Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 03 Agustus 2013

Menggagas Paradigma Baru Penyiaran (Mochamad Riyanto Rasyid)

Oleh: Mochamad Riyanto Rasyid 

Dunia teknologi informasi yang terus tumbuh dan berkembang memberi efek domino cukup signifikan terhadap kondisi, iklim, hingga arah penyiaran Indonesia. Tentu terpaan arus globalisasi yang dahsyat itu tidak bisa direspons dengan taktis praktis, apalagi latah.
Kita mesti membuat benteng kokoh agar penyiaran tidak mudah diombang-ambingkan oleh pergerakan dinamis globalisasi. Dalam bahasa sederhana, kita membuat konsep yang jelas mengenai arah penyiaran. Mau dibawa ke mana penyiaran kita?

Pertanyaan fundamental ini ditanggapi dan dibincangkan secara intens oleh insan ataupun pemangku kepentingan penyiaran di Republik ini. Ironis memang, walau kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, cita-cita ideal membangun peradaban dunia penyiaran di Indonesia yang lebih modern, bermartabat, beretika, dan berbudaya dengan berpijak pada nilai-nilai moral dan keagamaan belum (sepenuhnya) terwujud.

Penyebabnya, pada hemat penulis, kita belum mampu menyusun sebuah cetak biru penyiaran yang utuh, komprehensif, sesuai dengan kebutuhan atau lokalitas bangsa. Artinya, belum ada lanskap penyiaran yang disusun dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia dengan berbagai keragamannya.

Kedaulatan frekuensi
Mengenai cetak biru penyiaran, hal yang penting digagas adalah ihwal kedaulatan frekuensi. Tidak dapat disangkal, terminologi kedaulatan frekuensi masih belum cukup populer di negeri ini. Kata kedaulatan belum akrab dengan dunia penyiaran yang punya pengaruh luas. Inilah problem serius bangsa yang tidak dapat diabaikan.

Kedaulatan frekuensi menyangkut hajat hidup orang banyak, kuat kaitannya dengan politik kebangsaan atau harga diri bangsa. Ia menyangkut perekat kesatuan, membentuk cara pandang, gaya hidup, serta dapat membangun peradaban negeri.

Dengan kata lain, kedaulatan frekuensi tak hanya dimaknai sederhana, apalagi dipersempit pada ruang dan makna yang sebatas erat dengan dinamika penyiaran, tetapi bermakna luas. Ia menyangkut beberapa aspek atau sendi-sendi kehidupan kebangsaan, politik, ekonomi, hukum, budaya, sosial, agama, baik filosofis, sosiologis, maupun geografis.

Paradigma kedaulatan frekuensi berupaya mengarahkan penyiaran ke arah yang tepat. Bangsa ini memerlukan suatu kualitas penyiaran yang dapat meningkatkan harkat kemanusiaan serta harga diri bangsa yang terpantul dari wajah penyiaran.

Melalui ide kedaulatan frekuensi, wajah penyiaran kita dilihat secara utuh dan mendalam. Termasuk dari segi bisnis, muatan, pengembangan teknologi penyiaran, serta penerapan digitalisasi penyiaran yang tidak merugikan kepentingan masyarakat.

Disadari bahwa penyiaran memiliki pengaruh besar terhadap peradaban bangsa. Terlebih lagi kita tahu tingkat konsumsi masyarakat terhadap penyiaran (baca: televisi) sangat tinggi. Tahun 2012, data Nielsen menunjukkan, 94 persen publik gemar menonton televisi. Penyiaran membentuk pola pikir, perilaku masyarakat, mengonstruksi budaya.

Di sisi lain penyiaran juga punya kekuatan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi bangsa. Informasi mengenai nilai saham, misalnya, bisa saja memengaruhi gejolak ekonomi setelah diselaraskan dengan isu-isu perekonomian nasional dan dieksplorasi melalui program televisi; apakah melalui program berita, dialog, ataupun lewat acara bincang-bincang (talkshow).

Begitu pula, penyiaran juga merupakan pendidikan politik bangsa. Apalagi, di Indonesia, tema politik selalu menjadi isu sentral dalam pemberitaan televisi. Demi martabat penyiaran Indonesia, insan penyiaran Indonesia mesti memahami cara mengedukasi masyarakat di dalam pembelajaran politik secara baik dan benar.

Belum disentuh
Dalam konteks kepentingan keindonesiaan, misalnya, mengenai pengaturan penyelenggaraan penyiaran di wilayah layanan daerah kepulauan dan perbatasan, karena ada kebijakan yang salah, masyarakat di daerah perbatasan dan kepulauan tidak dapat diberikan ruang untuk mengakses informasi yang bersifat edukasi, hiburan, dan lain-lain. Ini harus direkonstruksi kembali sebagai suatu cetak biru sistem penyiaran Indonesia yang komprehensif dengan pendalaman-pendalaman kajian dari aspek filosofis, sosiologis, geografis, ekonomi, aspek hukum, dan budaya.

Gagasan kedaulatan frekuensi mesti didorong ke sana. Indonesia senyatanya belum mampu menangani kedaulatan frekuensi secara optimal menjadi bagian lanskap penyiaran. Ketidakmampuan ini tentu mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebab propaganda politik bisa masuk jauh lebih cepat melalui media penyiaran.

Dari situ kita pun menyadari, dalam konteks NKRI, kedaulatan frekuensi memang belum disentuh maksimal oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, KPI, kalangan industri, masyarakat, dan pemangku kepentingan. Ia belum menjadi sesuatu yang paradigmatis demi kepentingan ketahanan bangsa. Untuk itu, kita harap kedaulatan frekuensi penting diformulasikan sebagai cetak biru sistem penyiaran Indonesia.

(Mochamad Riyanto Rasyid,  Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat)

(Kompas cetak, 3 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger