Oleh AMALIA E MAULANA, PH.D. Brand Consultant & Ethnographer Director, ETNOMARK Consulting @etnoamalia
”Hondamu merek apa?” ”Mbak, tolong belikan Ibu Indomilk yang merek Bendera ya?” ”Saat ini saya sedang minum Aqua yang mereknya Club” Ketiga kalimat tersebut ada yang aneh.
Bukankah Honda, Indomilk, dan Aqua adalah merek juga? Mengapa ketiganya digunakan untuk menggambarkan produk secara umum? Honda diilustrasikan sebagai ’sepeda motor’. Indomilk digunakan pada saat seorang ibu ingin mengatakan ’susu kental manis’. Aqua sendiri secara luas digunakan pada saat sedang membahas air mineral. Masih banyak perusahaan dan brand manager yang menganggap apabila sebuah brandsudah dianggap sebagai sebuah kategori seperti di atas, itu adalah sebuah prestasi luar biasa.
Dalam pemahaman saya, bisa saja ini adalah alert tanda bahaya. Jika brand dikenal (aware) tetapi pilihannya adalah brandlain seperti ketiga kasus di atas, maka berapa pun biaya promosi dan komunikasi yang akan dikeluarkannya, yang mendapatkan keuntungan adalah kategori produknya, bukan brandnya secara independen. Situasi ini harus disikapi segera.
Mengukur Brand Awareness
Dalam konsep Customer- Based BrandEquity(CBBE) yangdiperkenalkan oleh Kevin Keller, mahaguru branding yang akan hadir di Jakarta minggu depan, pengukuran brandawarenessdigambarkan di bagian bawah dari piramida. Awareness atau dalam istilah Keller disebut Salience menunjukkan pengenalan terhadap sebuah nama brand dan berbagai aspek atau kata kunci yang diasosiasikan dengan brandtersebut.
Menggambarkan hal-hal yang fundamental dari apa yang dipikirkan oleh konsumen pada saat mendengar sebuah brand disebutkan dan bagaimana kedalaman pemahaman arti kata tersebut di benaknya. Responden sebenarnya berpikir sederhana saja dan tidak bermaksud untuk ’bohong’ dalam riset, tetapi kenyataan bahwa saat ini ada luar biasa banyaknya brand di pasar, membuat semua tipe riset harus didesain ulang dengan memperhatikan keterbatasan benak konsumen dalam ’recall’ awareness.
Pertanyaan dalam riset pengukuran brand awareness harus memperhatikan beberapa hal karena brand awareness ini terkadang ’tricky’ pada saat kita berbicara sebuah brand yang sudah dianggap sebagai generik seperti contoh terhadap Honda, Indomilk, dan Aqua. Selain itu, dalam riset brand awareness juga masih ada jebakan lain yang menyesatkan. Pada saat sebuah brand sudah proliferasi menjadi berbagai varian dan berbagai kategori (yang menyimpang dari induknya), di sinilah sering terjadi mixed-up, tercampur antara nilai awarenessbrandyang seharusnya dituju vs pemahaman brand benchmark (yang sebenarnya keluar dari konteks pertanyaan).
Berbagai brandbesar mengembangkan bisnisnya melalui strategi (1) line extension(eksis di banyak varian) dan (2) brand extension (eksis di beberapa kategori produk). Seorang brand manager perlu lebih teliti lagi dalam riset feedback konsumen, karena konsumen punya basis knowledge yang berbeda-beda. Seperti yang kita tahu brand awareness Coca Cola mungkin sudah mendekati angka 100. Namun, yang kita belum tahu adalah seperti apa brand awareness Coca Cola Zero sebagai produk baru mereka. Siapa yang tidak mengenal brand Yamaha di Indonesia? Brand ini sudah sangat dikenal luas.
Tetapi harus diingat bahwa Yamaha itu bukan hanya digunakan untuk produk motor, tetapi untuk berbagai kategori produk lainnya. Salah satunya yang tidak kalah menonjol adalah Yamaha Music, dari alat musiknya sendiri hingga tempat kursus musiknya yang banyak dijumpai di ruko-ruko. Seperti juga menanyakan brandHonda ke konsumen Indonesia. Yang pertama kali harus jelas dahulu adalah apakah konsumen sedang diajak berbicara tentang mobil Honda atau motor Honda?
Karena keduanya punya ’makna’ yang belum tentu sama. Bahkan karena pengelola brand mobil dan brand motor ini pun berbeda, bisa jadi mereka memberikan makna yang jika masuk di benak konsumen menjadi simpang siur. Terlebih lagi di berbagai daerah di Indonesia, nama Honda rupanya sudah punya arti yang lebih luas dibandingkan arti awalnya. Di Jawa Timur, misalnya, mayoritas masyarakatnya menyebutkan istilah Honda untuk menyebutkan produk sepeda motor.
Apa pun mereknya, tetap Honda sebutannya. Mungkin sebagian besar dari kita sudah mengenal J-Lo sebagai seorang artis serbabisa, menyanyi, menari dan bermain film. Tetapi belum semua orang yang menjadi target audience-nya menyadari bahwa J-Lo sudah lama berbisnis fesyen dan parfum. Kesulitan dalam riset brand awareness adalah adanya ’halo effect’ dari brand utama yang sudah lebih mapan. Adakalanya riset tidak secara spesifik bertanya produk kategori tertentu sehingga konsumen salah menjawab.
Namun, ada juga saat di mana konsumen hanya mengandalkan pengetahuan konsumen di produk lain sehingga tanpa sadar ia menyatakan dirinya mengenal JLo parfum padahal ia hanya mengenal J-Lo artis. Dalam riset kepuasan pelanggan, kemungkinan adanya kesalahan dalam memahami pertanyaan dan tercampurnya sebuah informasi dari ’parent brand’ ke ’individu brand’ ini harus diantisipasi.
Jika dibutuhkan, pertanyaannya harus diulang dengan kalimat pertanyaan yang berbeda. Atau, digunakan alat bantu seperti foto dan penjelasan kategori produk sehingga meminimalkan kerancuan pemahaman segenap produk tersebut.
Kaveling Benak Konsumen
Bombardir berjuta nama brand dari sejak bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, membuat benak konsumen penuh sesak. Kaveling di benak tidak ada lagi yang tersisa, semua brandberusaha mencari tempat di sana. Semua brand butuh tempat. Butuh kaveling di benak konsumen. Agar bisa dikenal. Dikaitkan dengan asosiasi kata kunci yang benar. Sebagai seorang pemasar, membangun awareness sebuah brand adalah pekerjaan yang sangat penting.
_Brandawarenessmerupakan pintu gerbang dalam prestasi pembinaan prestasi sebuah brand. Tanpa awarenessyang cukup, maka percuma mengadakan campaignuntuk mengisi makna, memberikan ’reasons to buy’ dan bahkan promosi untuk mempertahankan loyalitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar