oleh AHMAD ERANI YUSTIKA, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Sampul majalah The Economist, edisi 15–21 Februari 2014, menimbulkan gelora saya untuk melihatnya secara detail. Foto memperlihatkan bagian belakang Lionel Messi yang sedang berjalan dengan memakai kostum Argentina bernomor punggung 10.
Sebagai penikmat sepak bola tentu sampul ini bercerita banyak, sebab dia adalah pemain paling hebat sejagat sekarang, bersaing dengan Christiano Ronaldo. Namun, sebagai ekonom, saya tentu lebih tertarik lagi dengan judul sampul majalah tersebut: The Parable of Argentina. Tentu maknanya segera bisa ditangkap dari sinyal judul tersebut. Benar, Argentina yang sedang terpuruk dan memiliki prospek ekonomi ke depan yang tak menggembirakan.
Satu abad lalu Argentina disebut sebagai ”the country of the future”, bahkan dianggap akan mengungguli Brasil, Cile, dan beberapa negara besar Eropa (Jerman, Prancis, dan Italia). Faktanya, saat ini Argentina tertinggal jauh ekonominya, bukan hanya dari negara Eropa, bahkan juga dengan tetangganya sendiri.
Tiga Argumen
Majalah tersebut menyebut tiga argumen kunci yang menyebabkan ekonomi Argentina terpuruk: kelembagaan yang rapuh, politisi yang berpikiran sempit, dan kebijakan ekonomi yang tak berdamai dengan realitas. Kelembagaan yang keropos merupakan persoalan jamak di negara berkembang, tak hanya eksklusif Argentina. Regulasi tak mengatur detail kegiatan-kegiatan ekonomi sehingga dengan gampang moral hazard menyeruak.
Jika aturan main telah dibuat, kerap cepat berubah sehingga sulit menjadi panduan pelaku ekonomi. Misalnya, aturan main mengenai investasi. Implikasinya, investor tidak mempunyai kepastian dan jera melakukan ekspansi atau membuka usaha. Parahnya lagi, apabila regulasi sudah tersedia, bahkan lengkap, tapi tak ada penegakan. Jadi, pemerintah sudah membuat kebijakan yang memiliki kekuatan hukum tetap, tapi tak dieksekusi sehingga perilaku menyimpang pun tidak dikenai penalti, seperti praktik pembajakan.
Nyaris tidak ada perlindungan terhadap hak kepemilikan, meski sudah ada aturannya. Bagaimana dengan tabiat politisi? Pada umumnya perilaku mereka dituntun oleh dua motif. Pertama, pada batas tertentu politisi wajar berpikiran sempit karena ada desakan konstituen atau kepentingan partai. Ini jamak terjadi di mana pun, bahkan dalam sistem yang paling demokratis sekalipun. Kedua, dalam banyak kasus politisi tak memiliki cadangan gagasan yang memadai, apalagi isu yang rumit.
Mereka tidak mempunyai kapasitas teknis, sehingga mudah sekali pikiran mereka dipengaruhi oleh opini publik yang disuarakan oleh kelompok-kelompok strategis, seperti akademisi, lembaga nonpemerintah, dan lainlain. Sampai sekarang belum ada obat yang manjur untuk mengatasi patologi ini. Terakhir, negara-negara Amerika Latin memang selama ini penganut ideologi ekonomi yang ketat. Watak ekonomi sosialis melekat begitu dalam, sehingga kebijakan populisme dirawat dengan disiplin tinggi, berapa pun ongkosnya.
Argentina termasuk dalam gerbong ini, sedangkan Brasil relatif dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Jika melihat data makroekonomi Argentina, sebetulnya tidaklah semuanya buruk. Pendapatan per kapita, meskipun makin ke- tinggalandari negara Eropadantetangganya, namun masih tergolong tinggi, yaitu sekitar USD13.000. Indonesia sendiri saat ini pendapatan per kapitanya pada kisaran USD4.000. Pertumbuhan ekonomi fluktuatif, namun pada 2010 tumbuh fantastis 9,2% dan 2011 sebesar 8,9%.
Tapi pada 2012, pertumbuhan ekonomi jatuh menjadi 1,9% dan pada Triwulan III-2013 naik lagi menjadi 5,5%. Pengangguran sampai Triwulan III-2013 sekitar 6,8%, hampir sama dengan Indonesia. Neraca perdagangannya cukup bagus, di mana pada 2012 surplus USD12,4 miliar, padahal pada saat yang sama Indonesia defisit USD1,63 miliar. Khusus untuk inflasi, kinerja Argentina memang buruk karena selalu pada kisaran 10% (BCRA, 2013). Pada masa lalu memang inflasi ini menjadi persoalan serius di Argentina, bahkan hiperinflasi kerap terjadi di sana (hingga ribuan persen).
Investasi Kelembagaan
Data pendapatan per kapita mungkin menarik untuk diselisik lebih lanjut. Jika membandingkan pendapatan per kapita Argentina dengan Brasil, Italia, Jerman, Prancis, Jepang, Inggris, Australia, dan AS pada kurun waktu 100 tahun terakhir, maka berikut ini gambarannya.
Pada tahun 1900 pendapatan per kapita Argentina 400% lebih tinggi dari Brasil; 250% dari pendapatan per kapita Jepang; 170% dari pendapatan per kapita Italia; sama dengan pendapatan per kapita Prancis; dan sekitar 70% dari pendapatan per kapita AS dan Australia. Apabila data yang sama dilihat kembali pada 2010, perubahan yang terjadi begitu kontras. Pada kondisi 2010, pendapatan per kapita Argentina 30-40% dari pendapatan per kapita negara-negara tersebut, kecuali Brasil (The Economist, 2014).
Jadi, dalam kurun waktu 110 tahun segalanya telah berubah dan Argentina berada di pihak yang ”kalah”. Persoalan ini bisa diulas secara mendalam, namun dalam ruang yang terbatas ini penting membahas isu yang lebih relevan: apakah Argentina hanya sendirian? Bagaimana mencegah hal ini? Argentina tentu tidak sendirian. Bahkan, ada contoh yang sangat dekat yakni Indonesia. Pada saat mulai melakukan pembangunan ekonomi secara sistematis pada akhir dekade 1960-an, pendapatan per kapita Indonesia masih lebih bagus ketimbang China dan Malaysia.
Namun, sejak dekade 1990-an, setelah dihajar krisis ekonomi 1997/1998, pendapatan per kapita nasional disusul dengan cepat oleh Malaysia dan China. Sekarang India dan Vietnam membuntuti Indonesia, bahkan pada 2030 kelak pendapatan per kapita India dan Indonesia hampir sama dan pada 2050 India telah melampaui Indonesia (ADB, 2012). Cerita ini menjadi mirip dengan Argentina karena Indonesia sejak lama juga diangankan juga sebagai negara ideal yang akan menjadi poros kemajuan ekonomi.
Bahkan, saat ini bersama dengan Turki, Brasil, Meksiko, Rusia, China, Korsel, dan India; Indonesia masuk dalam radar ekonomi hebat di masa depan. Tapi jika tak hati-hati, nasib Indonesia akan seperti Argentina saat ini. Lantas, apa pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar peristiwa kelam itu tak terjadi? Saya tak terlampau tertarik dengan ukuran pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per kapita, meski boleh saja itu dipakai. Butuh lebih 100 tahun untuk bisa mengejar ketertinggalan dari sisi itu dibandingkan dengan negara maju.
Namun, kita bisa melampaui negara maju secara lebih cepat apabila mau mengerjakan investasi kelembagaan, pengetahuan (pendidikan), dan kapabilitas negara. Investasi kelembagaan penting untuk membingkai kegiatan ekonomi berjalan secara adil bisa diakses oleh semua orang, dan menjamin kepastian. Pengetahuan berkontribusi kepada cara kegiatan ekonomi dilakukan sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih banyak.
Kapabilitas negara dimaksudkan sebagai kemampuan mengeksekusi setiap kebijakan yang telah diproduksi. Selebihnya, ideologi memang harus hidup dan jelas, tapi juga mesti berdamai dengan realitas yang berubah setiap hari. Resep ini memang tak menjamin keberhasilan secara utuh, namun sekurangnya bisa meminimalisasi penyakit seperti di Argentina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar