Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 Januari 2014

ANALISIS EKONOMI Tahun 2014 Bukan Tahun yang Mudah (A Tony Prasetiantono)

BARU saja kita melewati tahun 2013 dengan cukup susah payah. Pertumbuhan ekonomi memang diperkirakan masih bisa 5,7 persen atau 5,8 persen. Ini termasuk baik, melebihi India (4,9 persen), Malaysia (4,8 persen), Thailand (3 persen), Korea Selatan (2,8 persen), dan Singapura (3,6 persen). Namun, di balik itu, kita tidak berhasil menjaga rupiah sehingga terperosok ke level Rp 12.200 per dollar AS. Pelemahan rupiah secara signifikan ini akan merembet ke mana-mana, terutama tahun 2014.

Sebagai contoh, harga bahan bakar minyak (BBM) Pertamax saat ini Rp 11.700 per liter. Kenaikan harga ini bukan karena kenaikan harga minyak mentah dunia, yang saat ini masih stabil antara 94 dollar AS per barrel (WTI) dan 107 dollar AS per barrel (Brent). Kenaikan harga BBM lokal ini disebabkan oleh pelemahan rupiah.

Kenapa rupiah tak kunjung menguat, padahal BI berkali-kali menaikkan suku bunga hingga BI Rate kini 7,5 persen? Penjelasan secara teknis atau fundamental sering dieksplorasi. Pelemahan rupiah terutama disebabkan kombinasi faktor eksternal (rencana tapering off oleh Amerika Serikat) dan faktor internal (defisit perdagangan yang melebar). Di Asia, rupiah terdepresiasi paling dalam nomor dua setelah rupee India.

Bulan-bulan terakhir 2013 sebenarnya ada dua berita baik. Pertama, inflasi Desember 0,55 persen, di bawah kebiasaan selama ini mendekati 1 persen. Desember biasanya terjadi pertemuan antara belanja rumah tangga yang menikmati liburan dengan pemerintah dan korporasi yang sama-sama banyak belanja mengejar target sehingga rawan inflasi. Relatif rendahnya inflasi 0,55 persen bisa dimaknai pelaku ekonomi individual (rumah tangga) berhati-hati dalam membelanjakan dananya karena mulai mencium aroma krisis ekonomi. Secara keseluruhan, tahun 2013, inflasi "hanya" 8,38 persen, di bawah proyeksi 9 persen, setelah kenaikan harga BBM. Skenario sebelumnya inflasi 6 persen.

Kedua, perdagangan internasional mengalami surplus pada November sebesar 776 juta dollar AS. Hal itu cukup berarti sehingga bisa menahan defisit perdagangan selama 11 bulan pertama 2013 menjadi 5,6 miliar dollar AS. Kinerja ini setidaknya bisa menahan cadangan devisa agar tidak memburuk lebih lanjut pada level 97 miliar dollar AS.

Kombinasi antara inflasi mulai terkendali pada level yang dapat ditoleransi dan surplus perdagangan cukup signifikan semestinya akan berujung pada sentimen positif penguatan rupiah. Namun kenyataannya, rupiah melemah ke Rp 12.200 per dollar AS meski beranjak menguat ke Rp 12.160 per dollar AS akhir pekan lalu. Apa yang terjadi?

Memasuki Januari 2014, ingatan orang pun mau tak mau tertuju pada peristiwa 16 tahun silam. Hanya beberapa hari setelah Presiden Soeharto "takluk" kepada Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus, rupiah pun terpuruk menjadi Rp 17.000 per dollar AS pada 21 Januari 1998. Rekor terburuk dalam sejarah perekonomian Indonesia.

Hari-hari ini pun bisa jadi pemilik valuta asing enggan melepas dollarnya sembari berharap rupiah mencapai batas terendah, misalnya Rp 15.000 per dollar AS, sebelum mereka mau melepasnya dengan mengeruk untung (profit taking). Inilah logika pencari rente ekonomi yang harus dilawan. Situasi sekarang sesungguhnya berbeda dengan Januari 1998. Pada saat itu, kepercayaan kepada pemerintahan Orde Baru (Soeharto) berada pada titik terendah. Orang berharap segera terjadi reformasi (ganti rezim). Hanya dengan ini tingkat kepercayaan (confidence) bisa bangkit lagi. Rezim lama tak dapat dukungan lagi.

Hal ini berbeda dengan situasi sekarang. Memang ada ketidakpuasan atas kinerja pemerintah. Ini bisa dimengerti karena situasinya memang sulit. Sementara itu, kepercayaan kepada pemerintah juga banyak berkurang karena terungkapnya kasus-kasus korupsi di lingkaran elite pemerintahan. Ini menyakitkan rakyat dan pasar uang menghukumnya dengan pelemahan rupiah.

Meski demikian, rakyat tak berharap kasus tahun 1998 terulang. Tragedi 1998 terlalu pahit untuk sekadar dikenang. Tidak ada deja vu. Semua orang sabar dan setia menunggu asa baru yang dimulai dari pemilu, 9 April 2014. Karena itu, sebenarnya tidak ada cukup alasan untuk berharap agar rupiah menjadi semakin lemah dari posisinya sekarang.

Kalaupun rupiah kembali melemah, neraca perdagangan kita akan mampu melanjutkan, bahkan memperbesar surplus, sebagaimana krisis tahun 1998. Namun, masalahnya, depresiasi rupiah yang terlalu besar akan menciptakan masalah lain. Per November 2013, impor barang-barang modal (capital goods) turun hingga 17 persen. Sepintas, data ini bagus karena ikut menyumbang surplus perdagangan November 2013. Namun, jika dibiarkan, kita akan menuai dampak negatif di kemudian hari.

Berkurangnya impor barang modal ibarat perusahaan telekomunikasi yang tidak menginvestasikan modal kerja (capital expenditure) atau petani yang tidak menanam benih. Di kemudian hari, perusahaan dan petani itu tidak akan bisa memanen. Penurunan impor barang modal akan menyebabkan investasi mengalami penurunan. Mungkin dampaknya tidak seketika, tetapi melalui proses (time lag). Dalam triwulan pertama 2014 bisa jadi investasi akan menurun, yang berakibat pada penurunan pertumbuhan ekonomi.

Belum selesai masalah ini, tiba-tiba Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg per 1 Januari 2014. Mungkin Pertamina merasa ini aksi korporasi biasa yang "hanya" berpengaruh pada neraca laba-ruginya. Padahal, kenaikan harga elpiji ini membawa dampak ekonomi makro luas, terutama inflasi.

Apa yang harus dilakukan? Pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu persuasi dan meyakinkan para pengusaha dan pemilik valas bahwa situasi kini berbeda dengan tahun 1998. Jangan berharap rupiah menjadi Rp 15.000 per dollar AS. Kedua, realisasikanlah komitmen China, Korea Selatan, dan Jepang dalam kerangka skema Chiang Mai Initiatives untuk mencairkan dana guna memperbesar cadangan devisa kita. Ketiga, Pertamina harus berkoordinasi dengan pemerintah menaikkan harga elpiji. Kalaupun kenaikan harga ini punya argumentasi yang kuat, Pertamina harus berkonsultasi kepada pemerintah kapan waktu yang tepat. Kenaikan harga elpiji secara esensial mirip kenaikan harga BBM meski derajat sensitivitasnya lebih rendah.

Tahun 2014 bukan tahun mudah, seyogianya setiap kebijakan publik dikoordinasikan dengan baik dan berhati-hati.

A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003968255
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger