Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 Januari 2014

Platform Politik Perubahan (Lambang Trijono)

Meski sebenarnya belum waktunya, banyak calon presiden telah mendeklarasikan diri dalam kampanye politik melalui sejumlah media.
Namun, sangat terasa kampanye yang dilakukan selama ini secara umum belum menyuarakan platform politik perubahan untuk Indonesia ke depan yang begitu dinanti publik. Oleh karena itu, tak heran apabila kemudian publik masih terus merindukan kehadiran pemimpin dengan beragam kriteria. Ini kedengaran aneh karena bukankah sudah berkali-kali puluhan hasil survei politik telah menomorunggulkan para kandidat presiden.

Jika kita selami, kerinduan publik akan kehadiran pemimpin yang membawa perubahan itu bisa dimaklumi. Semakin menumpuk masalah yang dihadapi bangsa: nilai tukar rupiah masih lemah, ekonomi kian bergantung, kekerasan intoleransi masih merebak, dan instabilitas politik mengancam keutuhan republik. Dibutuhkan kualitas pemimpin tersendiri.

Harapan publik akan kehadiran pemimpin berkualitas memang sebaiknya terus dipupuk dan tidak boleh tergesa-gesa dipupus. Itulah memang satu-satunya cara kelembagaan yang paling bisa diharapkan untuk terjadinya perubahan. Namun, publik jangan sampai terlena mengumbar fantasi tanpa disertai rasionalitas politik. Demikian pula para pemimpin, jangan sampai melakukan kampanye politik jauh dari realitas masalah yang dihadapi bangsa.

Bahaya demagogi
Mengimajinasikan masa depan Indonesia barangkali merupakan cara paling tepat membebaskan diri kita dari segala jebakan fantasi artifisial dan irasionalitas politik. Kita harus selalu ingat, demokrasi telah membuka lebar-lebar ruang politik akibat tiada lagi penanda besar kepastian siapa yang akan memimpin sebuah negara ketika hal itu sepenuhnya diserahkan kepada kedaulatan rakyat.

Di atas semua itu, demokrasi sebagai ruang politik terbuka (yang kadang-kadang ruang kekuasaan terlihat kosong itu) bisa diisi apa saja ketika kita tidak sepenuhnya menyadari untuk selalu mengisinya dengan tindakan politik penuh arti. Bahaya irasionalitas politik itu bisa datang dari mana saja, entah dari publik ataupun dari subyek pemimpin.

Banyak kasus menunjukkan, bahaya demagogi politik selalu mengintai politik demokrasi, terutama ketika demokrasi mengalami krisis, yaitu ketika besarnya harapan publik tidak diimbangi kapasitas pemimpin, atau di luar kapabilitasnya memenuhi harapan. Seperti terjadi di banyak negara, kesulitan hidup dihadapi rakyat justru sering kali dimanipulasi pemimpin demagog, entah dari kelompok ekstrem tengah-kanan ataupun konservatif tengah-kiri dengan melantunkan janji-janji mesianistik tanpa disertai dengan realitas politik perubahan.

Kita sesungguhnya sudah sangat berpengalaman mengenali bahaya demagogi politik tersebut dari sejarah politik kita sesudah revolusi kemerdekaan, yang kini juga kita temukan tanda-tandanya sesudah reformasi yang seakan-akan usai ini. Namun, menghadapi ruang demokrasi yang begitu terbuka itu, kita tidak boleh salah dalam mengisinya dengan kembali menghadirkan politik otoritarianisme.

Platform perubahan
Berpijak pada harapan publik tersebut, kita harus memberi kesempatan terbuka kepada siapa saja calon pemimpin bangsa tampil ke depan. Tidak hanya demi menghargai hak-hak politiknya sebagai warga negara, tetapi juga untuk memupuk kemampuan kolektifnya sebagai pemimpin yang memang dalam kodratnya harus selalu bergandengan erat dengan tangan publik.

Sejumlah tantangan yang dihadapi bangsa itu terlalu riskan untuk diabaikan. Bahaya kemunculan pemimpin demagogik harus kita tepis jauh-jauh sejak awal sebelum perhelatan kampanye Pemilu 2014 dibuka dengan membuka segala kemungkinan kehadiran pemimpin yang lebih mengedepankan platform politik daripada fantasi politik.

Memang kita sadari, menghadirkan pemimpin mampu mengimajinasikan masa depan Indonesia dengan genggaman platform politik perubahan di tangan bukan perkara mudah. Subyek politik tak selalu mudah mewujudkan artikulasi politiknya ke dalam realitas begitu diskursif dari praktik politik. Sama tidak mudahnya dengan mengatasi konflik yang selalu muncul di antara subyek politik yang begitu plural untuk mencapai kepentingan umum atau publik.

Namun, bukankah praktik demokrasi yang kita jalankan selama ini bisa dijadikan pengalaman sekaligus guru politik sangat berharga? Liberalisme politik yang kita lakukan bukan tak ada gunanya. Justru dari sinilah kita mendapat penguatan atas hak, kebebasan, dan otonomi kita sehingga mudah bagi kita melakukan aktivasi politik dan ekspansi demokratis ke dalam ranah publik. Tentu saja harus disertai semangat kesetaraan di antara kita sehingga bisa dicapai titik temu yang mampu merajut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.

Lambang Trijono
Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003718758
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger