Pertanyaan ini relatif mudah dijawab. Kita bisa tahu secara akurat jumlah korban, nama, domisili, dan identitas demografis lain dari korban. Namun, tidak demikian halnya dengan korban korupsi. Siapa korban korupsi proyek Hambalang? Siapa korban korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah? Paling banter kita mengatakan bahwa korban kasus korupsi adalah rakyat, publik, atau warga.
Busyro Muqoddas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengatakan, "Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang membunuh rakyat pelan-pelan. Rakyat adalah korban korupsi yang paling menderita."
Klaim tersebut sebenarnya lebih retorika ketimbang faktual. Jika ditanya lebih lanjut siapa, berapa, di mana dan bagaimana kondisi para korban korupsi itu, pasti tak terjawab. Mengapa sulit mengenali korban korupsi?
Berat sebelah
Pertama, berat sebelah fokus. Selama ini perhatian kita terfokus pada sosok pelaku korupsi (koruptor). Badan pengetahuan (body knowledge) kita tentang koruptor sangat baik dan lengkap. Kita tahu siapa pelakunya, apa motifnya, bagaimana rencana, tujuan, dan modusnya, aliran dananya, modus penyelamatan aset hasil korupsi, bagaimana konteks dan lingkungan yang menyebabkan seseorang korupsi, dan lain-lain. Termasuk kita memikirkan secara serius bagaimana menghukum koruptor supaya menimbulkan efek jera.
Namun, tidak demikian halnya dengan korban korupsi. Aneh memang, korupsi membuncah di mana-mana, menyeret ribuan koruptor, menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah, tetapi kita tidak bisa menemukan dan mengenali korban korupsi. Karena itu, mulai sekarang kita harus menggeser fokus perhatian kepada korban. Ini langkah pertama dan penting dalam memuliakan korban korupsi.
Kedua, berat sebelah analisis. Selama ini analisis kerugian korupsi lebih berfokus pada analisis kerugian negara. Yang dibicarakan berapa nilai kerugian keuangan negara, bagaimana membuktikan, dan bagaimana mengembalikan uang dan aset yang dicuri ke kas negara.
Kita kurang memberikan perhatian pada kerugian sosial. Ke depan kita harus lebih serius menggali dan mengakumulasi pengetahuan tentang kerugian sosial korupsi, yaitu kerugian yang terjadi dan dipikul masyarakat (juga lingkungan hidup), baik perorangan, kelompok warga, maupun komunitas. Termasuk di dalamnya kerugian pada perempuan, anak-anak, kelompok minoritas, dan marginal lainnya.
Ketiga, implikasi langsung dari berat sebelah fokus dan berat sebelah analisis adalah terjadinya berat sebelah pisau (alat) analisis. Karena aspek yang dianalisis adalah kerugian keuangan negara, pisau atau alat analisis yang banyak dipakai dan dikembangkan adalah audit keuangan.
Ke depan, alat analisis ini tentu masih bisa dipakai, tetapi jelas tak memadai. Kita harus mengembangkan dan menggunakan audit sosial lebih serius.
Dengan audit sosial yang baik dan ajeg kita bisa mengetahui aktualisasi dan impak belanja-belanja pemerintah di tingkat masyarakat atau pelaksanaan program, proyek atau kegiatan pembangunan. Selain efisiensi, efektivitas penggunaan audit sosial juga memungkinkan kita menggali informasi tentang masukan, keluaran, dampak, dan yang lebih penting kelompok sasaran mendapat manfaat atau tidak.
Penggunaan metode ini secara partisipatif menjanjikan hasil lain, yaitu kelompok sasaran program secara bersamaan bisa diberdayakan secara politik. Ini sangat penting sehingga memungkinkan mereka mereklaim hak sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang hilang karena dikorupsi.
Keempat, sikap minimalis dan subsistensi warga. Sulit rasanya bagi seorang warga atau komunitas untuk secara sukarela berani mengklaim dan memberikan testimoni (kesaksian) bahwa dirinya (mereka) adalah korban korupsi dari sebuah proyek atau program pembangunan.
Misalnya, para orangtua atau siswa penerima dana bantuan operasional sekolah (BOS) tidak merasa dirinya korban korupsi meski nilai uang BOS yang mereka terima disunat. Ada sikap minimalis dan subsisten di sini: menerima sedikit saja sudah untung. Sikap yang sama bisa kita temukan di berbagai lembaga penerima dana bantuan. Alih-alih bersikap kritis mempertanyakan dari mana sumber dana, mekanismenya, para pengurus organisasi ini cenderung menerima saja bantuan dana hibah atau bantuan sosial yang digelontorkan kepala daerah atau para politisi jelang pemilihan umum. Sikap ini merupakan lahan subur para koruptor untuk "mencuci uang" hasil korupsinya.
