digantikan PRT; (2) penghematan biaya kesehatan—termasuk dari stres dan guncangan psikologis—akibat akumulasi kelelahan mengerjakan pekerjaan domestik; (3) penghematan investasi pembelian alat rumah tangga yang bisa digantikan tenaga PRT; (4) penghematan biaya pengamanan (gaji petugas satpam) karena PRT juga menjaga keamanan rumah; dan (5) penghematan biaya asuransi kehilangan barang/kebakaran karena PRT menjaganya.

Dari gambaran di atas jelas menunjukkan, ada nilai ekonomi riil yang dinikmati pengguna jasa PRT, tetapi tak dikembalikan dalam pola pengupahan yang layak. Survei tersebut bahkan memperlihatkan bahwa menjadi PRT menanggung beban multiganda: menyelesaikan pekerjaan rumah tangga serta memastikan kesehatan, keamanan, dan kenyamanan penghuni dan rumah tempat PRT pekerja.

(Wahyu Susilo, Analis Kebijakan Migrant CARE)

(Kompas cetak, 7 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger