Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 Januari 2014

Agenda Otonomi Tahun Politik (Robert Endi Jaweng)

BAGI agenda otonomi daerah, kalender kerja 2013 ditandai banyaknya kesempatan terbuang, bahkan kita berulang kehilangan fokus. Padahal, tahun 2013 tahun krusial, tahun kerja. Sementara 2014 yang dijuluki "tahun politik" pasti lebih kerap dijejali kesibukan- kesibukan politik, termasuk upaya politisasi desentralisasi dan dijadikannya daerah sebagai arena kontestasi para calon anggota legislatif atau calon presiden.
Jika sekilas membuka kalender 2013, momentum yang terlewatkan itu terjadi pada ranah kebijakan hingga kerja di lapangan. Perencanaan legislasi untuk menuntaskan paket undang-undang otonomi terbengkalai. Hanya RUU Desa yang berhasil disahkan, lebih didorong kalkulasi politik elektoral (bersaing meraih suara rakyat desa saat pemilu) serta mengabaikan koherensi sistemiknya dengan RUU Pemda yang memang tak jelas kemajuan pembahasannya.

RUU Pilkada serupa nasibnya, mandek di isu-isu kelas "berat", terutama perihal model pemilihan dan syarat pencalonan, padahal dibutuhkan secepatnya bagi pilkada pasca-pemilu nasional, termasuk jika akhirnya disepakati opsi pilkada serentak yang membutuhkan persiapan panjang tak kurang dari setahun.

Pragmatisme politik
Proposal pemerintah, sebagai pihak pengusul RUU, sarat dengan perubahan ekstrem. Sayangnya, perubahan itu tidak berbasis kualitas argumentasi dan data yang kuat, sementara secara politis terkesan naif lantaran gagal membaca peta kekuatan di parlemen. Seperti bandul, kita bertukar posisi secara drastis, dari titik berat otonomi kabupaten/kota ke provinsi; dari pemilihan langsung ke sistem perwakilan, dan seterusnya.

Jelas terbaca, pemerintah inkonsisten dan tak berdasar rasionalitas kebijakan kuat: awalnya mengusulkan gubernur dipilih DPRD dan bupati/wali kota dipilih langsung, belakangan mendorong pemilihan langsung gubernur dan cara perwakilan bagi bupati/wali kota. Alih-alih meyakinkan DPR, pemerintah sendiri tampak tak percaya diri dan gagal meyakinkan dirinya sendiri. 

Pada sisi lain, pragmatisme politik amat kuat menyimpangkan prioritas legislasi otonomi. Setelah awal tahun 2013 disahkan UU pembentukan lima daerah baru, jelang akhir tahun keran pemekaran dibuka lebar untuk 87 calon daerah otonomi baru (DOB). Yang ditunggu publik dan daerah adalah kelarnya paket UU Otonomi Daerah, tetapi DPR justru bersemangat mengejar menteri dalam negeri untuk membahas pemekaran. Kepentingannya: pemekaran sebagai instrumen barter dukungan masyarakat/elite lokal yang dipertukar dengan suara dalam pemilu, sekalian memperluas ruang distribusi kader politik dan jejaring bisnis bagi rente ekonomi dan kuasa.

Pada 2013, politik kebijakan otonomi daerah diarahkan sejalan dengan upaya persiapan pemilu dan akumulasi kapital para elite pemangku otoritas.

Tak pelak lagi, bias elite di hulu kebijakan mengalir lancar ke ranah praktis. Ideal desentralisasi sebagai rute cepat menawarkan manfaat bersih dalam layanan publik dan kesejahteraan jauh panggang dari api. Sebagian daerah memang relatif mampu membuktikan tuah desentralisasi, tetapi lebih banyak lagi jalan di tempat, bahkan mundur. Hegemoni tafsir elite atas otonomi dan segala derivasinya membuat alokasi APBD lebih banyak untuk pos belanja aparatur ketimbang publik. Pada 2013 sejumlah daerah terancam bangkrut: untuk membiayai operasional pemerintahan saja sudah tak sanggup. Namun, sesungguhnya, lebih banyak lagi daerah yang berkategori bangkrut di mata rakyat lantaran anggaran dan layanan publik sebagai tanda hadirnya negara (state in practice) nyaris nihil.

Ironisnya, gaya berpolitik dan gemerlap hidup elite kita menampilkan segala kontras yang seronok. Sistem pilkada berbiaya mahal justru menjadi candu bagi mereka mempertontonkan kekayaannya atau nekat berutang politik kepada para tuan kapital yang kelak mengendalikan agenda publik (local capture). Politik transaksional dan keserakahan pasar mendominasi proses elektoral, sementara banalitas korupsi anggaran terjadi saat memerintah. Tak heran, hingga 2013, korupsi lokal telah menggerogoti harta negara sekitar Rp 5 triliun yang tersebar acak di 305 kepala/ wakil kepala daerah dan 2.000-an anggota DPRD yang tersangkut tindak pidana kejahatan tersebut. 

Sejauh ini kita belum membuktikan kemajuan berarti dalam realisasi otonomi. Struktur kesempatan baru yang terbuka di era desentralisasi ini gagal dikapitalisasi jadi fondasi kemandirian dan keberdayaan daerah. Bahkan, semakin menjauhkan konsep pemerintahan yang bekerja di ranah lokal. Pada sebab politik, akar tunjang utama tertancap dalam diri para elite. Sebagai produk kebijakan publik, tak terhindarkan determinasi politik atas kualitas desentralisasi. Sayangnya, elite kita lebih sigap memanipulasi arah kebijakan dan alokasi sumber daya bagi dirinya, jauh dari serius untuk berkhidmat mengurus nasib publik.

 Cegah kerusakan
 Tantangan kita, terutama tahun 2014, adalah absennya pemerintahan yang bekerja. Determinasi elite dan politisasi bisa kian merajalela. Jelasnya, para gubernur/bupati/wali kota yang sebagian besar orang partai lebih berpikir soal kemenangan partainya, bukan mengelola pemerintahan dan menjaga loyalitas profesional kepada pemerintah di atasnya. Fakta bahwa Presiden Yudhoyono pasti akan mengakhiri jabatannya dan merosotnya kekuatan Partai Demokrat sedikit banyak menstimulasi pencarian kiblat
baru dan loyalitas ganda kepada pusat-pusat kekuasaan baru. Pemanasannya sudah terlihat pada 2013. Sejumlah program pusat (BLSM, mobil murah, dan lain-lain) ditolak oleh beberapa kepala daerah.

Hemat saya, guna mengelola destruksi politik elite sembari mendorong pemerintahan yang bekerja, agenda kerja otonomi 2014 perlu difokuskan pada sejumlah perkara krusial berikut. Pertama, perihal agenda kebijakan, antara pemerintah dan DPR perlu berkonsensus ulang untuk bulan-bulan awal 2014 menuntaskan pembahasan paket UU Otonomi Daerah. Pada tarikan napas yang sama, mereka harus membangun tekad untuk moratorium pemekaran dan berfokus pada penataan 219 DOB yang sudah terbentuk. Saya sulit membayangkan semua itu
dilakukan bersamaan lantaran kendala teknis dan benturan versi kepentingan politik satu sama lain. Tanpa konsensus dan komitmen atas prioritas, kita tidak bisa menyelamatkan paket UU yang ada, bahkan hingga akhir tahun nanti.

Kedua, pemerintah pusat harus berhitung matang dan menahan diri dari kegemaran membuat kebijakan kontroversial dan inkonsisten secara horizontal (antarsektor) ataupun vertikal (pusat-daerah). Kewibawaan pusat banyak tergerus oleh sikap dan pola kebijakannya sendiri. Langkah koreksi ke depan adalah meningkatkan koordinasi dan pelibatan daerah dalam penyusunan inisiatif baru dan membuka sumbatan komunikasi yang selama ini membuat aliran informasi tidak lancar dan asimetris.

Instruksi dan pidato yang disiarkan media jelas tak selalu cocok di alam desentralisasi, apalagi dalam konteks 2014. Para menteri dan birokrat eselon strategis semestinya akan lebih banyak beredar di daerah, berkoordinasi, bahkan blusukan ke lapangan, tidak hanya mengandalkan gaya malas "pejabat" menunggu laporan atau mengundang daerah ke Jakarta.

Ketiga, pada 2014, belanja daerah (dana perimbangan) yang teralokasi di APBN mencapai Rp 582 triliun.  Ini jumlah yang besar dan meningkat cukup pesat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Agenda pokoknya: (1) perkuat kapasitas tata kelola anggaran guna menjamin daya serap optimal (saat ini rerata hanya 80-90 persen dari total belanja), proporsi alokasi yang memberat ke publik (saat ini belanja modal hanya 24 persen dari APBD) serta memastikan mutu laporan wajar tanpa pengecualian (WTP) di banyak daerah (saat ini baru 67 dari 539 daerah yang WTP). Selain itu: (2) perkuat instrumen pemeriksaan dan pengawasan keuangan, baik dari sisi teknokrasi (BPKP, BPK), hukum (KPK, Kejaksaan) maupun politik (DPR, DPRD).  Tanpa dilapisi kedua upaya tersebut, penyakit inefisiensi dan korupsi akan terus menghantui manajemen
fiskal di daerah, terutama pada tahun politik.

Memerangi manipulasi elite atas agenda otonomi tentu memerlukan segala ikhtiar besar dan fundamental. Namun, secara jangka pendek, terutama dalam konteks 2014, pilihan yang tersedia memang minimalis: mencegah kerusakan, syukur- syukur bisa mempromosikan kemajuan berarti. Apa boleh buat, kita telah membuang kesempatan baik pada 2013 ataupun tahun-tahun sebelumnya dan sekarang dipaksa bersikap realistis. Namun, tetap tak boleh ada ruang berkompromi atas penyimpangan, sembari pada sisi lain mencari aneka jalan lain membangun daerah tanpa selalu bergantung pada negara yang memang lama dan lebih kerap absen dalam relung kehidupan rakyat.     

Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003866374
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger