Penguatan rupiah, sebagaimana halnya sebelumnya pelemahan rupiah hingga Rp 12.200 per dollar AS, selalu disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa dinamika perekonomian global, terutama yang terjadi di Amerika Serikat. Adapun faktor internal—sebenarnya juga tidak sepenuhnya internal karena banyak variabel ekonomi global yang memengaruhinya —mengacu pada kondisi obyektif kinerja fundamental ekonomi (economic fundamentals), seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, neraca pembayaran, neraca transaksi berjalan, dan neraca perdagangan.
Dari sisi eksternal, penguatan rupiah terjadi karena arus modal masuk (capital inflows) yang kencang. Ini bisa dideteksi dari bergairahnya pasar modal sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat 4.623 pada Senin (24/2). Dominasi investor asing di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih sangat besar, diperkirakan sedikitnya 50 persen. Fluktuasi IHSG banyak ditentukan oleh aktivitas investor asing.
Peristiwa ini tidak cuma di Indonesia. Di India, mata uang rupee yang selama ini paling tajam terdepresiasi selain rupiah, juga mendadak menguat karena ditopang oleh masuknya dana global (The Economic Times, 24/1). Mata uang India praktis bisa kita pakai sebagai pembanding (benchmark) karena ada beberapa kesamaan karakteristik dengan kita. Kedua negara sama-sama merupakan negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (emerging countries) yang belakangan ini sama-sama kedodoran dalam hal infrastruktur sehingga mulai kurang diminati investor global.
Faktor stimulus ekonomi AS
Mengapa dana global yang semula mengalir ke New York kini mulai beralih ke negara-negara emerging markets? Jawabnya adalah di AS sendiri timbul polemik seputar stimulus ekonomi. Pengurangan stimulus ekonomi menimbulkan dua kubu. Dari kubu Partai Republik (oposisi), cenderung mengkritik efektivitas stimulus ekonomi yang dilakukan pemerintah federal. Defisit fiskal rata-rata 1 triliun dollar AS diragukan efektivitasnya, bahkan diramalkan akan menyebabkan
crowding out, yakni suku bunga akan terdorong ke atas.
Namun, Paul Krugman membantah dugaan ini ("The Stimulus Tragedy", The New York Times, 22/1). Stimulus fiskal tidak terbukti menyebabkan crowding out. Buktinya, suku bunga terus diturunkan hingga mencapai level terendah sepanjang sejarah AS, yakni sekitar 0,25 persen. Tren suku bunga rendah ini juga terjadi di Eropa. Bank Sentral Eropa (ECB) juga menetapkan suku bunga acuan 0,25 persen. Semua ini dimaksudkan untuk memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi.
Editorial koran The New York Times (22/1) juga mencatat serangkaian data yang menunjukkan bahwa sejak stimulus dikeluarkan Presiden Barack Obama pada 2009, telah dibangun 72.000 kilometer jalan, 2.700 jembatan diganti atau diperbaiki, tercipta 1,6 juta pekerjaan setiap tahun. Jika tidak ada stimulus, 5,3 juta orang akan menjadi miskin. Karena itu, stimulus seyogianya dilanjutkan karena telah terbukti efektivitasnya.
Stimulus lain, yakni pencetakan uang untuk membeli kembali obligasi Pemerintah AS (quantitative easing), semula diperkirakan akan berakhir pada Oktober 2014. Kepala The Fed yang baru, Janet Yellen, diduga akan mengeksekusinya. Namun, sekarang muncul banyak pendapat bahwa stimulus masih perlu dilanjutkan. Polemik ini memicu kebingungan para investor yang semula sudah memegang erat aset-asetnya dalam denominasi dollar AS yang kemudian mengalirkan dananya ke emerging markets. Inilah fenomena yang menyebabkan rupiah dan rupee yang semula paling terpuruk di antara mata uang Asia, kini cenderung menguat.
Dampak dari mengalir-masuknya modal asing ini adalah meningkatnya cadangan devisa kita, kini kembali di atas batas psikologis 100 miliar dollar AS. Itulah sebabnya rupiah terus menguat.
Sementara itu, di sisi lain, memang terjadi perbaikan dalam indikator ekonomi makro kita. Yang paling utama adalah neraca keseimbangan eksternal (external balance). Data terbaru neraca perdagangan, November dan Desember 2013 mencatat surplus yang signifikan. Surplus Desember 2013 sangat mengesankan: 1,52 miliar dollar AS. Sepanjang 2013, meski masih mencatat defisit 4 miliar dollar AS, angka ini lebih rendah daripada ekspektasi semula 5 miliar dollar AS-6 miliar dollar AS. Begitu pula defisit transaksi berjalan 28 miliar dollar AS berada di bawah proyeksi semula 32 miliar dollar AS.
Membaiknya kinerja ekspor dan menurunnya ekspor hampir pasti disebabkan oleh melemahnya rupiah. Kejadian ini mirip dengan peristiwa krisis 1998 ketika rupiah melemah ke level Rp 12.000 per dollar AS, daya saing produk kita serta-merta meningkat. Ekspor pun meningkat, sementara impor melemah sehingga surplus perdagangan melebar.
Hal ini berkebalikan dengan yang terjadi di AS. Jika pengurangan stimulus moneter (tapering off) dilanjutkan, dollar AS akan terus meroket tajam. Ini tidak baik bagi neraca perdagangan AS yang sudah defisit besar, terutama terhadap China. Apa lagi mata uang China (yuan) sekarang justru sedang melemah seiring dengan melemahnya indikator ekonomi makronya, terutama pertumbuhan ekonomi yang "hanya" 7,7 persen atau level terendah sejak 2001.
Seperti diketahui, Pemerintah China mengawal ketat pergerakan kurs yuan dan hanya mengizinkan yuan berfluktuasi 1 persen dalam sehari (Bloomberg, 25/2). Sistem kurs ini dimungkinkan karena Pemerintah China memiliki cadangan devisa terbesar di dunia: 3,8 triliun AS.
Pesan yang bisa diperoleh dari fenomena ini adalah modal global akan senantiasa mondar-mandir dari negara
maju (AS dan Eropa) ke negara-negara emerging markets (China, India, Indonesia, Brasil). Dinamika ini begitu cepat atau sensitif. Hanya dengan wacana tapering off, di mana stimulus QE diturunkan dari 85 miliar dollar AS ke 65 miliar dollar
AS, sudah cukup membuat rupiah terpuruk ke Rp 12.200 per dollar AS. Sebaliknya, perdebatan tentang efektivitas stimulus di AS ternyata mampu mendorong dana global dikirim ke Jakarta sehingga IHSG berada di zona hijau 4.600-an dan rupiah tampak stabil di Rp 11.700-an per dollar AS.
Prospek rupiah
Pertanyaan selanjutnya: apakah penguatan rupiah akan berkelanjutan? Menurut saya, prospek ke arah sana sangat cerah. Berbeda dengan Thailand, Turki, dan beberapa negara lain yang mengalami instabilitas politik, Indonesia tampak benar-benar mantap dan stabil menghadapi pemilu legislatif (April) dan pemilu presiden (Juli 2014). Stabilitas politik akan menjadi kunci berlanjutnya stabilitas dan penguatan rupiah.
Kita sudah berpengalaman terhadap instabilitas politik yang menyengsarakan perekonomian pada 1998. Karena itu, kita tidak mau itu terulang. Saat ini kita sudah cukup dewasa dan sanggup menghindarinya. Momentum pemilu hendaknya kita manfaatkan benar untuk membentuk pemerintahan yang lebih baik dan presiden baru dengan karakteristik kepemimpinan kuat. Saya tidak meragukan hasrat kita untuk secara antusias mewujudkannya. Tahun Pemilu 2014 bukanlah the year of living dangerously. Percayalah.
(A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM)
Sumber: Kompas cetak edisi 27 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar