Idul Fitri adalah festival Islam yang menyimpan nilai-nilai oral dan keagamaan yang kontekstual untuk mewujudkan Indonesia yang lebih religius dan berkeadaban. Di tengah fenomena praktik korupsi, yang merefleksikan standar kualitas hidup yang rendah dan kotor, Idul Fitri menyadarkan kita untuk kembali ('id) ke hakikat kemanusiaan yang primordial, yakni kesucian (al-fitr). Kesucian adalah fitrah manusia, yang diciptakan oleh Tuhan atas dasar fitrahnya.
Dengan demikian, fitrah adalah asal awal kejadian manusia, yang terlahirkan dalam kondisi suci dan, karena itu, selalu merindukan kesucian. Kerinduan pada kesucian berproses sejak puasa di bulan suci Ramadhan dan menyempurnakan puasanya melalui pembayaran zakat fitrah sebelum shalat Idul Fitri.
Zakat fitrah
Sekilas, zakat fitrah hanya dipandang sebagai instrumen untuk menyempurnakan puasa di bulan Ramadhan. Namun, zakat fitrah sesungguhnya menyimpan nilai filosofis yang sangat dalam.
Di tengah ketimpangan struktur sosial dan ekonomi Indonesia, zakat fitrah memberikan kontribusi nilai yang sangat kontekstual agar kita tidak memonopoli kekayaan, tetapi mau berbagi kepada kaum fakir dan miskin sehingga mereka dapat juga merasakan kebahagiaan di hari raya ini.
"Distribusikanlah kebahagiaan itu kepada mereka yang memerlukan," kata (almarhum) Buya Hamka sambil berpesan: "santunilah yang tidak mampu, tolonglah yang lemah, dan bebaskan yang menderita." Impresi zakat fitrah tak lagi berputar di ruang spiritual-keagamaan melulu, tetapi juga sudah bergerak di ruang sosial-kemanusiaan sehingga kita lebih mempunyai kepekaan, sensitivitas, dan rasa tanggung jawab terhadap kenyataan sosial yang timpang di sekitar kita.
Instrumen zakat fitrah, dengan demikian, menyadarkan kita bahwa kehidupan manusia memiliki keterkaitan satu sama lain dan menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.
Kemanusiaan yang satu dan setara
Karena itu, Idul Fitri menyimpan nilai yang kontekstual tentang arti pentingnya hakikat kemanusiaan yang satu dan setara. Hal itu terefleksikan saat kita shalat Idul Fitri secara berjemaah di tanah lapang, tanpa adanya perbedaan status sosial sedikit pun.
Di hadapan Tuhan, kita semua adalah satu dan setara, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, ningrat maupun jelata. Semua berkumpul di tanah lapang dengan niat dan tujuan yang sama, yakni untuk menunaikan shalat Idul Fitri dengan kepasrahan diri yang tulus hanya ke hadirat Tuhan.
Hakikat kemanusiaan yang satu dan setara ini menyimpan nilai kontekstual untuk kehidupan beragama dan berbangsa. Di tengah kuatnya arus konservatisme dan radikalisme agama yang mengakibatkan konflik dan kekerasan, Idul Fitri mengajak kita untuk meneguhkan spirit kesatuan dan kesetaraan. Spirit ini mengedepankan nilai bahwa kita berasal dari umat yang satu, Adam dan Hawa, dan memiliki kesetaraan yang sama di hadapan Tuhan.
Jika kita satu dan setara di hadapan Tuhan, mengapa terjadi diskriminasi?
Kebenaran dan rekonsiliasi
Seusai shalat Idul Fitri, tradisi saling memaafkan meneguhkan pentingnya prinsip kebenaran dan rekonsiliasi dalam kehidupan berbangsa.
Kepada mereka yang sering kali menggunakan konflik dan kekerasan atas nama "Islam," Idul Fitri menjadi momen ideal untuk mengakui kekhilafannya, memohon maaf kepada yang terluka, baik secara fisik maupun psikis, dan, yang tidak kalah
penting, mempertanggungjawabkan tindakan tidak terpuji tersebut di hadapan hukum.
Khususnya kepada mereka yang terluka, Idul Fitri mengajarkan bahwa pemberian maaf dan rekonsiliasi adalah di antara dua sifat manusia yang paling mulia, dengan tetap menjunjung tinggi penyingkapan kebenaran itu sendiri.
Dalam kehidupan berbangsa, Idul Fitri menyadarkan pemimpin kita agar meminta maaf secara tulus karena belum mampu mewujudkan kehidupan rakyatnya yang lebih adil dan sejahtera. Alih-alih mewujudkan misi mulia itu, tidak sedikit di antara pemimpin kita yang justru bertindak bukan sebagai pemecah masalah yang ada, melainkan menjadi bagian dari masalah, bahkan sering kali menjadi sumber utama dari masalah itu sendiri.
Praktik korupsi hanyalah satu di antara sekian banyak fakta bahwa pemimpin justru bertindak sebagai sumber utama masalah bangsa. Inilah ancaman terbesar bangsa kita, yang justru datang dari pemimpinnya sendiri. Idul Fitri diharapkan dapat menggugah nurani pemimpin untuk mengedepankan kepemimpinan yang solutif, yang menjunjung tinggi integritas moral, dan, yang terpenting, menyejahterakan rakyatnya, bukan dirinya dan keluarganya.
Pada momen-momen genting seperti ini, yang telanjur dianggap normal, patut kiranya kita mengontekstualisasi kembali nilai-nilai moral-keagamaan Idul Fitri demi perwujudan bangsa Indonesia ke arah yang lebih adil, sejahtera, dan demokratis.
(SUKIDI, Eka Tjipta Fellow dan Kandidat PhD di Harvard University, Cambridge, MA)
(Kompas cetak, 7 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Ini tulisan bagus reflektif. Pemimpin kacangan memang sedang marak-maraknya bersemi dalam penyemaian biji-biji kacang. Apakah kita saling maklum kompromistis terhadap dedikasi pemimpin kacangan?
BalasHapusIni Indonesia.