Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 03 Agustus 2013

”Quo Vadis” Benteng Terakhir Keadilan (Frans H Winarta)

Oleh: Frans H Winarta

Sudah berulang kali hakim ketahuan terima suap dan sudah berulang kali advokat juga ketahuan menyuap hakim. Namun, mafia peradilan jalan terus seolah tidak membuat para pelaku jera dan ngeri dibui karena perbuatannya.

Sudah 14 tahun era reformasi berjalan dengan empat presiden berkuasa, tetapi reformasi di bidang hukum dan birokrasi belum menunjukkan hasil maksimal seperti yang didambakan masyarakat. Praktik korupsi yudisial tetap saja marak, seperti bergeming dengan program pemberantasan korupsi dalam dua masa pemerintahan SBY.

Walaupun UU antikorupsi sudah direvisi, KPK sudah dibentuk, dan pemerintah mencanangkan program antikorupsi, tetapi praktik suap dan sogok masih saja berlangsung. Kalau begitu apa yang salah? Sudah banyak teori dan saran diungkapkan, tetapi belum ada tindakan konkret yang konseptual diterapkan dalam program pemberantasan korupsi di Indonesia. Yang ada baru tindakan sporadis dan dadakan (impromptu) yang bersifat simptomatis, tetapi bukan solusi mendasar.

Berbagai upaya pemberantasan korupsi tanpa disertai peningkatan dana reformasi yudisial dan pembangunan hukum akan sia-sia. Upaya konkret reformasi di bidang yudisial harus dilaksanakan dengan konkret melalui penyediaan dana yang signifikan untuk reformasi yudisial dan pembangunan hukum.

Belum memadai
Dana pembangunan hukum yang selama ini terdapat di dalam APBN tidak memadai dan tidak seperti yang diharapkan. Jika masyarakat Indonesia ingin melihat negara hukum yang dicita- citakan terwujud, reformasi (birokrasi) yudisial harus dilakukan secara serius dan masif. Tanpa terobosan itu, kita akan selalu berwacana, tetapi tidak pernah konkret dalam melakukan perubahan dan reformasi yudisial. Selain APBN, APBD juga harus menunjang program reformasi yudisial.

Gaji hakim yang rendah kendala terbesar untuk menangkal mafia peradilan. Para hakim mudah sekali tergiur iming-iming suap, sogok, dan gratifikasi. Kondisi serba tidak cukup secara ekonomi ditambah tidak adanya jaminan sosial bagi hakim dan keluarga menambah keadaan makin rumit dan kompleks.

Agar dapat bekerja profesional, efisien, dan tenang, hakim perlu diberi penghargaan dengan gaji dan penghasilan yang serba cukup, perumahan, kendaraan dinas, pelatihan, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan asuransi jiwa. Juga bonus bagi yang berprestasi baik, seperti bonus atas putusan yang jitu yang tidak dibanding atau dikasasi. Semua ini dapat memelihara dan mendorong para hakim untuk jujur, bersih, efisien, dan profesional dalam memutus perkara yang ditugaskan kepadanya.

Tidak ada suatu negara pun di dunia yang rule of law-nya berjalan dengan baik dengan gaji hakim yang rendah. Tingkat gaji hakim Indonesia jauh di bawah standar jika dibandingkan dengan negara lain. Hakim di Singapura, misalnya, memperoleh gaji per bulan 50.000 dollar Singapura atau setara Rp 402 juta per bulan, belum termasuk bonus untuk performa bekerja dengan baik dan profesional.

Baru-baru ini, pegawai Mahkamah Agung ditangkap di kawasan Monas oleh KPK karena diduga menerima suap guna menyuap hakim agung. Hal itu tidak terjadi jika birokrasi di Indonesia bersih dan jujur. Apalagi jika hakim bersih dan jujur, seorang advokat tak dapat berbuat banyak untuk memengaruhi hakim dalam membuat putusan suatu perkara. Perbaikan dan peningkatan gaji hakim, bonus, perumahan, pelatihan, serta fasilitas pemeliharaan kesehatan dan asuransi jiwa menjadi pendorong bagi hakim untuk bekerja jujur, bersih, profesional, dan loyal.

Para hakim diharapkan loyal kepada pengadilan, negara, konstitusi, dan profesi hakim dalam memberi putusan yang adil, jujur, dan benar. Hakim jujur dan penegakan hukum baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Keadaan seperti itu akan mendorong terciptanya masyarakat yang taat hukum dan menghormati hukum.

Sebagai wakil Tuhan, para hakim harus diberi penghargaan yang pantas dan memadai agar memiliki status sosial yang tinggi dan senantiasa dihormati masyarakat. Paling penting, hakim dapat menjaga wibawanya dengan membuat putusan yang adil sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap adil dalam masyarakat.

Frans H Winarta
Ketua Umum Persatuan
Advokat Indonesia (Peradin) dan

Anggota Governing Board
Komisi Hukum Nasional (KHN)

(Kompas cetak, 3 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger