Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 03 Agustus 2013

Jalan Buntu Rekonsiliasi Politik Mesir (Zuhairi Misrawi)

Oleh: Zuhairi Misrawi

Masalah terpelik yang dihadapi Mesir pasca-lengsernya Muhammad Mursi, 3 Juli lalu, adalah makin kuatnya polarisasi politik (al-istiqthab al-siyasi), antara Ikhwanul Muslimin dan para penentangnya, yang sekarang sedang berada di pucuk kekuasaan transisi.
Dalam sebulan terakhir, Ikhwanul Muslimin (IM) tetap pada pendiriannya, mendesak agar posisi Mursi sebagai presiden terpilih secara demokratis dipulihkan kembali. Mereka secara tegas menolak "kudeta" karena bertentangan dengan demokrasi. Sejak Mursi dilengserkan, IM menduduki kawasan Rabea Adeweya Square, Nashr City, dan Nahdla Square, Giza. Bahkan, mereka rela mempertaruhkan nyawa dan siap jadi martir untuk mencapai tujuan politik tersebut. Mereka bertekad tak akan mengakhiri demonstrasi dan aksi boikot hingga hak-hak politik Mursi dikembalikan.

Bahkan, para cendekiawan Muslim yang punya kedekatan ideologis dengan IM, seperti Muhammad Salim Awwa, Muhammad Imarah, dan Thariq Bishri, belakangan mengajukan proposal politik untuk mengembalikan posisi Mursi sebagai presiden secara simbolis dan membentuk pemerintahan yang mencerminkan koalisi nasional serta dalam 60 hari melaksanakan pemilu parlemen, lalu pemilu presiden.

Usulan ini sepertinya akan kandas karena pihak yang mendukung "kudeta" menganggap pelengseran Mursi bukanlah kudeta sebagaimana dikenal dalam literatur ilmu politik yang umumnya menggunakan kekerasan. Militer justru menunjuk Ketua Mahkamah Konstitusi sebagai presiden sementara. Sikap yang dianggap militer pada hakikatnya hanya melaksanakan mandat rakyat melalui 22 juta penanda tangan petisi pembangkangan, yang diinisiasi kaum muda revolusioner, serta didukung sepenuhnya oleh Al-Azhar, Koptik, dan mayoritas faksi politik minus IM dan Partai Al-Wasath.

Menurut Hasan Nafaa, analis politik dari Universitas Kairo, tuntutan politik IM dan inisiatif sejumlah cendekiawan Muslim sangat tak realistis karena militer dan sebagian besar faksi politik sudah menentukan peta jalan masa depan Mesir, yang di dalamnya akan melakukan amandemen konstitusi, pemilu presiden, pemilu parlemen, serta rekonsiliasi nasional. Mengembalikan posisi Mursi sebagai presiden secara simbolis pun tak mungkin karena kekuasaan politiknya sangat determinan sehingga akan mengganggu peta jalan dan rekonsiliasi. Dikhawatirkan IM mengendalikan kembali kekuasaan, yang dapat menyebabkan munculnya instabilitas politik, sebagaimana dalam setahun pemerintahannya (Almasryalyoum, 1 Agustus 2013).

Dilema
Di sinilah, Mesir menghadapi dilema cukup pelik karena hingga kini upaya jalan tengah buntu. Tuntutan politik IM dan peta jalan masa depan yang digariskan militer dan penentang IM ibarat air dan minyak, tak mencapai konsensus. Menurut Hassan Hanafi, dalam al-Islam al-Tsawri, polarisasi politik di Mesir saat ini akan mempersulit transisi menuju demokrasi, bahkan melapangkan jalan bagi meluasnya konflik dan perang saudara.

Dalam alam pikiran Islam Kiri, menurut Hanafi, revolusi pun perlu pemaknaan pada tradisi masa lalu dalam rangka mencari titik temu antara islamisme
dan sekularisme. Kedua aliran politik ini sejatinya dapat menjadikan kemaslahatan bangsa sebagai tujuan bersama, bukan agenda ideologi politik setiap golongan. Itu sesungguhnya esensi revolusi dalam Islam. Konsep tauhid dalam Islam tak sekadar mengesakan Tuhan, tetapi lebih dari itu, yaitu mewujudkan persatuan bangsa.

Sementara itu, situasi kian pelik karena krisis politik di Mesir telah melibatkan pihak-pihak asing, setiap negara punya agenda politik dan kepentingan masing-masing. Turki dan Qatar berpihak ke IM, sementara Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab berpihak ke militer dan penentang IM. AS dan Uni Eropa punya kepentingan khusus berkaitan eksistensi Israel di Timur Tengah. Dimensi geopolitik yang sangat kental dalam krisis politik Mesir mengingatkan kita pada krisis politik di Suriah yang tak kunjung selesai karena mereka terjebak dalam perang saudara akibat buntunya kanal politik. Meski tradisi politik di Mesir jauh lebih maju daripada Suriah, segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi jika polarisasi politik tak bisa mencapai konsensus.

Solusi
Konsensus yang paling mungkin ditawarkan adalah memastikan hak politik IM dalam peta jalan masa depan Mesir. Menurut Carrie Rosefsky Wickham (The Muslim Brotherhood After Morsi Can the Brothers Reboot?), partisipasi IM dalam transisi demokrasi merupakan solusi terbaik karena dapat mengakhiri instabilitas politik. Dialog konstruktif pihak IM dengan militer dan penentang IM akan mampu menyelesaikan konfrontasi (foreignaffairs.com, 11 Juli 2013).

Namun, solusi ini tak semudah membalikkan kedua belah tangan. Elite yang mengendalikan IM saat ini tak mudah menerima opsi ini. Mereka hingga saat ini belum memberikan sinyal positif soal menyikapi langkah-langkah politik peta jalan masa depan Mesir, sebagaimana digariskan militer. Mereka tetap pada pendirian untuk mengembalikan Mursi sebagai presiden. Yang sangat dikhawatirkan dari jalan buntu ini adalah sikap agresif militer terhadap IM dan intervensi antek-antek Hosni Mubarak, yang sedang bermain di air keruh. Dalam sejarah Mesir, militer menganggap IM ancaman bagi nasionalisme, yang menyebabkan keduanya terjebak dalam konflik berkepanjangan. Ideologi militer adalah nasionalisme, sementara IM adalah islamisme. Kedua ideologi ini tak bisa dinegosiasikan di Mesir.

Di samping itu, antek-antek Mubarak akan menjadikan instabilitas politik sebagai jalan untuk memuluskan nostalgia terhadap otoritarianisme masa lalu. Apalagi ditengarai, mereka juga terlibat aksi kekerasan yang menyebabkan jatuhnya korban dari pihak IM. Masalahnya, sejarah dan realitas politik di Mesir saat ini tak berpihak ke IM. Buah manis revolusi yang telah berhasil mengantarkan mereka ke panggung kekuasaan telah berubah jadi buah simalakama. Semula IM primadona politik, kini mereka jadi musuh bersama.

Meski begitu, momentum kembali ke panggung politik sebenarnya tak tertutup. IM masih punya kesempatan berpartisipasi dalam transisi demokrasi. Semua itu tergantung dari elite-elite IM dalam mengambil kebijakan yang tepat untuk kemaslahatan Mesir. Kemampuan dan kemauan IM dalam melakukan akulturasi dan adaptasi dengan realitas sosial-politik akan menjadi kunci dalam meraih simpati publik. Karena itu, IM harus mengubah strategi politik dan mengembangkan pemikiran kebangsaan.

Saat ini, Mesir butuh konsensus yang dapat melahirkan konstitusi yang mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi. Di samping itu, pihak-pihak yang sedang bersitegang harus meninggalkan cara-cara kekerasan, terutama militer agar tak menggunakan kekuatan membabi buta dalam menghadapi IM. Jika ini dilakukan, Mesir tidak akan menemukan kebuntuan politik, seperti kata Milad Hanna, esok hari akan lebih cerah (ghadan asyaddu isyraqan). Semoga!
(Zuhairi Misrawi, Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah The Middle East Institute)

(Kompas cetak, 3 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

1 komentar:

  1. kok jadi seperti IM ya yang salah?? padahal hasil pemilihan sudah mengamanahkan kepada Mursi, kalau orang2 yg mengaku demokrasi harusnya menerima dong. dan juga seakan2 ideologi Mursi yg bersandarkan pada Al Quran merupakan ajang pemecah belah bangsa. sehingga nasianalisme menjadi bemper untuk menghalalkan segala cara. saya sebagai orang awam jadi semakin yakin kalau memang sistem yang selama ini di pakai salah. terjadi penghianatan terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

    terimakasih ulasannya, saya semakain yakin bahwa sekulerisme itu sangat rapuh dalam menjaga keutuhan nasional

    BalasHapus

Powered By Blogger