Sikap ini tentu bukan sebuah kutukan, melainkan produk dari gejala gagal paham. Warga dan komunitas yang diasumsikan sebagai "korban" korupsi, plus para aktivis anti korupsinya, mengalami gejala gagal paham.
Mereka gagal memahami hubungan penting ini: 1) relasi kekuasaan negara dengan warga dalam pembiayaan biaya operasional pemerintahan dan pembangunan, 2) posisi dan keterlibatan warga dalam proses dan kebijakan anggaran, 3) posisi dan keterlibatan warga dalam merancang, melaksanakan dan memantau program/kegiatan pembangunan. Karena gagal memahami ketiga jenis relasi ini, gagal juga dalam merumuskan posisi politiknya sehingga gagap mereklaim hak sosial ekonomi dan politik yang hilang akibat korupsi.
Dengan pendidikan politik warga yang baik, sikap tersebut bisa diubah sehingga warga lebih pintar dan militan.
Agenda ke depan
Ada empat agenda penting ke depan dalam upaya kita memuliakan korban korupsi. Pertama, membangun dan mengakumulasi pengetahuan dan praksis tentang korban korupsi, kerugian sosial, dan audit sosial. Pemahaman kita tentang ketiga hal itu harus sama baiknya dengan pemahaman kita tentang koruptor, kerugian negara, dan audit keuangan.
Ke depan pemahaman kedua sisi jadi lebih simetris. Lembaga riset bisa berperan penting dalam proses membangun dan mengakumulasi pengetahuan ini.
Kedua, penguatan korban korupsi. Tentu saja upaya membangun dan mengakumulasi pengetahuan tersebut bukan hanya untuk memenuhi hasrat latihan intelektual semata, melainkan juga ikhtiar penting untuk memperkuat korban-korban korupsi.
Ada dua komponen penting di sini: 1) meningkatkan kapasitas korban korupsi sehingga memahami proses korupsi dan terampil mereklaim hak ekonomi, politik. dan sosial yang tidak terpenuhi karena berkecamuknya korupsi; 2) mendekonstruksi nilai-nilai yang tak cocok dan menghambat korban korupsi memahami korupsi dan terampil mereklaim hak-haknya.
Bersamaan dengan proses dekonstruksi ini, kita harus merekonstruksi nilai-nilai dan pandangan yang mendukung korban korupsi melawan kezaliman dan ketidakadilan korupsi.
Ketiga, mengembangkan lembaga advokasi korban korupsi. Memuliakan korban korupsi merupakan ranah kerja advokasi baru. Lembaga advokasi yang ada, seperti Lembaga Bantuan Hukum, sudah bisa menangani korban-korban konflik agraria, hubungan industrial, pelanggaran HAM, dan lain-lain.
Namun, sependek pengetahuan saya, belum ada lembaga advokasi yang mumpuni menangani korban korupsi. Di sinilah urgensinya mengembangkan kapasitas dan kompetensi lembaga advokasi yang menangani korban korupsi. Termasuk dalam upaya ini adalah mengembangkan kompetensi paralegal menangani isu korban korupsi.
Keempat, membangun infrastruktur kelembagaan penanganan korban korupsi. Perangkat kelembagaan baik peraturan, organisasi pelaksana, kewenangan, dan anggarannya harus disiapkan. Relatif mudahnya mengenali dan menangani korban bencana alam dan korban pelanggaran HAM dimungkinkan oleh adanya perangkat kelembagaan lebih siap meski tidak selalu berhasil.
Agenda di sini cukup jelas, bagaimana misalnya kita mereklaim kerugian sosial ke dalam peraturan dan perundangan. Dari segi kelembagaan, mungkin Komisi HAM diperluas kewenangan dan tugasnya untuk juga menangani korban korupsi. Tak sulit mengintegrasikan isu memuliakan korban korupsi ke dalam isu HAM karena keduanya sekerabat. Korupsi potensial menyukat pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, politik dan budaya warga.
Jika serius berkomitmen dan mengerjakan keempat agenda itu, sebenarnya kita bukan hanya memuliakan korban korupsi, tetapi juga memberantas kemiskinan, pemiskinan, dan pemenuhan HAM.
(Dedi Haryadi, Deputi Sekjen Transparansi International Indonesia)
Sumber: Kompas cetak edisi 27 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar