Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 Januari 2014

TAJUK RENCANA Alam, Manusia, dan Relasinya (Kompas)

DALAM riwayatnya, hubungan manusia dan alam sering mengikuti pandangan dialektika filsuf Hegel. Manakala ada tantangan dari alam, manusia meresponsnya.
Masalah teratasi, alam akan memunculkan tantangan yang lebih canggih. Manusia pun lalu harus meresponsnya dengan ilmu dan teknologi yang lebih canggih lagi.

Merefleksikan pandangan di atas untuk bencana alam banjir, longsor, dan gunung erupsi, yang hari-hari ini menghiasi warta berita di media massa, kita dapat menuliskan beberapa catatan.

Pertama, bagi bangsa pembelajar, setidaknya ada mitigasi, antisipasi, dan simulasi yang dilakukan sebagai persiapan. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengurangi dampak bencana.

Memang, di sini pun daya manusia juga tetap ada batasnya. Misalnya saja, kurang apa hebatnya Jepang dalam mempelajari dan mempersiapkan diri menghadapi gempa bumi dan tsunami. Namun, tatkala terjadi gempa dan tsunami besar pada Maret 2011, Jepang masih mengalami dampak bencana yang amat hebat.

Itu tak bisa dimungkiri. Namun, argumen belum selesai. Lanjutannya mengatakan, dampak itu berat, tetapi untuk besarnya skala bencana, dampak itu relatif masih lebih kecil daripada kalau tanpa persiapan sama sekali.

 

Hal kedua, selain pembelajar, otoritas, dalam hal ini pemerintah, seharusnya memiliki karakter yang mencerminkan falsafah gouverner c'est prevoir, bahwa memerintah itu melihat lebih dahulu. Hal ini mensyaratkan bahwa pemerintah seharusnya visioner dan untuk bisa seperti itu ia harus kompeten.

Apa konkretnya kompeten untuk penanganan bencana? Ia memiliki perencanaan, tidak saja untuk setahun, tetapi juga bahkan setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Lalu, bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Harian ini, Kamis (23/1), menurunkan berita utama tentang pemerintah yang gagap menanggapi bencana.

Tentu saja kita mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. Namun, inilah saat untuk bertanya kepada diri sendiri, sudah cukupkah apa yang telah kita lakukan sebelum ini? Apakah yang telah kita lakukan sudah tidak lagi masuk dalam kategori too little, too late?

Pertanyaan terakhir itu perlu kita jawab dengan tegas. Pertama, karena bencana yang sudah teramalkan setiap tahun relatif masih belum tertangani dengan memuaskan, baik dari upaya pencegahannya maupun penanggulangannya.

Kedua, yang tidak kalah penting, kita sudah tidak perlu bukti lagi tentang adanya perubahan iklim atau pemanasan global. Ekstremitas cuaca yang kini kita saksikan di pelbagai penjuru dunia adalah bukti yang meyakinkan. Jangan sampai kita terperosok menjadi bangsa nir-pembelajaran dua kali.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004341980
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger